Artikel Monitoring Diskusi
Oleh:
Agung Prakoso
Koordinator Advokasi Isu Kesehatan, Indonesia for Global Justice
Di masa Pandemi COVID-19, pemerintah masih ngotot melanjutkan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja sekalipun sudah ditentang oleh banyak elemen masyarakat sipil, buruh, hingga akademisi. Omnibus Law RUU Cipta Kerja bukan hanya berisi soal permasalahan ketenagakerjaan, lingkungan, dan pangan saja tetapi juga menyangkut aspek lain seperti paten.
Pemerintah melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja berencana untuk menghapuskan Pasal 20 UU No. 13 tahun 2016 tentang Paten. Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap produk yang akan didaftarkan patennya harus diproduksi di Indonesia dengan proses transfer teknologi dan penyerapan tenaga kerja. Rencana pemerintah untuk menghapus pasal ini melalui Omnibus Law sudah bergulir sejak lama, pemerintah beralasan pasal ini bertentangan dengan aturan TRIPs dan banyak negara terutama negara-negara Eropa yang berkeberatan dengan Pasal ini.
Untuk menjawab permasalahan yang muncul terkait hal ini, Indonesia for Global Justice bersama Indonesia Aids Coallition menggelar Serial Diskusi Omnibus Law dan COVID-19 : Dampak Penghapusan Pasal 20 UU Paten pada Akses Obat Murah. Diskusi tersebut menghadirkan Guru Besar FH UI, Prof. Agus Sardjono dan Ibu Lutfiyah Hanim dari Third World Network sebagai narasumber. Dalam pemaparannya, kedua narasumber menyampaikan beberapa poin penting terkait Penghapusan Pasal 20 UU Paten di dalam Omnibus Law, diantaranya prinsip local working pada pasal tersebut, tujuan pengaturan pasal 20, bagaimana kaitan pasal ini dengan TRIPs serta kaitannya dengan konstitusi kita.
Prinsip Local Working dalam Pasal 20 UU Paten
Prof. Agus Sardjono menyampaikan bahwa Pasal 20 UU Paten adalah pasal yang berkaitan dengan prinsip local working. Prinsip Local Working adalah imbalan yang dimintakan oleh negara kepada penerima paten untuk melaksanakan invensinya di negara pemberi paten. Prinsip ini diterapkan di banyak negara termasuk juga di Amerika. Indonesia sendiri sudah menerapkan prinsip ini sejak UU Paten pertama tahun 1989, UU Paten tahun 2001, hingga UU Paten tahun 2016 ini. Perbedaan penerapan prinsip ini terdapat pada tahun 2016 dimana terdapat sanksi apabila pemilik paten tidak menerapkan patennya, maka patennya bisa dicabut.
Tujuan dari local working ini di Indonesia jelas tercantum dalam Pasal 20 UU Paten yaitu untuk kepentingan transfer teknologi, penyerapan investasi dan penyediaan lapangan kerja. Sedangkan di luar negeri tujuannya justru lebih luas lagi yaitu untuk mencegah patent blocking yakni sebuah tindakan yang biasanya ditempuh pemegang paten yang mendaftarkan patennya sekadar untuk mencegah agar teknologinya tidak digunakan oleh orang lain di negara pemberi paten.
Selain itu paten diharapkan memberikan dampak sosial pada pendidikan, ekonomi, dan pengembangan teknologi sebagai imbalan atas monopoli yang diberikan.
Penghapusan Pasal 20 UU Paten akan Memperburuk Kondisi Akses Obat di Indonesia
Peneliti Third World Network, Lutfiyah Hanim menjelaskan bahwa Penerapan aturan Paten adalah pelaksanaan keanggotaan kita di WTO dimana salah satu perjanjiannya adalah TRIPs yang menetapkan standar atas paten. TRIPs ini adalah standar minimal yang digunakan negara maju saat aturan ini disahkan. Selain standar minimal, dalam aturan tersebut juga terdapat fleksibilitas TRIPs untuk menyeimbangkan hak pemegang HAKI dan pengguna dan hal ini ditegaskan dalam agenda Doha.
Ketika paten berkaitan dengan obat, maka pemegang paten akan mendapatkan monopoli. Artinya pemegang paten dapat menguasai sepenuhnya produk tersebut mulai dari produksi, menjadi suplier, menentukan harga hingga menentukan di negara mana dia akan memasarkan produk tersebut. Sementara jika tidak dipatenkan atau sudah habis patennya maka tidak ada monopoli sehingga dapat diproduksi oleh banyak pihak dan banyak suplier serta memungkinkan adanya kompetisi. Hal ini akan mendorong akses pada obat-obatan terjangkau itu lebih memungkinkan.
Tantangan lain yang muncul pada akses obat menurut Lutfiyah Hanim adalah upaya patent evergreening atau perpanjangan monopoli paten. Ia menuturkan beberapa kasus perpanjangan paten terjadi pada obat yang seharusnya sudah habis masa patennya.
Sumber : Presentasi Lutfiyah Hanim pada Seri Diskusi Omnibus Law & COVID-19
Salah satunya seperti pada kasus Ritonavir seharusnya sudah habis masa paten sejak Juli 2019 namun patennya diperpanjang hingga 2024. Pada masa itu semestinya obat versi generik bisa masuk. Contoh lain terdapat pada paten sofosbuvir yang patennya seharusnya habis pada 2024 namun ada perpanjangan paten hingga 2032. Sofosbuvir sendiri menerapkan lisensi sukarela sehingga tersedia obat versi murah. Meskipun begitu untuk harganya sendiri di Indonesia masih cukup tinggi sekitar USD 1.000 untuk satu treatment dalam 3-4 bulan.
Sebelum wacana penghapusan Pasal 20 UU Paten, akses obat di Indonesia sudah memiliki masalah-masalah tersendiri. Jika kemudian Pasal 20 UU Paten ini dihapus, maka perusahaan pemegang paten tidak perlu menginvestasikan apapun karena tidak ada kewajiban produksi lokal. Hal ini juga membuka peluang bagi adanya patent blocking sehingga semakin memperburuk akses obat di Indonesia. Untuk saat ini saja ada beberapa obat di Indonesia yang dipatenkan sampai habis masa patennya tidak tersedia misalnya Didanosine dan Abacavir.
Penghapusan Pasal 20 UU Paten bukanlah solusi
Rencana Pemerintah dalam menghapus Pasal 20 UU Paten atas desakan negara-negara maju dan argumen bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 TRIPs jelas bukanlah solusi. Pendapat Pemerintah bahwa pasal ini bertentangan dengan Pasal 27 TRIPs yang tidak membolehkan aturan yang diskriminatif menurut Prof. Agus Sardjono juga terlalu dipaksakan. Diskriminasi yang digunakan sebagai alasan untuk menuntut penghapusan pasal 20 UU Paten adalah sebuah kekeliruan. Diskriminasi itu diterapkan bukan terhadap produk lokal versus produk import, melainkan diskriminasi terhadap warga bangsa peserta WTO. Prinsip most favoured nation dan national treatment itu berbicara tentang nation (bangsa), bukan tentang produk.
Prof. Agus Sardjono menjabarkan bahwa aturan di dalam TRIPs justru sangat memperbolehkan pelaksanaan prinsip local working. TRIPs menyebutkan dengan tegas dalam beberapa pasalnya yang menghendaki agar teknologi
berkembang dengan adanya pemberian reward kepada para penemu teknologi baru. Artinya, paten harus memberikan dampak social dan ekonomi bagi warga bangsa yang ikut serta dalam kesepakatan TRIPs tersebut, seperti yang disebutkan pada Article 7 TRIPS
“The protection and enforcement of intellectual property rights should contribute to the promotion of technological innovation and to the transfer and dissemination of technology, to the mutual advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner conducive to social and economic welfare, and to a balance of rights and obligations”
Article 7 ini menurut Prof. Agus Sardjono menunjukkan bahwa paten adalah tools untuk mendiseminasikan teknologi dan sarana untuk melakukan transfer of technology agar paten memiliki dampak social yang tinggi, baik melalui pembelajaran (edukasi) maupun kemajuan ekonomi bangsa-bangsa melalui perkembangan teknologi itu sendiri.
Maka solusi atas keberatan ini seharusnya adalah meregulasi agar local working bisa dilaksanakan dengan adil dan menguntungkan semua pihak termasuk pemilik paten itu sendiri, menurut Prof. Agus Sardjono beberapa langkah yang bisa ditempuh, diantaranya :
- Memberikan jangka waktu yang cukup kepada pemilik paten untuk memilih melaksanakan sendiri teknologinya
- Untuk produk-produk tertentu yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat dan kepentingan nasional yang mendesak, pelaksanaan local working dapat dilakukan melalui lisensi wajib dengan royalti yang proper
- Jika pemilik paten keberatan untuk melaksanakan sendiri membuat produknya di Indonesia atau menolak memberikan lisensi kepada partner lokal, maka penghapusan paten boleh diajukan oleh Kejaksaan atas nama bangsa Indonesia dalam rangka menegakkan kepentingan nasional
- Setelah paten dihapus, maka siapapun dapat menggunakan invensi tersebut dengan bebas karena sudah tidak dilindungi paten. Itu sebabnya penghapusan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, melainkan melewati proses peradilan yang baik dan adil.
Penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk mendesak Pemerintah dan DPR untuk menghentikan rencana penghapusan Pasal 20 UU Paten di dalam Omnibus Law. Terlebih Pasal ini juga merupakan mandat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta penciptaan lapangan kerja. Penghapusan Pasal ini juga akan memperburuk kondisi akses obat murah dan terjangkau di Indonesia karena aturan paten yang semakin kuat serta kemungkinan hilangnya produksi obat tersebut di dalam negeri. Terlebih pada masa Pandemi, sistem kesehatan di negara kita masih jauh dari kondisi ideal untuk menjamin kesehatan masyarakat.[]
Presentasi Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H.:
Presentasi Lutfiyah Hanim: