Pernyataan Sikap IGJ:
“Demi Investasi, Negara Abaikan Penegakan HAM”
Matinya Demokrasi
Pada 30 Oktober 2015 terjadi tindakan pemukulan dan penangkapan terhadap 23 orang buruh, 1 orang mahasiswa, dan 2 pengacara publik, ketika melakukan aksi mogok damai untuk menolak Peraturan Pemerintah (PP) No.78/2015 tentang Pengupahan. Peristiwa ini berujung pada kriminalisasi 26 orang (Azmir dan kawan-kawan) yang dijadikan terdakwa karena dianggap telah melawan perintah pejabat negara yang sah dan dikenakan dakwaan terhadap Pasal 216 atau 218 jo Pasal 55 ayat 1 KUHP. Pada 21 Maret 2016, sidang perkara Azmir dan kawan-kawan telah dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Aksi mogok 30 Oktober 2015 yang dilakukan oleh buruh di depan istana merupakan aksi yang sah, sebagai perwujudan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai demokrasi sesuai dengan UU No.9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Pasal dakwaan ini dikenakan karena massa buruh dianggap tidak mengindahkan perintah aparat untuk membubarkan diri setelah melewati batas waktu yang ditetapkan yang mengacu pada Peraturan Kapolri No.7 tahun 2012.
Peraturan Kapolri No.7 Tahun 2012 telah bertentangan dengan UU No.9 Tahun 1998, dimana dari Penjelasan Pasal 13 membuktikan bahwa penyampaian pendapat di muka umum secara aman, tertib dan damai dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan atau mimbar bebas tidak dilarang pada malam hari.
Terlebih lagi, UU No.9/1998 juga tidak mengatur ketentuan yang membolehkan aparat kepolisian melakukan pemukulan atau pun segala bentuk kekerasan lainnya bahkan melakukan penangkapan dalam membubarkan aksi demonstrasi. Sehingga pembatasan waktu penyampaian pendapat di muka umum yang diatur dalam Peraturan Kapolri No.7 tahun 2012 tidak memiliki landasan hukum sama sekali. Oleh karena itu dakwaan yang dikenakan tidak berdasar pada hukum.
Kasus kriminalisasi (23 buruh, 2 pengacara, dan 1 mahasiswa) yang telah terbukti tidak berdasar pada hukum bahkan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku telah melanggar hak atas kebebasan demokrasi. Apalagi kriminalisasi yang juga dilakukan terhadap Obed dan Tigor, Pengacara Publik pada Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dimana sebagai seorang human rights defender pada saat itu sedang mendampingi perjuangan buruh untuk meminta hak atas upah layak, tidaklah dapat dibenarkan.
Kebebasan berpendapat dan berekpresi merupakan hak dasar dan asasi manusia. Hal tersebut telah dinyatakan dengan tegas dalam instrument hukum internasional dan nasional. Instrumen internasional yang mengatur tentang Kebebasan berpendapat dan berekspresi diantaranya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dibuat pada tahun 1948, khususnya Pasal 19 dan 20 DUHAM dan Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 19 ayat (1). Kedua instrumen ini telah diratifikasi oleh Indonesia.
Pengabaian Perlindungan HAM Oleh Negara Dalam Kebijakan Investasi & PP No.78/2015
Kriminalisasi ini diawali dengan dikeluarkannya PP No.78/2015 tentang Pengupahan yang merupakan bagian dari “Paket Kebiijakan Ekonomi Deregulasi” yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo dalam rangka proses kegiatan investasi.
Pada 9 September 2015, Presiden Joko Widodo mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi September I. Paket kebijakan ekonomi ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing industry nasional dalam rangka menghadapi agenda pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan Perjanjian perdagangan bebas lainnya seperti Perjanjian ASEAN-RCEP dan Perjanjian TPP.
Untuk mempercepat proses kegiatan investasi dan industri, Pemerintah Indonesia menyusun kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang bertujuan untuk memberikan fasilitas dan mempermudah investasi masuk ke Indonesia. Paling tidak ada sebanyak 27 regulasi dari total 134 regulasi yang akan ditinjau kembali dalam rangka mempercepat kegiatan investasi dan industri yang telah ditetapkan dalam Paket Penyelamatan Ekonomi September 1, dari yang sifatnya berupa Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Menteri. Termasuk didalamnya adalah PP No.78/2015 tentang Pengupahan yang ditetapkan sebagai bagian dari Paket Ekonomi ke-5 dari Paket Deregulasi dan debirokratisasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia.
Keberadaan PP No.78/2015 banyak sekali mengubah ketentuan mengenai Pengupahan yang telah diterapkan sebelumnya. Perubahan tersebut seperti: peninjauan terhadap rumusan nilai kenaikan upah hanya akan dilakukan per 5 tahun sekali dimana tentunya ketentuan ini sangat merugikan buruh yang harus menerima kenyataan dimana harga-harga barang dan kebutuhan pokok terus mengalami kenaikan pertahunnya. Sehingga berdampak terhadap rendahnya nilai upah riil buruh. Apalagi tidak ada jaminan bahwa Pemerintah mampu mengontrol kenaikan harga bahan pokok.
Selain itu, PP No.78/2015 juga menghilangkan keterlibatan serikat buruh dalam menentukan kenaikan upah dimana dalam kebijakan pengupahan sebelumnya yang diatur dalam Permenaker No.17/2005 penentuan upah wajib melibatkan serikat buruh. Bahkan, PP No.78/2015 tidak memuat sanksi kepada pengusaha apabila pengusaha tidak memberlakukan upah sesuai ketentuan, dimana hal ini telah bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan No.13/2003.
Dari kebijakan tersebut, memperjelas posisi negara yang menjadikan upah buruh murah sebagai salah satu fasilitas yang akan diberikan kepada investor yang berinvestasi di Indonesia. Dari hal ini maka Buruh akan semakin dirugikan dengan berlakunya liberalisasi tenaga kerja dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan perjanjian perdagangan bebas lainnya. Demi mengejar investasi yang masuk, maka Negara-negara ASEAN akan berlomba hingga pada titik paling terendah untuk memberikan fasilitas buruh murah dan produktif.
Keberadaan PP No.78/2015 adalah salah satu bukti nyata dimana Pemerintah Indonesia telah mengabaikan kewajibannya untuk melindungi HAM khususnya kewajiban dalam The Guiding Principle for Business and Human Rights angka 5 dan 9, yakni dengan mengabaikan perlindungan hak dasar buruh, dengan menerapkan kebijakan upah murah demi menarik investasi asing dalam rangka menghadapi agenda pasar bebas. Apalagi PP No.78/2015 telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya.
The Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP):
Angka 5 The UNGP, menyebutkan bahwa “State should exercise adequate oversight in order to meet their international human rights obligations when they contract with, or legislate for, business enterprises to provide services that may impact upon the enjoyment of human rights”.
Angka 9 The UNGP, menyebutkan bahwa “State should maintain adequate domestic policy space to meet their human rights obligations when pursuing business-related policy objectives with other States or business enterprises, for instance through investment treaties or contract”.
PP No.78 Tahun 2015 Melanggar Hak Buruh
Penolakan atas pemberlakuan PP 78/2015 tentu saja didasarkan pada suau kondisi bahwa dasar perhitungan upah yang menjadi acuan dalam PP 78/2105 telah mendistorsi kebutuhan riil buruh dan keluarganya lewat rekomendasi Dewan Pengupahan yang telah melakukan survey pasar untuk menghitung kebutuhan riil buruh dalam beberapa komponen (papan, sandang, pangan, pendidikan, rekreasi dan tabungan).
Pengaturan tentang pengupahan dalam PP 78/2015 telah menghilangkan mekanisme perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL), menghilangkan ruang musyawarah/perundingan antara pekerja/buruh dan pengusaha serta pemerintah sebagaimana yang telah diatur dalam instrument hukum internasional dalam hal ini Konvensi ILO No. 87 Tentang Hak untuk Berserikat dan Berorganisasi dan Konvensi ILO No. 98 Tentang Perundingan Kolektif.
Seharusnya penghitungan upah tentu saja harus didasarkan pada fakta kebutuhan hidup standard di suatu tempat yang terus berkembang sesuai dengan kebutuhan hidup layak pekerja/buruh dan keluarganya. Oleh karena itu, tentu saja ada perbedaan antara kebutuhan ekonomi pekerja/buruh di DKI Jakarta dengan pekerja/buruh di Papua, di Batam dan juga di Kalimantan sehingga tidak mungkin bagi pemerintah untuk mempersamakan standard pengupahannya.
Penerapan PP No.78 Tahun 2015 Sangat Diskriminatif Terhadap Buruh
Penerapan PP No.78/2015 oleh Pemerintah telah diterapkan secara diskriminatif. Kebijakan upah murah yang diarahkan untuk kepentingan investasi asing dalam agenda pasar bebas telah membuat hak-hak buruh menjadi dikalahkan. Sebagai warganegara, buruh berhak mendapatkan jaminan pemenuhan dan perlindungan hak tanpa adanya tindakan diskriminatif. Sebagai negara yang telah meratifikasi Kovenan Deklarasi HAM PBB dan Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, maka Pemerintah Indonesia telah dapat dianggap melakukan pelanggaran HAM.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 DUHAM dan Pasal 2 ayat (2) hak-hak ekonomi dan sosial, bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi tanpa adanya pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Bahkan, Pasal 7 DUHAM menyebutkan semua orang berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Bentuk diskriminasi lain yang dilakukan oleh Pemerintah dalam PP No.78/2015 dapat dilihat dari ketentuan pengupahan tersebut yang menghilangkan ketentuan sanksi bagi pengusaha yang tidak melaksanakan ketentuan Pengupahan. Tentunya hal ini menghilangkan jaminan perlindungan hukum bagi buruh, namun disisi yang lain Pemerintah meng-anakemas-kan pengusaha.
Penolakan buruh terhadap PP No.78/2015 menjadi sangat berdasar, dimana mereka menuntut pelaksanaan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan bagi hak-hak dasar buruh. Namun, perjuangan buruh untuk mendapatkan hak-haknya harus berhadapan dengan kearoganan Pemerintah yang mengkriminalisasikan buruh untuk tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya.
Untuk itu, IGJ dengan ini Mendesak Presiden Joko Widodo dan Aparatur Hukumnya untuk:
- Menghentikan negosiasi dan mereview Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA), seperti MEA, RCEP, TPP, dan EU-Indonesia CEPA, yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi rakyat.
- Mereview Paket Kebijakan Ekonomi Deregulasi (I s/d 12) yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi rakyat.
- Mencabut PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang melanggar hak buruh.
- Menghentikan Persidangan yang berlangsung atas nama Hukum dan Keadilan, karena persidangan tersebut tidaklah berdasar pada hukum yang berlaku, mengingat Negara telah mengabaikan kewajibannya untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak dasar buruh.
- Majelis Hakim harus menyatakan Azmir dkk “Tidak Bersalah”.***
#StopKriminalisasi
Azmir & Friends #4NotGuilty
#TakeBackLabourRights
Tertanda,
Rachmi Hertanti
Direktur Eksekutif
Indonesia for Global Justice
Kontak Kami:
Indonesia for Global Justice
Jl.Duren Tiga Raya No.9, Jakarta Selatan
Telp: 021-7941655
Email: igj@igj.or.id / Website: www.igj.or.id