Serial Artikel Merespon Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO, Abu Dhabi 2024
Menjelang Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO pada 26-29 Februari 2024 di Abu Dhabi. Salah satu isu yang dibahas mengenai subsidi perikanan. Dalam isu ini terdapat tiga pilar yang menjadi sentral pembahasan, yaitu Pilar 1 tentang IUU Fishing (Illegal Unreported Unregulated Fishing), Pilar 2 tentang Overfishstock, dan Pilar 3 tentang Overcapacity dan Overfishing.
Untuk Pilar 1 dan 2 sudah disepakati pada Konferensi Tingkat Menteri ke-12 WTO di Jenewa, Swiss 2022 lalu.[1] Harapannya kesepakatan itu tidak berlaku, karena tidak menyelesaikan persoalan pada sektor perikanan khususnya IUU Fishing dan Overfishstock. Terlebih lagi akan melarang subsidi perikanan yang selama ini diberikan kepada nelayan. Adapun kesepakatan itu akan berlaku apabila mendapatkan dukungan 54,45% dari jumlah kuorum 164 negara anggota WTO, itu berarti harus disepakati 107 negara terlebih dahulu agar bisa diberlakukan.
Berdasarkan daftar negara WTO yang telah meratifikasi perjanjian terdapat 34 negara yang telah meratifikasi dan atau menyetujui kesepakatan yang dihasilkan pada Pilar 1 dan Pilar 2. Diantaranya adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, United Kingdom, Australia, Swiss, hingga Singapore.[2]
Dalam perkembangannya, Indonesia belum termasuk negara yang meratifikasi atau menyetujui perjanjian tersebut. Karena, mempertimbangkan aspek subsidi yang dilarang oleh WTO akan berdampak pada nelayan kecil. Memang Indonesia sudah seharusnya tidak meratifikasi perjanjian tersebut, mengingat jutaan nelayan dan bahkan sektor perikanan di Indonesia akan terancam dengan adanya perjanjian ini.
WTO Melarang Subsidi Perikanan
Dalam draft teks negosiasi pada Pilar Overcapacity dan Overfishing WTO ingin menghapuskan subsidi perikanan yang selama ini diberikan oleh negara berkembang-kurang berkembang tanpa adanya pengecualian. Suatu negara dianggap melanggar ketentuan WTO, apabila memberikan subsidi secara spesifik ke nelayan. Karena hal itu dianggap mendistorsi perdagangan. Dibawah ini subsidi yang dilarang oleh WTO diberikan bagi sektor perikanan.
Ada 8 (delapan) jenis subsidi perikanan yang dilarang oleh WTO, yaitu:[3]
- Subsidi untuk konstruksi, akuisisi, modernisasi, renovasi atau peningkatan kapal;
- Subsidi untuk pembelian mesin dan peralatan untuk kapal (termasuk alat tangkap dan mesin, mesin pengolahan ikan, teknologi pencarian ikan, refrigerator, atau mesin untuk menyortir atau membersihkan ikan);
- Subsidi untuk pembelian / biaya bahan bakar, es, atau umpan;
- Subsidi untuk biaya personel, biaya sosial, atau asuransi;
- Dukungan pendapatan (income) kapal atau operator atau pekerja yang mereka pekerjakan [kecuali untuk subsidi yang diterapkan untuk tujuan subsisten selama penutupan musiman];
- Dukungan harga ikan yang ditangkap;
- Subsidi untuk mendukung kegiatan di laut;
- Subsidi yang mencakup kerugian operasi kapal atau penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan.
Subsidi yang dilarang oleh WTO itu tentunya bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Terlebih lagi dalam Pasal 18 UU 7/2016 itu disebutkan bahwa ”Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyediakan prasarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman”.[4] Kalau perjanjian WTO nantinya disahkan dan atau disepakati, maka Pemerintah Indonesia dicabut kewenangannya untuk memberikan dukungan atau subsidi dalam bentuk apapun kepada nelayan.
Padahal 8 (delapan) subsidi subsidi perikanan yang dilarang diatas itu merupakan subsidi yang seharusnya diberikan kepada nelayan. Misalnya, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), asuransi nelayan hingga dukungan terhadap alat tangkap nelayan. Hal itu akan sepenuhnya dilarang oleh WTO, apabila perjanjian subsidi perikanan ini disahkan. Kalau dilarang, bagaimana keberlanjutan dan nasib nelayan kecil?
Kemudian, draft text perjanjian ini menimbulkan ketidakadilan bagi negara berkembang. Karena, negara berkembang hanya diberikan jangka waktu pengecualian untuk tetap memberikan subsidi sesuai dengan 8 subsidi diatas hanya selama 7 tahun sejak perjanjian ini diberlakukan. Kemudian dapat diperpanjang selama 2 tahun. Itu berarti negara berkembang hanya dapat memberikan subsidi dibatasi hingga 9 tahun maksimal sejak perjanjian diberlakukan.
Article 5.5 Fisheries Subsidies (draft text Overfishing and Overcapacity – OFOC)
“5.5 A developing country Member may grant or maintain the subsidies referred to in Article 5.1 to fishing and fishing related activities within its exclusive economic zone and the area of competence of a relevant RFMO/A [for a maximum of 7 years after the entry into force of this Agreement][up to the year 2030]. Subsidies granted or maintained under this paragraph shall be exempt from actions based on Articles 5.1 and 10 of this Agreement for a period of 2 additional years after the end of the period referred to in the prior sentence. A developing country Member intending to invoke this provision shall inform the Committee in writing within one year of the date of entry into force of this Agreement”.[5]
Padahal, seharusnya negara berkembang mendapatkan hak special and differential treatment (SDT)[6] dalam perjanjian subsidi perikanan tersebut dan bukan negara maju. Tetapi justru dibatasi dengan adanya perjanjian subsidi perikanan ini. Yang harus dibatasi adalah negara maju, karena selama ini negara maju memberikan subsidi yang sangat fantastis sekali di sektor perikanan.
Data menunjukkan bahwa angka subsidi perikanan global sebesar USD 35,4 miliar setiap tahunnya, dan sebanyak USD 22 miliar digunakan untuk subsidi yang merugikan. Terdapat lima negara yang memberikan subsidi sangat besar di sektor perikanan, yaitu: Tiongkok, Uni Eropa, Amerika Serikat, Republik Korea, dan Jepang).[7]
Perjanjian Subsidi Perikanan WTO Diskriminatif
Persoalan hak mendapatkan perlakuan khusus dan berbeda (SDT) untuk negara berkembang juga tidak ada dalam konteks jarak tempuh nelayan yang mendapat subsidi. Disebutkan dalam draft teks perjanjian bahwa nelayan yang melaut dibawah 12 atau 24 Nautical Miles (NM) dari garis pantai/garis kepulauan maka masih mendapatkan subsidi. Sementara bila melampaui 12 atau 24 NM, maka dilarang mendapatkan subsidi.
Jarak tempuh nelayan Indonesia cukup jauh, bahkan melampaui 12 atau 24 NM. Dalam beberapa pemberitaan di media menyebutkan nelayan Indonesia melaut hingga perairan Australia. Bahkan aktivitas seperti ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun.[8] Kalau demikian kasusnya, maka nelayan Indonesia yang melaut melampaui 12 atau 24 NM itu tidak lagi mendapatkan subsidi seperti BBM hingga asuransi nelayan. Padahal aturan UNCLOS menyebutkan hingga 250 NM, lebih fleksibel daripada WTO yang membatasi 12 atau 24 NM.
Article 5.5 (c) Fisheries Subsidies Draft Text:
“A developing country Member may grant or maintain the subsidies referred to in Article 5.1 for low income, resource-poor and livelihood fishing or fishing related activities, up to [12][24] nautical miles measured from the baselines, including archipelagic baselines”.[9]
Jarak 12 atau 24 NM selain bersifat diskriminatif, juga mengancam keberlanjutan hidup nelayan kecil. Dalam konteks Indonesia, banyaknya pesisir pantai maupun pulau yang dijadikan reklamasi mempengaruhi tangkapan ikan bagi nelayan. Karena, tentu ikan sudah langka dipinggir pantai akibat proyek reklamasi tersebut. Data menyebutkan terdapat 37 proyek reklamasi pada 2016.[10] Ini mengakibatkan nelayan kecil harus berjuang mendapatkan ikan dengan jarak tempuh yang lebih jauh dan juga harus bertarung dengan kapal-kapal besar.
Penulis:
Rahmat Maulana Sidik
Direktur Eksekutif, Indonesia for Global Justice (IGJ)
Alamat Kantor:
Jl. Rengas Besar No. 35C, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Website: www.igj.or.id
Email: Rahmat.maulana@igj.or.id
[1] Lihat Fisheries Subsidies Agreement yang disepakati pada KTM ke-12 WTO: https://www.wto.org/english/news_e/news22_e/wtmin22w22.pdf.[2] Lihat daftar negara yang telah menerima kesepakatan subsidi perikanan pada Pilar 1 dan Pilar 2: https://www.wto.org/english/tratop_e/rulesneg_e/fish_e/fish_acceptances_e.htm.
[3] Lihat Article 5 bagian subsidies contributing to overcapacity and overfishing: https://docs.wto.org/dol2fe/Pages/SS/directdoc.aspx?filename=q:/WT/MIN22/W20.pdf&Open=True.
[4] Lihat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Link: https://peraturan.bpk.go.id/Details/37237/uu-no-7-tahun-2016.
[5]Selengkapnya dapat dilihat pada link berikut: https://docs.wto.org/dol2fe/Pages/SS/directdoc.aspx?filename=q:/WT/MIN22/W20.pdf&Open=True.
[6] Secara umum S&D merujuk kepada hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan WTO kepada negara berkembang, dan tidak diberikan kepada negara maju. Anda dapat melihat rules SDT yang ada di WTO melalui link berikut: https://www.wto.org/english/tratop_e/dda_e/status_e/sdt_e.htm.
[7] Lihat: https://news.mongabay.com/2022/06/wto-finally-nets-deal-curbing-fisheries-subsidies-but-tables-key-bits-for-later/.
[8] Lihat: https://news.detik.com/abc-australia/d-6701614/pemerintah-australia-tidak-akan-hukum-nelayan-indonesia-yang-terdampar.
[9] Lihat draft text OFOC: https://docs.wto.org/dol2fe/Pages/SS/directdoc.aspx?filename=q:/WT/MIN22/W20.pdf&Open=True.
[10] Lihat: https://www.suara.com/bisnis/2016/10/04/183704/total-ada-37-proyek-reklamasi-di-indonesia.