JAKARTA — Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice Rachmi Hertanti mengungkapkan Indonesia wajib segera melakukan penyesuaian kebijakan nasional dengan aturan GATT, menyusul diterimanya gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru atas beleid pembatasan impor hewan dan hortikultura..
Apabila tidak dilakukan maka Selandia Baru AS dapat meminta kepada Dispute Settlement Body (DSB) WTO untuk mengajukan retaliasi atau tindakan balasan terhadap Indonesia.
“Tentunya kekalahan Indonesia dalam kasus ini akan membawa dampak besar terhadap kebijakan pangan di Indonesia. Penyesuaian kebijakan pangan Indonesia dengan aturan GATT 1994 akan bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan dan merampas kesejahteraan petani”, ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Bisnis.
Rachmi meminta kepada pemerintah mempriotiskan isu pertanian dan pangan dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-11 WTO yang akan berlangsung di Argentina pada Desember 2017. Menurutnya, kepentingan petani harus diprioritaskan dibandingkan dengan isu-isu lainnya yang digagas oleh negara maju.
“Dalam KTM Ke-11 WTO akan menjadi putaran perundingan yang paling penting karena salah satunya adalah masa akhir untuk memutuskan solusi permanen dari proposal cadangan pangan publik untuk tujuan ketahanan pangan yang mandek pada saat pembahasan di KTM ke-9 WTO di Bali pada 2013 yang lalu,” paparnya
Sementara itu, Ketua Departemen Luar Negeri Serikat Petani Indonesia (SPI) Zainal Arifin Fuad menilai keputusan tersebut dapat membuat Indonesia dibanjiri produk pangan impor khususnya dari AS dan Selandia Baru. Padahal, hal itu bertentangan dengan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
“Dipastikan hasil pertanian dalam negeri dibanjiri produk impor terkhusus dari Selandia Baru dan AS yang merupakan negara-negara pengaju gugatan ke WTO,” imbuhnya.
Dia menyarankan agar Indonesia berani mengambil langkah untuk keluar dari WTO. Dengan demikian, Indonesia dapat mewujudkan kedaulatan pangan.
Ketua Komite Tetap Hortikultura Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Karen Tambayong mengaku tidak khawatir Indonesia akan dibanjiri produk hortikultura impor. Pasalnya, masyarakat kini lebih memiliki keberpihakan kepada produk lokal.
”Saat ini tinggal bagaimana meningkatkan pengamanan terhadap produk impor yang ujung tombaknya melalui proses karantina,” jelasnya.
Seperti diketahui, strategi pemerintah dalam merumusukan kebijakan untuk melindungi pangan domestik diuji setelah terhitung mulai 22 November 2017 harus menyesuaikan 18 aturan impor hortikultura, hewan, dan hewani dengan ketentuan World Trade Organization.
Appelate Body World Trade Organization (WTO) telah memutuskan pada 9 November 2017 bahwa tindakan Indonesia atas kebijakan pembatasan impor hortikultura, produk hewan dan turunannya tidak konsisten dengan aturan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)1994, khususnya terkait dengan Pasal 11 Ayat 1 mengenai general elimination quantitative restriction.
Seperti diketahui, Selandia Baru dan AS melayangkan gugatan pada 2013 sebagai respons atas berbagai hambatan dagang non tarif yang diberlakukan Indonesia sejak 2011. Kedua negara tersebut mempermasalahkan pembatasan kuota impor sapi dan ayam serta beberapa jenis buah dan sayur oleh pemerintah.
Namun, Indonesia telah menghapus sistem kuota impor sapi sejak paruh kedua 2016. Kemendag menyatakan pemerintah telah melakukan sejumlah deregulasi sehingga sudah ada berbagai perubahan kebijakan.
Sumber : http://industri.bisnis.com/read/20171123/12/711872/javascript