• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Surat Terbuka Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia : “Menolak Rancangan Undang-Undang Paten yang Mengabaikan Kesehatan Masyarakat dan  Sarat Kepentingan Bisnis” 

September 26, 2024
in Uncategorized @id
Home Uncategorized @id
946
SHARES
2.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Surat Terbuka Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia 

“Menolak Rancangan Undang-Undang Paten yang Mengabaikan Kesehatan Masyarakat dan  Sarat Kepentingan Bisnis” 

Kepada Yth. 

Bapak Ir. H. Joko Widodo 

Presiden Republik Indonesia 

Ibu Dr. (H.C.) Puan Maharani 

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 

Bapak Dr. Supratman Andi Agtas, S.H., M.H. 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 

Bapak Wihadi Wiyanto, S.H., M.H. 

Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Paten 

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 

Bapak Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU 

Menteri Kesehatan Republik Indonesia 

Ibu Retno Lestari Priansari Marsudi, S.IP., LL.M. 

Menteri Luar Negeri Republik Indonesia 

Kami, Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, menyatakan penolakan keras terhadap  Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Paten yang saat ini sedang dibahas oleh Panitia  Khusus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah. 

Kami dengan tegas menyatakan bahwa RUU Paten mengabaikan kepentingan kesehatan  masyarakat dan cenderung mengakomodir kepentingan bisnis. RUU Paten yang sedang  dibahas gagal menjamin kesehatan masyarakat sesuai amanat dari UUD 1945 untuk  memberikan hak bagi setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,  mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan.  RUU Paten juga telah mengabaikan perjuangan diplomasi Indonesia dalam rangka  memaksimalkan penggunaan dari Fleksibilitas TRIPS. Sebaliknya, RUU Paten justru  cenderung mementingkan kepentingan bisnis, salah satunya perusahaan farmasi, untuk  mengambil keuntungan sebesar-besarnya melalui monopoli di atas kepentingan hidup  masyarakat luas. Hal ini akan berdampak pada tingginya biaya kesehatan yang harus  ditanggung oleh negara dan masyarakat, sebagai akibat dari mahalnya harga obat karena  monopoli paten.  

UU Paten disusun berdasarkan kerangka rezim Kekayaan Intelektual (KI) yang diatur oleh Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). TRIPS sendiri merupakan  bagian dari pilar perdagangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebelumnya, negara  berkembang seperti Indonesia belum mengenal perlindungan KI. Indonesia baru mengatur  perlindungan paten melalui UU No. 5 Tahun 1989, yang kemudian disesuaikan dengan  ketentuan TRIPS seiring dengan keanggotaan Indonesia di WTO. 

Secara historis, TRIPS merupakan perundingan yang tidak seimbang, karena dirundingkan  sejak tahun 1986 atau sebelum negara-negara berkembang mengenal perlindungan KIsehingga  condong pada kepentingan negara-negara maju atau pada akhirnya, bisnis.  

Kecenderungan pada kepentingan bisnis inilah yang kami, Organisasi Masyarakat Sipil  Indonesia, amati dalam RUU Paten. Sedari awal, pembahasan RUU Paten dilakukan secara  tertutup dan tidak transparan, yakni minim informasi dan pelibatan dari kelompok masyarakat  sipil. Lebih lanjut, substansi dari RUU Paten tersebut amat rentan mengorbankan kepentingan  publik atas kesehatan dan justru mengedepankan kepentingan bisnis.  

Secara khusus, kami ingin menyoroti beberapa Pasal dalam RUU Paten: 

1. Pertama, Pasal 4 (f) yang diubah di dalam RUU Paten akan mendorong monopoli karena membuka ruang bagi pendaftaran paten sekunder. Hal ini bertentangan dengan Pasal  4 (f) di UU Paten terdahulu, atau UU No. 13 Tahun 2016, yang sudah cukup bijak dengan  mengecualikan perlindungan atas paten sekunder. UU 13/2016 menetapkan pengecualian atas ‘penggunaan baru dari produk yang sudah ada dan/atau yang sudah dikenal’ dan  ‘bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat  secara signifikan dan mengandung struktur kimia yang berbeda’ dari invensi. Kedua  ketentuan ini sudah sangat tepat untuk melindungi kesehatan publik dari praktik  perpanjangan paten, atau patent evergreening, yang kerap dilakukan oleh perusahaan  farmasi untuk memperpanjang monopoli, demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. 

Sebagai contoh adalah Tenofovir, yang digunakan untuk pengobatan HIV-AIDS. Karena  pendaftaran dari berbagai paten sekunder, maka paten Tenofovir, yang seharusnya berakhir  pada tahun 2021 terus diperpanjang hingga tahun 2037. Hal ini berarti perpanjangan  monopoli selama 16 tahun. Monopoli menyebabkan harga obat menjadi mahal, tidak hanya  bagi masyarakat tetapi juga Pemerintah yang menanggung biaya pengobatan warga negara  melalui Sistem Jaminan Kesehatan Nasional.  

Selain kenaikan harga, monopoli farmasi juga memiliki keterkaitan dengan terlambat  masuknya obat ke suatu negara seperti pada obat-obatan long-acting untuk HIV. Kondisi  demikian menghambat akses masyarakat ke obat-obatan. Terkhusus untuk obat-obatan  esensial seperti untuk HIV-AIDS dan TB, hal ini akan menghambat upaya Pemerintah  untuk memenuhi target nasional di bidang kesehatan, yakni Mengakhiri AIDS dan TB pada  tahun 2030. 

Terakhir, Pasal 4 (f) di UU 13/2016 tentang Paten juga menjadi landasan untuk melindungi  masyarakat dari paten-paten berkualitas rendah, yang didaftarkan semata-mata demi  memperpanjang monopoli dan mengeruk keuntungan. Yakni, melalui mekanisme banding  paten oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Mengingat hal tersebut, maka perubahan dari  Pasal 4 (f) di RUU Paten ini berarti membuka ruang bagi monopoli, yang berdampak buruk  bagi kesehatan publik, terutama akses masyarakat ke obat-obatan terjangkau.  

2. Kedua, Pasal 19 Ayat 1 (c) yang menambahkan frasa terkait ‘paten metode’ tidak  memiliki urgensi yang jelas karena paten metode tidak dikenal dalam ketentuan TRIPS.  Hal ini berarti tidak ada kewajiban bagi negara anggota WTO untuk mencantumkan  ataupun mengatur mekanisme tersebut di dalam UU. Pengenalan dari paten metode juga  dilakukan secara serampangan dan berpotensi menimbulkan ambiguitas antara paten 

metode, sistem, dan penggunaan.

Melandaskan pencantuman dari paten metode pada UU No. 6 Tahun 2023 tentang  Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja  menjadi Undang-Undang juga tidak tepat mengingat frasa paten metode di UU 6/2023  diatur dalam pasal pengganti untuk Pasal 20 UU 13/2016 yang merupakan pasal turunan  ataupun penjelas dari pasal-pasal sebelumnya, termasuk Pasal 19. Karenanya, tidak tepat  apabila suatu pasal diubah berdasarkan pasal turunannya. Selain itu, UU Cipta Kerja juga  dibahas secara tertutup dan terburu-buru, tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat sipil  dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. 

3. Ketiga, penghapusan dari Pasal 93 tentang lisensi wajib untuk produk farmasi  berpotensi untuk melemahkan upaya-upaya yang dapat ditempuh oleh Pemerintah  demi menjamin akses masyarakat ke obat-obatan. Lisensi wajib untuk produk farmasi  merupakan mandat dari Fleksibilitas TRIPS yang diakui melalui Deklarasi Doha Tahun  2001. Karenanya, Pasal 93 UU 13/2016 tidak melanggar ketentuan TRIPS dan  penghapusannya akan berdampak buruk bagi kesehatan publik, terutama sehubungan  dengan akses ke obat-obatan.  

Meskipun Pemerintah Indonesia belum menerbitkan lisensi wajib sejak UU 13/2016  disahkan, argumen bahwa Pasal 93 tidak dibutuhkan karena lisensi wajib belum pernah  dikeluarkan tidak tepat. Mengacu pada Pasal 82 Ayat 1 (a) UU 13/2016, lisensi wajib dapat  diajukan jika paten tidak dijalankan dalam waktu 3 tahun setelah diberikan. Namun,  perubahan terhadap Pasal 20 UU 13/2016 melalui UU Cipta Kerja justru membuat  mekanisme lisensi wajib tidak maksimal karena rentang waktu perubahan yang terlalu  singkat. Terlepas dari digunakan atau tidaknya Pasal 93, lisensi wajib untuk produk farmasi  tetap merupakan health safeguards yang penting, yang harus dijaga dan diperkuat. 

Indonesia merupakan pengimpor produk kekayaan intelektual sehingga Indonesia justru  membayar lebih banyak royalti pada perusahaan asing dibandingkan royalti yang diterimanya  dari luar negeri. Indonesia justru akan terus menjadi pengimpor kekayaan intelektual dalam  waktu dekat, sebagaimana yang dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Oleh karena itu, bahkan  dengan mengesampingkan dampak kesehatan di atas, manfaat ekonomi dari perlindungan  kekayaan intelektual yang lebih ketat (TRIPS Plus), seperti memperbolehkan paten atas  penggunaan baru dari obat lama, hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan asing. 

Grafik 1. Data Indonesia sebagai Importir Kekayaan Intelektual 

Sumber: World Bank

Mengingat pasal-pasal yang masih bermasalah di RUU Paten dan implikasinya bagi kesehatan  publik, juga bahwa diperlukan klarifikasi dan pembenahan lebih lanjut terhadap RUU, maka  kami, Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, dengan tegas menyerukan kepada DPR dan  Pemerintah untuk: 

1) Menghentikan segera pembahasan RUU Paten di DPR dan mengembalikan proses  pembahasan di tingkat Pemerintah. Pembahasan RUU Paten harus kembali dilakukan  di tingkat Pemerintah dengan keterlibatan dari kelompok masyarakat sipil secara bermakna  untuk menghindari kepentingan-kepentingan bisnis yang bertolak belakang dengan  kepentingan kesehatan publik; 

2) Mengedepankan kepentingan kesehatan masyarakat di atas kepentingan bisnis dalam  proses penyusunan RUU Paten. 

3) Mendorong draf RUU terbaru yang disusun berdasarkan partisipasi yang bermakna dari  kelompok masyarakat sipil dengan mengedepankan kepentingan kesehatan masyarakat  melalui poin-poin berikut: 

a) Memastikan bahwa RUU Paten mendorong pemanfaatan Fleksibilitas TRIPS yang  lebih luas, meliputi pelaksanaan lisensi wajib untuk produk farmasi, mempermudah  pelaksanaan paten oleh pemerintah dan produksi obat generik, serta detail lain yang  dapat membantu menjamin akses terjangkau dan berkeadilan terhadap produk-produk  kesehatan. 

b) Tidak mencantumkan ketentuan-ketentuan yang melebihi standar minimal  perlindungan yang tertulis dalam TRIPS. 

c) Tidak mencantumkan ketentuan-ketentuan yang berpotensi mendorong monopoli  melalui patent evergreening. 

d) Menetapkan standar patentabilitas yang tinggi, sehingga mendorong pendaftaran paten  yang berkualitas dan bermanfaat bagi publik.  

e) Memberikan kesempatan bagi pihak ketiga untuk menyampaikan pandangan atas  pemberian suatu paten, termasuk memastikan bahwa semua pihak dapat mengajukan  keberatan atas pemberian paten yang tidak memenuhi persyaratan dan berpotensi  mengancam kepentingan publik, termasuk akses masyarakat ke obat-obatan terjangkau.

Tertanda, 

Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia: 

1. FSP FARKES REFORMASI  

2. FSP FARKES-R 

3. GEMA Indonesia  

4. Grapiks Bekasi 

5. Indonesia AIDS Coalition 

6. Indonesia for Global Justice 

7. Indonesia medical association 

8. JAPETI 

9. KDS Lotus Bersatu 

10. KDS LOTUS BERSATU Tangsel 

11. KDS Pela Gandong 

12. KDS Simalungun suport 

13. Koalisi Obat Murah – KPSI 

14. Koalisi untuk Lampung Selatan Sehat  

15. Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) 

16. LaporSehat 

17. Laskar Jember 

18. Lentera Anak Pelangi 

19. LPPSLH 

20. Mintra Citra Remaja Cirebon 

21. OPSI 

22. Pee educator 

23. People’s Health Movement / Geneva Global Health Hub 24. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) 25. Perhimpunan Jiwa Sehat 

26. Perhimpunan Organisasi Pasien TB (POP TB) 

27. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) 

28. PKBI 

29. PKBI Cabang Jakarta Utara 

30. PKBI CABANG JAKARTA UTARA 

31. PKBI Cirebon  

32. PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia)  

33. Rekat Peduli Indonesia 

34. Rumah Cemara 

35. SKPKC FRANSISKAN PAPUA 

36. The Prakarsa 

37. University of Indonesia 

38. Wahana Nusantara 

39. Yayasan Anak Bangsa Merajut Harapan (Angsamerah Foundation) 40. Yayasan Anugerah Insan Residivist  

41. Yayasan Bina Vitalis Palembang 

42. Yayasan Dedikasi Tjipta Indonesia Sulawesi Selatan 43. Yayasan FKPB 

44. Yayasan GEMPITA (Gerakan Mandiri Pita Merah) 

45. Yayasan Harapan Sumba 

46. Yayasan Hipertensi Paru Indonesia 

47. Yayasan Hipertensi Paru Indonesia 

48. Yayasan Kalandara

49. Yayasan Mitra Alam 

50. Yayasan Penabulu 

51. Yayasan Resik 

52. Yayasan Sehat Panghuripan Sukowati  53. Yayasan Spiritia 

54. Yayasan TEKAD 

55. YCUI 

Individu: 

1. Andri Yoga Utami, 

2. Paran Sarimita

Unduh File
Previous Post

PBB: Krisis Utang Menghambat Negara-Negara Afrika Sub-Sahara, Membahayakan Kemajuan Dalam Mengakhiri AIDS

Next Post

Siaran Pers: Banding Paten untuk Obat HIV Lenacapavir Kelompok Pasien Mendorong Produksi Generik dan Akses Terjangkau ke Obat HIV Termutakhir Lenacapavir  

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655

  • Indonesia