Jakarta, 15 Januari 2024. Menurut Laporan Kementerian, utang pemerintah naik menjelang akhir 2024. Per November 2024, angkanya tembus Rp 8.680,13 triliun atau naik sekitar 1,39 persen dibandingkan posisi bulan sebelumnya pada Oktober 2024. Hal ini membuat rasio utang terhadap PDB mendekati angka 40 persen. Pada akhir bulan tersebut, rasio tercatat sebesar 39,20 persen.
Berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah sebagian besar berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 88,12 persen dengan nilai total Rp 7.648,87 triliun. Komposisinya dilengkapi dengan pinjaman 11,88 persen dengan nilai total Rp 1.031,26 triliun.
Kenaikan utang tidak hanya membuat sentimen negatif terhadap ketahanan fiskal Indonesia. Risiko meningkatnya nilai bunga dan risiko melemahnya nilai tukar elah menggambarkan kekhawatiran yang semakin nyata.
kondisi defisit anggaran yang semakin membengkak dengan kebutuhan fiskal yang akan semakin tinggi membuat keputusan menaikan PPN 12 persen seolah menjadi solusi. Walaupun kenyataan atas ketidakadilan dan banyaknya kritik terhadap hal tersebut, pemerintah Indonesia masih belum dapat menjawab solusi peningkatan pendapatan.
Di samping itu, dengan dibatalkannya kenaikan PPN 12 persen telah menghilangkan potensi pendapatan yang diperkirakan sebesar Rp 71 triliun. Tentu saja, hal ini membuat semakin nyatanya potensi peningkatan utang pemerintah Indonesia, salah satunya yaitu dengan penerbitan surat utang (SBN).
SKEMA BURDEN SHARING BUKAN SOLUSI!
Berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah sebagian besar berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 88,12 persen dengan nilai total Rp 7.648,87 triliun. Komposisinya dilengkapi dengan pinjaman 11,88 persen dengan nilai total Rp 1.031,26 triliun.
Namun di balik penerbitan SBN tersebut fakta atas kepemilikan SBN tersebut hanya membuat pasar semakin khawatir.
Per akhir November 2024, kepemilikan SBN domestik didominasi oleh investor dalam negeri dengan porsi kepemilikan 85,02 persen dan investor asing hanya memiliki SBN domestik sekitar 14,53 persen termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing.
Namun, lembaga keuangan domestik memegang kepemilikan yang sangat tinggi yaitu 41 persen (terdiri atas perbankan 18,9 persen, perusahaan asuransi dan dana pensiun 18,9 persen, serta reksa dana 3,2 persen). Sementara itu, kepemilikan SBN domestik oleh Bank Indonesia juga tercatat sangat tinggi sekitar 25,3 persen. Kepemilikan SBN oleh BI juga terus meningkat. pada awal januari 2024 mencapai Rp 1.363,90 triliun dan pada 20 Agustus 2024, kepemilikan SBN oleh BI mencapai Rp 1.411,94 triliun.
Namun, kedua hal tersebut bukanlah hal yang patut dibanggakan.
Walaupun tindakan BI akan membantu menstabilkan harga obligasi pemerintah dan menjaga nilai rupiah, terdapat konsekuensi atas intervensi skema burden sharing yang dilakukan Bank Indonesia yaitu inflasi dengan mencetak uang dan monetisasi utang. Hal ini juga berisiko akan menurunkan kredibilitas Bank Sentral dan kepercayaan pasar terhadap tata kelola ekonomi makro Indonesia.
Sebelum pandemi, mayoritas kepemilikan obligasi pemerintah dipegang oleh investor asing, dengan porsi Bank Indonesia selalu di bawah 10 persen pada periode tersebut. Saat ini, meningkatkan komposisi kepemilikan obligasi pemerintah oleh Bank Indonesia seharusnya tidak semakin dinormalisasikan khususnya setelah pandemi Covid-19 selesai.
Ditambah lagi dengan ketidakpastian ekonomi dan politik global saat ini, sudah sepatutnya masyarakat bertanya kembali untuk melihat sejauh mana batasan intervensi Bank Indonesia seharusnya dapat dilakukan. Karena hal tersebut hanya akan menjadi sia-sia, dan dapat mengalihkan risiko buruk lainnya seperti hilangnya kepercayaan pasar terhadap independensi peran BI dan inflasi.
Artikel ditulis oleh:
Komang Audina Permana Putri, audina@igj.or.id
Program Officer Isu Keuangan Berkelanjutan dan Utang,
Indonesia for Global Justice