Perundingan ke-3 Indonesia-EU CEPA
Jakarta, 22 September 2017. Perundingan Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) telah memasuki putaran ke tiga, yang berlangsung di Brusels, Belgia, pada 10-15 September 2017. Rachmi Hertanti perwakilan dari IGJ dan Sulistri Afrileston perwakilan dari KSBSI memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Komisi Uni Eropa dan Tim negosiator Indonesia di Brusels untuk mendiskusikan beberapa isu yang muncul dalam perundingan tersebut.
Isu Baru: Trade and Sustainabel Development (TSD)
Ada yang baru dalam model perjanjian perdagangan bebas Uni Eropa (EU FTA), yaitu memasukan bab baru khusus mengatur tentang isu perdagangan kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan (Trade and Sustainable Development/TSD). FTA EU dengan Korea Selatan adalah perjanjian yang pertama kali memuat bab TSD, yang selanjutnya diikuti perjanjian dengan Kolombia, Peru, Georgia, dan Moldova, serta termasuk dengan Vietnam untuk dikawasan ASEAN.
Di dalam perundingan Indonesia-EU CEPA, disebutkan bahwa ruang lingkup pembahasan bab TSD di dalam IEU CEPA akan diarahkan pada penguatan komitmen dan kerjasama kedua pihak pada pembangunan berkelanjutan dalam hal pembangunan ekonomi dan social, serta perlindungan terhadap lingkungan.
Dalam bab TSD, EU sendiri memiliki ambisi tinggi yang akan diprioritaskan pada aspek: perlindungan tingkat tinggi terhadap buruh dan lingkungan di dalam hukum domestic; konservasi dan manajemen sumber daya alam yang berkelanjutan (kehutanan, perikanan, biodiversitas, dan satwa liar); mempromosikan praktek dan skema perdagangan yang mendukung pembangunan berkelanjutan; serta adanya mekanisme pengawasan khusus yang lebih inklusif dan melibatkan partisipasi kelompok masyarakat sipil dalam memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait atas implementasi FTA[i].
Tatap Muka Dengan Komisi Uni Eropa
Dalam kesempatan bertemu dengan Komisi Uni Eropa pada 12 September 2017, diskusi diarahkan pada pembahasan tentang bab baru ini. Bab TSD adalah sesuatu yang baru bagi Indonesia, dan sangat penting menggali informasi dari Komisi Uni Eropa. Komisi Uni Eropa diwakili oleh Filip Deraedt (Deputy Head of Unit Trade Relations with South and South East Asia, Australia, New-Zealand), serta Raffaele Quarto, First Counselor Head of Economic and Trade Section, Delegation of European Union for Indonesia and Brunei Darussalam Mission to ASEAN.
Diskusi dimulai dari pertanyaan yang dikemukakan oleh Sulistri terkait dengan persoalan transparansi, partisipasi publik, dan pentingnya impact assessment dari kerjasama ekonomi ini sehingga tidak melanggar pemenuhan hak-hak dasar publik.
Terkait dengan transparansi, EU mengklaim bahwa publikasi hasil putaran perundingan dan beberapa proposal teks perundingan dari EU sudah dimunculkan di website sehingga publik dapat mengaksesnya, namun memang untuk Bab TSD, belum ada di website. Sehingga Komisi Uni Eropa berjanji untuk mempublikasikan proposal teks bab TSD ke website setelah perundingan ketiga IEU CEPA selesai.
Mengenai kewajiban Impact Assessment, sebagaimana janji DG Trade EU, Cecilia Malmstrom dalam suratnya kepada IGJ, bahwa EU akan tetap melaksanakan Sustainable Impact Assessment (SIAs) terhadap Indonesia-EU CEPA. Namun, Filip mengatakan pelaksanaannya akan mengalami kemunduran dikarenakan teknis tender dan keuangan. Filip berjanji SIAs akan segera dilaksanakan dan kemungkinan selesai pada semester ketiga tahun 2018. SIAs dilakukan untuk menjadi penilaian apakah CEPA akan berdampak terhadap keberlanjutan lingkungan atau tidak.
Terkait partisipasi publik, Komisi Uni Eropa memastikan bahwa partisipasi publik terkait dengan monitoring perjanjian akan bisa dilaksanakan di bawah bab TSD. Hal ini karena bab TSD akan membuka ruang partisipasi publik di dalam proses monitoring pelaksanaan perjanjian. Selain itu, mekanisme partisipasi itu akan membentuk sebuah badan yang bernama Domestic Advisory Group atau DAG.
Martine Kersten, dari CNV Belanda, menyampaikan kritik terhadap DAG, hal ini karena berkaca pada pengalaman FTA EU dengan Kolombia dan Peru, badan ini tidak berjalan sesuai rencana. Hal ini dikarenakan tidak jelas mengenai proses pembentukan DAG, sehingga tidak ada DAG di Kolombia dan Peru yang kemudian berdampak tidak adanya mekanisme partisipasi publik yang berjalan.
IGJ sendiri mempertanyakan efektivitas mekanisme monitoring. Berkaca pada perjanjian EU-Vietnam CEPA, mekanisme ini tidak punya gigi, dikarenakan monitoring yang dilakukan tidak memiliki mekanisme sanksi yang kuat. Kalaupun terjadi sengketa, putusan Panel hanya bersifat rekomendasi. Terlebih, bab TSD tidak memiliki kaitan langsung dengan isi perjanjian CEPA lainnya, sehingga menjadi sangsi jika bab TSD bisa menjawab persoalan utama dari dampak CEPA. Hasil monitoring pun tidak memiliki konsekuensi hukum yang tegas terhadap isi perjanjian yang berdampak buruk terhadap hak-hak publik.
Respon Negosiator Indonesia Atas Proposal Bab TSD Milik EU
Pada 14 September 2017, memberi kabar positif untuk dapat bertemu dengan perwakilan kelompok masyarakat sipil Indonesia yang ada di Brusels. Pada pertemuan tersebut hadir ketua negosiator, Iman Pambagyo, yang didampingi oleh tim negosiator untuk isu TSD yaitu Arif Havas Oegroseno (Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim), dan Diah Suradiredja (KEHATI).
Diskusi mengarah pada soal sawit Indonesia yang dikaitkan dengan upaya EU menjegal sawit Indonesia melalui bab TSD. Dalam diskusi, terlihat Pemerintah Indonesia sangat percaya diri berhadapan dengan negosiator EU ketika berbicara tentang TSD.
Indonesia sangat mendukung bab TSD dengan mendorong perdagangan yang lebih berkelanjutan. Strategi Indonesia adalah untuk secara agresif memasukan banyak kepentingan perdagangan Indonesia ke dalam Bab TSD. Intinya, dari bab ini harus ada keuntungan yang diterima, ada timbal balik positifnya untuk Indonesia, dan tentunya menghasilkan keuntungan.
Label “sustainable” dijadikan peluang bagi Indonesia untuk mendorong terbukanya akses pasar produk Indonesia di pasar EU, dan EU diminta untuk secara konsisten menerapkan mekanisme ini. Hal ini dikarenakan EU seringkali tidak konsisten memperlakukan barang-barang illegal yang masuk ke pasarnya dari Negara lain. Misalnya saja terkait isu ikan. Indonesia sudah secara konsisten menolak praktek pencurian ikan, tetapi EU masih saja menerima produk ikan dari Vietnam yang diindikasikan melakukan illegal fishing. Oleh karena itu Indonesia akan mendorong agar EU bisa lebih memberikan porsi pasar EU kepada Indonesia yang sudah berlabel sustainable, termasuk produk Palm Oil Indonesia. Dengan label Sustainable juga diharapkan produk Indonesia bisa masuk level Premium di pasar Uni Eropa.
Terkait dengan sawit di dalam TSD, Indonesia akan mendorong diskusi tentang standar yang bisa dipakai. Dalam hal ini Indonesia akan mendorong ISPO sebagai acuan kriteria dan standar produk sustainable. Hal ini karena ISPO sifatnya mandatory, sehingga lebih kuat. Hal ini berkaca pada pengalaman Indonesia mengenai sertifikasi SVLK untuk mengatasi illegal loging. Keberhasilan mekanisme SVLK dianggap Pemerintah sebagai hal yang dapat diadopsi di dalam isu Sawit Indonesia.
Terakhir, negosiator Indonesia akan membuka forum dialog dengan kelompok masyarakat sipil Indonesia terkait dengan proses perundingan, khususnya mendiskusikan mengenai isu sawit yang belajar dari mekanisme SVLK. ***
Laporan disusun oleh:
Rachmi Hertanti
Direktur Eksekutif IGJ
Informasi selengkapnya:
Sekretariat IGJ
Jl.Duren Tiga Raya No.9, Jakarta Selatan
Telp: 021-7941655 / Email: igj@igj.or.id atau keadilan.global@gmail.com
Website: www.igj.or.id