Surat Terbuka Rakyat Indonesia Kepada Presiden Joko Widodo
Kerjasama Ekonomi Internasional Indonesia:
“Buka Ruang Intervensi Publik”
Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Bapak Joko Widodo
Cq: Menteri Koordinator Perekonomian; Menteri Perdagangan; Menteri Luar Negeri; KSP, Menteri Kesehatan
Di
Tempat
Dengan Hormat,
Kami Rakyat Indonesia, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Indonesia Untuk Keadilan Ekonomi, bersama surat ini perkenankanlah kami menyampaikan pandangan dan pendapat terkait dengan strategi diplomasi ekonomi internasional Indonesia.
Bapak Presiden yang kami cintai,
Pada 20-21 September 2016 Indonesia akan melangsungkan putaran perundingan CEPA yang pertama dengan Uni Eropa. Juga akan segera memulai perundingan CEPA dengan Australia dan New Zealand. Bahkan ASEAN RCEP akhir tahun ini akan segera disepakati. Termasuk saat ini Pemerintah sedang mengkaji dan mempertimbangkan Indonesia untuk bergabung ke dalam Trans-Pacific Partnership Agreement (TPP).
Terkait hal itu, kami mencatat bahwa model kerjasama ekonomi tersebut diatas bukan lagi hanya sekedar mengatur kerjasama perdagangan secara sempit (ekspor-impor), tetapi juga mengatur aspek ekonomi dan social secara luas dan berdampak langsung terhadap kehidupan rakyat Indonesia, bahkan kedaulatan Negara ikut dipertaruhkan didalamnya. Hal ini dikenal dengan istilah “WTO Plus”. Beberapa pengaturannya seperti: jaminan perlindungan investasi, Government Procurement, Kompetisi dan BUMN, TRIPS Plus, serta mendorong perluasan cakupan pengaturan perdagangan jasa seperti yang diatur dalam Plurilateral Trade in Services Agreement (TiSA).
Kami memandang bahwa pengaturan perjanjian perdagangan dan kerjasama ekonomi internasional yang lebih luas ini akan menimbulkan potensi dampak yang luas terhadap ruang-ruang kebijakan publik. Tidak hanya terkait dengan potensi ancaman atas ketidak-adilan pembangunan ekonomi, tetapi juga terancamnya pemenuhan hak-hak social dan ekonomi masyarakat akibat penyempitan ruang kebijakan Negara yang tersandera oleh mekanisme penyelesaian sengketa investor dengan Negara. Indonesia sudah punya pengalaman banyak dengan mekanisme tersebut.
Belum lagi penerapan larangan local content requirement dan larangan transfer teknologi dapat teknologi akan semakin membatasi gerak pembangunan industry nasional, bahkan menutup ruang industry nasional untuk berkembang lebih maju. Tentunya hal ini bertolak belakang dengan dengan semangat peningkatan daya saing nasional itu sendiri.
Isu paten dalam Hak kekayaan intelektual juga telah menjadi salah satu penghambat pembangunan industry farmasi Indonesia. Tidak hanya itu, perlindungan paten obat-obatan yang mengatur perpanjangan masa paten oleh pemegang paten telah menciptakan kondisi menghambat ketersediaan obat generic di samping meningkatkan harga obat. Keberadaan pasal flexibilitas untuk penggunaan paten oleh pemerintah (Government Use) pun bukan suatu yang mudah dalam implementasinya. Perlindungan paten dalam hak kekayaan intelektual tentunya telah berdampak terhadap terbatasnya masyarakat untuk mengakses obat dengan harga yang murah.
Hal-hal tersebut diatas hanya sebagian kecil dari gambaran potensi dampak CEPA, RCEP, dan TPP terhadap ruang-ruang kebijakan public. Masih banyak pasal-pasal yang perlu dikaji dan dipelajari lebih seksama yang memiliki potensi dampak langsung terhadap hak-hak publik.
Bapak Presiden yang kami cintai,
Kami pun berpandangan, bahwa model pembangunan dalam aktivitas investasi dan perdagangan berskala besar telah memberikan dampak buruk terhadap lingkungan dan pengrusakan sumber-sumber penghidupan rakyat. Disatu sisi, CEPA, RCEP, dan TPP mengharuskan memberikan perlindungan maksimum terhadap investor dan menjamin pelaksanaan proyek investasi dengan iklim kebijakan investasi yang kondusif. Namun, sebaliknya CEPA, RCEP, dan TPP tidak mengatur skema pemulihan hak-hak publik yang terdampak dari kegiatan perdagangan dan investasi.
Apalagi pengalaman nyata dari EU-Vietnam CEPA menunjukan bahwa ketentuan dalam bab “Pembangunan Berkelanjutan” tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak dibuat mengikat dan tidak memuat mekanisme sanksi, baik bagi Negara ataupun investor yang melanggar. Hal ini semakin membuktikan bahwa CEPA, RCEP, dan TPP jauh dari prinsip-prinsip perlindungan dan pemenuhan HAM, serta semakin menjauhkan harapan kita pada capaian pada pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu Bapak Presiden, sudah tentu kajian dampak ekonomi saja dalam mempelajari dampak perjanjian perdagangan internasional tidak lah cukup. Diperlukan kajian secara comprehensive diluar isu ekonomi yang berdampak langsung dan meluas kepada hak-hak masyarakat (HAM). Untuk itu, kami meminta kepada bapak presiden untuk tidak terburu-buru dalam proses perundingan dan menghitung secara obyektif dampak perjanjian terhadap hak social dan ekonomi masyarakat.
Bapak Presiden yang kami hormati,
Kami berpandangan bahwa Pemerintah Indonesia tidak membuka ruang demokrasi dalam diplomasi ekonomi internasionalnya. Selama ini keterlibatan Indonesia dalam sebuah kerjasama ekonomi internasional masih menjadi keputusan politik Pemerintah Indonesia secara sepihak tanpa melibatkan publik. Proses negosiasi perjanjian dilakukan secara tertutup dan menutup publik terhadap akses informasi mengenai isi perundingan yang akan berdampak langsung terhadap publik. Ruang intervensi public terhadap isi perundingan perjanjian telah tertutup.
Pemerintah Indonesia telah berlaku diskriminatif dalam proses komunikasi kepada publik. Pemerintah hanya mengutamakan kelompok pelaku usaha atau pengusaha karena dianggap perjanjian perdagangan dan ekonomi internasional ini hanya akan berlaku bagi mereka. Pemerintah telah melupakan Kelompok masyarakat sipil dan masyarakat korban, seolah-olah perjanjian tersebut tidak berdampak terhadap mereka.
Mengacu pada dampak luas CEPA, RCEP, dan TPP terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat dan membatasi ruang-ruang kebijakan publik, maka sudah sepantasnya segala keputusan Pemerintah terkait pengikatan Indonesia ke berbagai perjanjian perdagangan internasional harus melibatkan publik, khususnya kelompok masyarakat sipil dan komunitas terdampak.
Ruang demokratisasi harus segera dibuka oleh Pemerintah. Publik berhak tahu isi dari perjanjian yang dirundingkan. Forum intervensi publik harus dibuka secara permanen dan berkelanjutan. Proses komunikasi publik harus dilakukan dua arah. Proses yang demokratis dan inklusif dalam perundingan perjanjian perdagangan dan ekonomi internasional akan mendorong terciptanya keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, kami, Koalisi Masyarakat Indonesia untuk Keadilan Ekonomi dengan ini mendesak kepada Presiden Joko Widodo untuk:
- Melakukan kajian dampak HAM sebelum dilakukan perundingan perjanjian perdagangan dan kerjasama ekonomi internasional yang melibatkan seluruh pihak terkait, mengingat dampak CEPA, RCEP, dan TPP telah membatasi ruang-ruang kebijakan publik dan berpotensi mengancam hak-hak social masyarakat Indonesia.
- Menjadikan hasil kajian dampak HAM sebagai dasar pengambilan keputusan ataupun dasar perundingan di dalam perjanjian perdagangan dan kerjasama ekonomi internasional.
- Membuka ruang intervensi publik secara luas tanpa adanya perlakuan diskriminatif dalam proses perundingan perjanjian perdagangan dan kerjasama ekonomi internasional.
- Membentuk sebuah forum komunikasi publik permanen dan berkelanjutan, dimana kelompok masyarakat sipil dapat mengambil peran untuk memperkuat proses diplomasi ekonomi dan perundingan perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah.
Demikian surat kami.
Atas nama,
Koalisi Masyarakat Indonesia Untuk Keadilan Ekonomi
Indonesia for Global justice (IGJ) – WALHI – Solidaritas Perempuan – SERUNI – Satu Dunia – SafeNet –
Indonesia AIDS Coalition – KruHA – LIPS Sedane
Sekretariat Koalisi: Kantor IGJ, Jl.Duren Tiga Raya No.9, Jaksel. Tel: 0217941655/ igj@igj.or.id
English Version: An-open-letter-of-indonesian-people-to-president-joko-widodo