Jakarta, 20 November 2017. Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia yang terdiri dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Bina Desa, dan Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai bahwa kekalahan Indonesia terhadap Amerika Serikat dan New Zealand di WTO membuktikan perjanjian perdagangan bebas dan skema penyelesaian sengketanya tidak dibuat untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi petani Indonesia. Bahkan system perjanjian perdagangan bebas semakin memperkuat monopoli importir dan negara industri.
Untuk itu, IGJ, Bina Desa, dan SPI mendesak agar Pemerintah Indonesia untuk segera mencabut komitmen yang merugikan serta tidak mengikatkan komitmen baru di WTO.
Pada 9 November 2017 yang lalu, Appelate Body WTO memutuskan bahwa tindakan Indonesia atas kebijakan pembatasan impor hortikultura, produk hewan dan turunannya tidak konsisten dengan aturan GATT 1994, khususnya terkait dengan Pasal 11 ayat (1) GATT mengenai General Elimination on quatitative restriction. Dalam hal ini Panel Appellate Body WTO meminta Indonesia untuk bertindak konsisten dengan GATT 1994. Putusan Panel Appellate Body WTO ini memperkuat putusan Panel WTO sebelumnya yang diputuskan pada 22 Desember 2016.
Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menyatakan bahwa Sesuai dengan aturan WTO, maka Indonesia wajib segera melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya dengan aturan GATT dalam jangka waktu yang dapat dipertanggung jawabkan. Jika tidak dilakukan, maka Indonesia harus memberikan kompensasi kepada New Zealand dan Amerika Serikat yang besarannya disepakati bersama. Jika, masih tidak dicapai kesepakan mengenai bentuk atau besaran kompensasi, maka New Zealand dan Amerika Serikat dapat meminta kepada DSB WTO untuk mengajukan retaliasi atau tindakan balasan terhadap Indonesia.
“Tentunya kekalahan Indonesia dalam kasus ini akan membawa dampak besar terhadap kebijakan pangan di Indonesia. Penyesuaian kebijakan pangan Indonesia dengan aturan GATT 1994 akan bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan dan merampas kesejahteraan petani”, pungkas Rachmi.
Ketua Departemen Luar Negeri Serikat Petani Indonesia (SPI), Zainal Arifin Fuad, menyatakan bahwa petani di Indonesia sudah berada di garis kemiskinan, dengan salah satu indikator Nilai Tukar Petani (NTP) yang rendah. “Bila masih menjadi anggota WTO, petani berpeluang akan semakin miskin, karena dipastikan hasil pertanian dalam negeri dibanjiri produk impor terkhusus dari New Zeland dan Amerika Serikat yang merupakan negara-negara pengaju gugatan ke WTO”.
Penolakan jelas mengganggu kedaulatan bangsa yang terrefleksi dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan sebagai niat baik pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan. “Sudah waktunya Indonesia berani keluar dari WTO, terlebih setelah gugatan banding Indonesia di tolak”, lanjut Zainal.
Achmad Yakub, dari Bina Desa memaparkan bahwa secara peraturan perundangan nasional tentang Pangan. Pemerintah dari pusat hingga kabupaten/kota mempunyai kewajiban memenuhi ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Artinya tak mungkin menyerahkan kepentingan pangan sebagai keamanan nasional ke mekanisme perjanjian WTO yang dikenal sangat pro pasar, merugikan petani dan ekonomi kita secara mendasar.
KTM WTO Ke-11
IGJ, Bina Desa, dan SPI juga meminta agar Pemerintah Indonesia tidak membuat komitmen yang merugikan Indonesia dalam putaran Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke 11 yang akan dilaksanakan di Argentina pada 10-15 Desember 2017.
“Kepentingan petani kecil Indonesia harus diprioritaskan ketimbang isu-isu baru yang akan digagas oleh negara maju seperti E-commerce dan investment facilitation. Posisi Indonesia pada perundingan isu Pertanian harus berpihak pada petani kecil Indonesia, kalau tidak tercapai maka komitmen Indonesia di WTO harus segera dipertanyakan”, tegas Rachmi.
Dalam KTM Ke-11 WTO akan menjadi putaran perundingan yang paling penting, hal ini karena salah satunya adalah masa akhir untuk memutuskan solusi permanen dari Proposal Cadangan Pangan Publik untuk tujuan ketahanan pangan yang mandek pada saat pembahasan di KTM ke-9 WTO di Bali pada 2013 yang lalu.
Apalagi KTM Ke-11 ini akan didesak untuk menyelesaikan berbagai isu Doha yang sempat “dilupakan” pada saat KTM Ke-10 atas kepentingan Negara maju yang hendak memastikan pembahasan isu – isu Singapura dapat segera disepakati di WTO.
Ketua Departemen Luar Negeri Serikat Petani Indonesia (SPI), Zainal Arifin Fuad, menyatakan bahwa salah satu agenda pembahasan KTM WTO yakni Publick Stock Holding. SPI menilai pembahasan ini secara jelas akan mengancam kedaulatan pangan—salah satunya dengan mematikan fungsi Bulog yang juga sudah disimpangkan fungsinya atas desakan IMF dan Bank Dunia diakhir era orde baru. “Untuk itu, jalan mewujudkan kedaulatan pangan yakni pertanian harus dikeluarkan dari WTO”, tegas Zainal.
Achmad Yakub, dari Bina Desa menyatakan “Mengingat pengalaman puluhan tahun perundingan di WTO yang tidak produktif, sudah selayaknya pemerintah Indonesia mendorong kerjasama alternatif yang berkeadilan sosial di KTM WTO 11 nanti”. Sebenarnya kita sebagai bangsa punya pengalaman mendorong kerjasama budaya, ekonomi politik pembangunan sesuai semangat Konferensi Asia Afrika 1955. Kontekstual dengan kondisi sekarang, dimana antar negara saling bersaing dan kanibal secara ekonomi politik papar Yakub.
Selain isu public stock holding, Negara -negara berkembang seperti India, Indonesia, China, Afrika Selatan, Kenya, Morocco on behalf of African countries, Rwanda yang mewakili the African, Caribbean dan Negara-negara Pacific, serta Benin juga mendesak agar isu special and differential flexibilities and isu -isu pembangunan dalam Program Kerja Doha (the Doha Work Program) harus dijadikan sebagai agenda prioritas dalam KTM ke -11 nanti. Catatan kritis Negara berkembang untuk KTM ke -11 WTO nanti juga terkait dengan melakukan penolakan terhadap perjanjian regional dan perjanjian plurilateral untuk dimasukan ke dalam arsitektur WTO. *
Informasi selengkapnya, hubungi:
Zainal Arifin Fuad, Ketua Departemen Luar Negeri SPI: 081289321398
Achmad Yakub, Pegiat di Bina Desa: 0817712347
Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif IGJ: 0817-4985180