Pernyataan Sikap
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi
Komite Pembela Hak Konstitusional
Dalam Merespon Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO
26–29 Februari 2024, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab
“Hentikan Perundingan yang Tidak Sesuai dengan Kehendak Rakyat di Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-13”
Setiap dua tahun, Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) mengadakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang mana KTM ke-13 tahun ini akan dilaksanakan di Abu Dhabi pada tanggal 26-29 Februari 2024. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (Koalisi MKE) dan Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak tunduk pada kepentingan pembangunan negara maju dalam agenda reformasi WTO dan tidak melanjutkan proses perundingan perjanjian WTO yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, khususnya terkait dengan ketentuan subsidi perikanan, pertanian, dan fasilitasi investasi untuk pembangunan.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga harus terus memperjuangkan penangguhan perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI)melalui mekanisme Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) waiver. Hal ini menjadi penting dalam konteks penanggulangan dan persiapan menghadapi pandemi demi memastikan kesetaraan akses antara negara maju dan berkembang, juga mencegah monopoli pasar oleh perusahaan farmasi besar.
Reformasi WTO: Tak Ada Agenda Pembangunan yang Berpihak pada Kepentingan Rakyat Indonesia
Sebagai sebuah lembaga multilateral, WTO kerap memperlihatkan kegagalannya dalam melindungi kepentingan negara berkembang dan negara kurang berkembang. Hal ini terlihat melalui mandeknya agenda pembangunan Doha sejak tahun 2021 dan hingga kini ketika negara maju kerap mendorong masifnya perjanjian plurilateral dan perombakan perlakuan khusus dan berbeda (Special and Differential Treatment/S&DT) sebagai bagian dari reformasi WTO yang menyebabkan terjadinya krisis mekanisme pengambilan keputusan WTO sebagai lembaga multilateral.
Desakan negara maju untuk mendorong agenda reformasi WTO juga tidak lepas dari situasi geopolitik global yang mempengaruhi kondisi ekonomi, salah satunya berupa penguatan tindakan proteksionisme di hampir seluruh negara dunia, termasuk disrupsi rantai pasok global. Geopolitik global telah mempengaruhi pada pembentukan geoekonomi global yang menjadikan perdagangan sebagai senjata (weaponization of trade) untuk menekan pihak-pihak yang berbeda posisi dalam tensi geopolitik.
Pada akhirnya, pendalaman krisis multilateralisme di WTO akan terus terjadi dan berdampak pada tekanan kepada negara berkembang dan kurang berkembang dalam proses perundingan di WTO untuk menjadi bagian dari like-minded partners dalam perdagangan internasional. Hal ini sangat kental nuansanya dengan mendorong penguatan dukungan dari negara berkembang dan negara kurang berkembang terhadap perjanjian plurilateral WTO.
Memang, nampaknya kembali akan ada upaya negara maju untuk mendesak agar perjanjian plurilateral yang dibahas saat ini dapat diadopsi dalam KTM ke-13 WTO. Namun, tentu hal ini akan menjadi mekanisme yang ilegal karena perjanjian plurilateral ini tidak disepakati secara konsensus oleh seluruh negara anggota WTO dan menyalahi mekanisme multilateral WTO. Beberapa perjanjian plurilateral yang akan didesak untuk dibahas adalah Joint Statement Initiative (JSI) e-commerce, fasilitasi investasi untuk pembangunan, dan services domestic regulation.
Terlebih, beberapa agenda reformasi WTO yang didesak oleh negara-negara maju akan kembali mendorong usulan aturan baru untuk S&DT (perlakuan khusus dan berbeda) guna membatasi penerapan mekanisme fleksibilitas oleh negara berkembang dan kurang berkembang. Hal ini akan membuka lebih banyak ruang untuk bisnis besar di WTO di bawah payung ‘multistakeholderisme’.
Untuk itu, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak ikut menjadi anggota dan menyepakati seluruh bentuk perjanjian plurilateral di WTO, dan menolak agenda reformasi WTO yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat Indonesia.
Dampak Perundingan Perjanjian WTO pada Kehidupan Rakyat
Fasilitasi Investasi untuk Pembangunan
Dalam hal JSI terkait fasilitasi investasi untuk pembangunan, Koalisi MKE menilai bahwa dukungan Indonesia terhadap perjanjian plurilateral ini akan semakin melegitimasi mekanisme ilegal di dalam WTO dan memperdalam krisis lembaga multilateralisme. Lebih lanjut, pengaturan perjanjian fasilitasi investasi akan digunakan untuk memperluas cakupan peraturan WTO ke dalam undang-undang investasi nasional, dengan mendisiplinkan pengambilan keputusan pemerintah mengenai investasi dan memberikan standar perlindungan bagi investor asing ketimbang rakyat.
Terlebih, keinginan Pemerintah Indonesia untuk memasukan Sistem Online Single Submission Risk-based Assessment (OSS-RBA) sebagai standar fasilitasi perizinan investasi yang akan diadopsi ke dalam perjanjian plurilateral WTO akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan sistem perizinan investasi dalam OSS yang pengaturannya di bawah Undang-undang Cipta Kerja telah cacat secara konstitusi dan terus dilegitimasi oleh prosedural hukum yang secara fundamental bertentangan dengan semangat demokrasi di Indonesia. Bahkan, Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 tidak menghasilkan perubahan mendasar atas kebijakan diplomasi ekonomi Internasional Indonesia yang terus memfasilitasi kepentingan korporasi multinasional dan didukung penuh baik oleh aktor eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
E-Commerce
Pembebasan bea masuk untuk perdagangan elektronik lintas negara hingga Desember 2023, atau paling lambat Maret 2024, menjadi tantangan bagi kebijakan ekonomi Indonesia. Di satu sisi, dengan pembebasan bea masuk dalam perdagangan elektronik, sejatinya bisa menjadi momentum bagi UMKM untuk memanfaatkan peluang ekspor produk dalam negeri. Namun disisi lain, hasil KTM tersebut juga memberikan peluang bagi produk impor dengan biaya lebih rendah dan harga produk murah, bisa masuk dan membanjiri pasar Indonesia. Disparitas yg tinggi antara UMKM negara maju dan negara berkembang atau tertinggal pada akhirnya memberikan tekanan pada pasar domestik untuk produk lokal dari UMKM di Indonesia dan terancam digerus oleh produk impor. Hal ini tentu akan merugikan ekonomi Indonesia dengan segera dan dalam jangka panjang.
Ditambah lagi adanya desakan WTO untuk meliberalisasi e-commerce dalam KTM ke-13 dan kebijakan UMKM dari pemerintah Indonesia yang setengah hati, akan menjadi mimpi buruk bagi perekonomian rakyat menengah bawah. Kami masyarakat sipil Indonesia tetap melihat bahwa Moratorium E-commerce masih merupakan faktor penting dan menentukan yang mempengaruhi terintimidasi atau terdominasinya negara-negara berkembang dan tertinggal dari perusahaan-perusahaan besar teknologi khususnya yang berasal dari negara-negara maju. Pemerintah indonesia dan negara-negara berkembang lainnya harus secara kuat menghapus Moratorium E-commerce tersebut dan menyusun pengaturan yang lebih adil bagi transmisi elektronik secara global.
Kesehatan
Pada tahun 2022, negara anggota WTO telah menyepakati TRIPS waiver untuk vaksin COVID-19. Akan tetapi, perundingan untuk memperluas cakupan bagi alat diagnostik dan terapeutik masih mengalami kebuntuan karena blokade dari negara-negara maju. Menyikapi permasalahan ini, Koalisi MKE mendesak Pemerintah Indonesia untuk terus mendorong diskusi mengenai perluasan TRIPS waiver bagi produksi dan suplai alat diagnostik dan terapeutik COVID-19 di WTO. Perpanjangan atas Keputusan Menteri atas Perjanjian TRIPS No. WT/L/1141 sebagaimana dengan yang disampaikan melalui Ayat 6 juga harus berlaku terhadap perluasan ini. Kedua, mendesak Pemerintah Indonesia untuk mendorong perbaikan teks atas Keputusan Menteri atas Perjanjian TRIPS tadi, utamanya pada poin-poin pemanfaatan Keputusan, definisi subjek paten, pemberitahuan mengenai pemanfaatan Keputusan, dan jangka waktu TRIPS waiver. Selain itu Koalisi juga menyuarakan tunturan kepada negara-negara maju yang didukung oleh perusahaan farmasi untuk berhenti menolak proposal TRIPS Waiver dan mengutamakan kepentingan nyawa masyarakat di atas keuntungan perusahaan farmasi. Terakhir, Pemerintah Indonesia juga harus memaksimalkan pemanfaatan dari fleksibilitas TRIPS, termasuk lisensi wajib dan government use, demi mendorong akses berkeadilan bagi komoditas kesehatan esensial. Sebab sudah waktunya nyawa manusia diutamakan di atas kepentingan korporat.
Perempuan
Lebih lanjut, pada tahun 2017, negara anggota WTO bersepakat melalui Deklarasi Perdagangan dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (Joint Declaration on Trade and Women’s Economic Empowerment) yang ditindaklanjuti dengan pembentukan dari kelompok kerja informal perdagangan dan gender (the Informal Working Group on Gender and Trade) pada 2020. Saat ini, Pokja Perdagangan dan Gender tengah mendorong inisiatif inklusi keuangan untuk disepakati pada KTM ke-13. Koalisi MKE mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak mengikuti perundingan tersebut, yang mereduksi peran perempuan menjadi sekadar motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Inisiatif itu juga mengabaikan ketimpangan dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan sebagai akibat dari liberalisasi perdagangan dan kemudahan investasi yang terus didorong oleh WTO.
Perikanan
Berkaitan dengan konteks perjanjian subsidi perikanan, KTM-13 WTO akan membahas dua pilar utama dalam subsidi perikanan yaitu penangkapan ikan ilegal, tidak terlaporkan, dan tidak teregulasi (illegal, unreported, and unregulated Fishing) dan stok ikan yang ditangkap secara berlebihan (overfished stocks). Beberapa jenis subsidi perikanan yang akan dihapuskan jika perjanjian ini disepakati adalah subsidi untuk bahan bakar, biaya sosial, asuransi, dukungan harga ikan yang ditangkap, hingga subsidi yang mencakup kerugian penangkapan ikan.
Jika perjanjian subsidi perikanan tersebut disepakati, maka akan nelayan kecil dan tradisional akan semakin termarjinalkan karena tidak ada subjek yang dikecualikan dalam penghapusan subsidi perikanan tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara jelas menyebutkan bahwa nelayan kecil berhak untuk mendapatkan subsidi dari Pemerintah Indonesia dalam konteks perikanan. Dalam UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam mewajibkan pemerintah untuk memberikan subsidi perikanan seperti subsidi bahan bakar, asuransi perikanan, asuransi jiwa, dan mewujudkan harga ikan yang menguntungkan nelayan. Perjanjian penghapusan subsidi perikanan ini hanya akan semakin mencekik nelayan bahkan dapat menghilangkan profesi nelayan kecil di negara-negara berkembang. Sudah saatnya Pemerintah Indonesia menjadi pemimpin bagi negara-negara berkembang lainnya untuk menghentikan perundingan subsidi perikanan yang akan merugikan dan tidak berkeadilan bagi nelayan kecil.
Pertanian
Khusus dalam kaitannya dengan isu pertanian, peran WTO juga sangat merugikan petani kecil, khususnya petani yang memproduksi pangan. Skema perdagangan bebas WTO yang membuka keran impor memperkuat pemiskinan para petani. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan impor beras 3 juta ton untuk tahun 2024 ini. Sejak impor pangan mulai direalisasikan, harga GKP (Gabah Kering Panen) petani terus menurun, yang membuat pendapatan petani semakin rendah. Kebijakan ini pun juga dilakukan tanpa memikirkan musim panen yang sudah dimulai di beberapa wilayah. Sesuai mandat dari UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Negara harus melindungi petani dalam konteks perdagangan serta harus memprioritaskan produksi lokal. Akan tetapi, mandat dari undang-undang tersebut masih belum diimplementasikan akibat tidak adanya keberpihakan pemerintah kepada para petani kecil dan intervensi WTO. Intervensi WTO yang merugikan ini dapat kita lihat dari kekalahan Pemerintah Indonesia atas gugatan beberapa negara seperti Amerika Serikat, Brazil, Selandia Baru, dan Australia di dalam kasus proteksi impor daging, ayam, dan sayuran di Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO karena Indonesia dianggap telah melakukan proteksi perdagangan. Hasilnya Indonesia terpaksa harus mengubah beberapa peraturannya untuk membuka impor produk-produk tersebut.
Jakarta, 27 Februari 2024, atas nama Koalisi MKE dan KEPAL
- Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin)
- Indonesia AIDS Coalition (IAC)
- Indonesia for Global Justice (IGJ)
- Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
- Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Sahita Institute (Hints)
- Serikat Petani Indonesia (SPI)
- Solidaritas Perempuan (SP)
Untuk komunikasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Koordinator Koalisi MKE: Olisias Gultom, Direktur Hints, di No. 088298293959 dan Rahmat Maulana Sidik, Direktur IGJ, di No. 081210025135
Koordinator Koalisi KEPAL: Gunawan, Dewan Pembina IHCS, di No. 081584745469