Surat Terbuka Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia
“Menolak Rancangan Undang-Undang Paten yang Mengabaikan Kesehatan Masyarakat dan Sarat Kepentingan Bisnis”
Kepada Yth.
Bapak Ir. H. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Ibu Dr. (H.C.) Puan Maharani
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Bapak Dr. Supratman Andi Agtas, S.H., M.H.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Bapak Wihadi Wiyanto, S.H., M.H.
Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Paten
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Bapak Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Ibu Retno Lestari Priansari Marsudi, S.IP., LL.M.
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Kami, Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, menyatakan penolakan keras terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Paten yang saat ini sedang dibahas oleh Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah.
Kami dengan tegas menyatakan bahwa RUU Paten mengabaikan kepentingan kesehatan masyarakat dan cenderung mengakomodir kepentingan bisnis. RUU Paten yang sedang dibahas gagal menjamin kesehatan masyarakat sesuai amanat dari UUD 1945 untuk memberikan hak bagi setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan. RUU Paten juga telah mengabaikan perjuangan diplomasi Indonesia dalam rangka memaksimalkan penggunaan dari Fleksibilitas TRIPS. Sebaliknya, RUU Paten justru cenderung mementingkan kepentingan bisnis, salah satunya perusahaan farmasi, untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya melalui monopoli di atas kepentingan hidup masyarakat luas. Hal ini akan berdampak pada tingginya biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh negara dan masyarakat, sebagai akibat dari mahalnya harga obat karena monopoli paten.
UU Paten disusun berdasarkan kerangka rezim Kekayaan Intelektual (KI) yang diatur oleh Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). TRIPS sendiri merupakan bagian dari pilar perdagangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebelumnya, negara berkembang seperti Indonesia belum mengenal perlindungan KI. Indonesia baru mengatur perlindungan paten melalui UU No. 5 Tahun 1989, yang kemudian disesuaikan dengan ketentuan TRIPS seiring dengan keanggotaan Indonesia di WTO.
Secara historis, TRIPS merupakan perundingan yang tidak seimbang, karena dirundingkan sejak tahun 1986 atau sebelum negara-negara berkembang mengenal perlindungan KIsehingga condong pada kepentingan negara-negara maju atau pada akhirnya, bisnis.
Kecenderungan pada kepentingan bisnis inilah yang kami, Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, amati dalam RUU Paten. Sedari awal, pembahasan RUU Paten dilakukan secara tertutup dan tidak transparan, yakni minim informasi dan pelibatan dari kelompok masyarakat sipil. Lebih lanjut, substansi dari RUU Paten tersebut amat rentan mengorbankan kepentingan publik atas kesehatan dan justru mengedepankan kepentingan bisnis.
Secara khusus, kami ingin menyoroti beberapa Pasal dalam RUU Paten:
1. Pertama, Pasal 4 (f) yang diubah di dalam RUU Paten akan mendorong monopoli karena membuka ruang bagi pendaftaran paten sekunder. Hal ini bertentangan dengan Pasal 4 (f) di UU Paten terdahulu, atau UU No. 13 Tahun 2016, yang sudah cukup bijak dengan mengecualikan perlindungan atas paten sekunder. UU 13/2016 menetapkan pengecualian atas ‘penggunaan baru dari produk yang sudah ada dan/atau yang sudah dikenal’ dan ‘bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat secara signifikan dan mengandung struktur kimia yang berbeda’ dari invensi. Kedua ketentuan ini sudah sangat tepat untuk melindungi kesehatan publik dari praktik perpanjangan paten, atau patent evergreening, yang kerap dilakukan oleh perusahaan farmasi untuk memperpanjang monopoli, demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Sebagai contoh adalah Tenofovir, yang digunakan untuk pengobatan HIV-AIDS. Karena pendaftaran dari berbagai paten sekunder, maka paten Tenofovir, yang seharusnya berakhir pada tahun 2021 terus diperpanjang hingga tahun 2037. Hal ini berarti perpanjangan monopoli selama 16 tahun. Monopoli menyebabkan harga obat menjadi mahal, tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga Pemerintah yang menanggung biaya pengobatan warga negara melalui Sistem Jaminan Kesehatan Nasional.
Selain kenaikan harga, monopoli farmasi juga memiliki keterkaitan dengan terlambat masuknya obat ke suatu negara seperti pada obat-obatan long-acting untuk HIV. Kondisi demikian menghambat akses masyarakat ke obat-obatan. Terkhusus untuk obat-obatan esensial seperti untuk HIV-AIDS dan TB, hal ini akan menghambat upaya Pemerintah untuk memenuhi target nasional di bidang kesehatan, yakni Mengakhiri AIDS dan TB pada tahun 2030.
Terakhir, Pasal 4 (f) di UU 13/2016 tentang Paten juga menjadi landasan untuk melindungi masyarakat dari paten-paten berkualitas rendah, yang didaftarkan semata-mata demi memperpanjang monopoli dan mengeruk keuntungan. Yakni, melalui mekanisme banding paten oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Mengingat hal tersebut, maka perubahan dari Pasal 4 (f) di RUU Paten ini berarti membuka ruang bagi monopoli, yang berdampak buruk bagi kesehatan publik, terutama akses masyarakat ke obat-obatan terjangkau.
2. Kedua, Pasal 19 Ayat 1 (c) yang menambahkan frasa terkait ‘paten metode’ tidak memiliki urgensi yang jelas karena paten metode tidak dikenal dalam ketentuan TRIPS. Hal ini berarti tidak ada kewajiban bagi negara anggota WTO untuk mencantumkan ataupun mengatur mekanisme tersebut di dalam UU. Pengenalan dari paten metode juga dilakukan secara serampangan dan berpotensi menimbulkan ambiguitas antara paten
metode, sistem, dan penggunaan.
Melandaskan pencantuman dari paten metode pada UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang juga tidak tepat mengingat frasa paten metode di UU 6/2023 diatur dalam pasal pengganti untuk Pasal 20 UU 13/2016 yang merupakan pasal turunan ataupun penjelas dari pasal-pasal sebelumnya, termasuk Pasal 19. Karenanya, tidak tepat apabila suatu pasal diubah berdasarkan pasal turunannya. Selain itu, UU Cipta Kerja juga dibahas secara tertutup dan terburu-buru, tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat sipil dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
3. Ketiga, penghapusan dari Pasal 93 tentang lisensi wajib untuk produk farmasi berpotensi untuk melemahkan upaya-upaya yang dapat ditempuh oleh Pemerintah demi menjamin akses masyarakat ke obat-obatan. Lisensi wajib untuk produk farmasi merupakan mandat dari Fleksibilitas TRIPS yang diakui melalui Deklarasi Doha Tahun 2001. Karenanya, Pasal 93 UU 13/2016 tidak melanggar ketentuan TRIPS dan penghapusannya akan berdampak buruk bagi kesehatan publik, terutama sehubungan dengan akses ke obat-obatan.
Meskipun Pemerintah Indonesia belum menerbitkan lisensi wajib sejak UU 13/2016 disahkan, argumen bahwa Pasal 93 tidak dibutuhkan karena lisensi wajib belum pernah dikeluarkan tidak tepat. Mengacu pada Pasal 82 Ayat 1 (a) UU 13/2016, lisensi wajib dapat diajukan jika paten tidak dijalankan dalam waktu 3 tahun setelah diberikan. Namun, perubahan terhadap Pasal 20 UU 13/2016 melalui UU Cipta Kerja justru membuat mekanisme lisensi wajib tidak maksimal karena rentang waktu perubahan yang terlalu singkat. Terlepas dari digunakan atau tidaknya Pasal 93, lisensi wajib untuk produk farmasi tetap merupakan health safeguards yang penting, yang harus dijaga dan diperkuat.
Indonesia merupakan pengimpor produk kekayaan intelektual sehingga Indonesia justru membayar lebih banyak royalti pada perusahaan asing dibandingkan royalti yang diterimanya dari luar negeri. Indonesia justru akan terus menjadi pengimpor kekayaan intelektual dalam waktu dekat, sebagaimana yang dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Oleh karena itu, bahkan dengan mengesampingkan dampak kesehatan di atas, manfaat ekonomi dari perlindungan kekayaan intelektual yang lebih ketat (TRIPS Plus), seperti memperbolehkan paten atas penggunaan baru dari obat lama, hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan asing.
Grafik 1. Data Indonesia sebagai Importir Kekayaan Intelektual
Sumber: World Bank
Mengingat pasal-pasal yang masih bermasalah di RUU Paten dan implikasinya bagi kesehatan publik, juga bahwa diperlukan klarifikasi dan pembenahan lebih lanjut terhadap RUU, maka kami, Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, dengan tegas menyerukan kepada DPR dan Pemerintah untuk:
1) Menghentikan segera pembahasan RUU Paten di DPR dan mengembalikan proses pembahasan di tingkat Pemerintah. Pembahasan RUU Paten harus kembali dilakukan di tingkat Pemerintah dengan keterlibatan dari kelompok masyarakat sipil secara bermakna untuk menghindari kepentingan-kepentingan bisnis yang bertolak belakang dengan kepentingan kesehatan publik;
2) Mengedepankan kepentingan kesehatan masyarakat di atas kepentingan bisnis dalam proses penyusunan RUU Paten.
3) Mendorong draf RUU terbaru yang disusun berdasarkan partisipasi yang bermakna dari kelompok masyarakat sipil dengan mengedepankan kepentingan kesehatan masyarakat melalui poin-poin berikut:
a) Memastikan bahwa RUU Paten mendorong pemanfaatan Fleksibilitas TRIPS yang lebih luas, meliputi pelaksanaan lisensi wajib untuk produk farmasi, mempermudah pelaksanaan paten oleh pemerintah dan produksi obat generik, serta detail lain yang dapat membantu menjamin akses terjangkau dan berkeadilan terhadap produk-produk kesehatan.
b) Tidak mencantumkan ketentuan-ketentuan yang melebihi standar minimal perlindungan yang tertulis dalam TRIPS.
c) Tidak mencantumkan ketentuan-ketentuan yang berpotensi mendorong monopoli melalui patent evergreening.
d) Menetapkan standar patentabilitas yang tinggi, sehingga mendorong pendaftaran paten yang berkualitas dan bermanfaat bagi publik.
e) Memberikan kesempatan bagi pihak ketiga untuk menyampaikan pandangan atas pemberian suatu paten, termasuk memastikan bahwa semua pihak dapat mengajukan keberatan atas pemberian paten yang tidak memenuhi persyaratan dan berpotensi mengancam kepentingan publik, termasuk akses masyarakat ke obat-obatan terjangkau.
Tertanda,
Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia:
1. FSP FARKES REFORMASI
2. FSP FARKES-R
3. GEMA Indonesia
4. Grapiks Bekasi
5. Indonesia AIDS Coalition
6. Indonesia for Global Justice
7. Indonesia medical association
8. JAPETI
9. KDS Lotus Bersatu
10. KDS LOTUS BERSATU Tangsel
11. KDS Pela Gandong
12. KDS Simalungun suport
13. Koalisi Obat Murah – KPSI
14. Koalisi untuk Lampung Selatan Sehat
15. Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)
16. LaporSehat
17. Laskar Jember
18. Lentera Anak Pelangi
19. LPPSLH
20. Mintra Citra Remaja Cirebon
21. OPSI
22. Pee educator
23. People’s Health Movement / Geneva Global Health Hub 24. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) 25. Perhimpunan Jiwa Sehat
26. Perhimpunan Organisasi Pasien TB (POP TB)
27. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)
28. PKBI
29. PKBI Cabang Jakarta Utara
30. PKBI CABANG JAKARTA UTARA
31. PKBI Cirebon
32. PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia)
33. Rekat Peduli Indonesia
34. Rumah Cemara
35. SKPKC FRANSISKAN PAPUA
36. The Prakarsa
37. University of Indonesia
38. Wahana Nusantara
39. Yayasan Anak Bangsa Merajut Harapan (Angsamerah Foundation) 40. Yayasan Anugerah Insan Residivist
41. Yayasan Bina Vitalis Palembang
42. Yayasan Dedikasi Tjipta Indonesia Sulawesi Selatan 43. Yayasan FKPB
44. Yayasan GEMPITA (Gerakan Mandiri Pita Merah)
45. Yayasan Harapan Sumba
46. Yayasan Hipertensi Paru Indonesia
47. Yayasan Hipertensi Paru Indonesia
48. Yayasan Kalandara
49. Yayasan Mitra Alam
50. Yayasan Penabulu
51. Yayasan Resik
52. Yayasan Sehat Panghuripan Sukowati 53. Yayasan Spiritia
54. Yayasan TEKAD
55. YCUI
Individu:
1. Andri Yoga Utami,
2. Paran Sarimita