• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Diplomasi Dagang yang Mahal! Akses Obat Indonesia Terancam oleh Hasil Negosiasi  Prabowo dan Trump 

Juli 28, 2025
in Uncategorized @id
Home Uncategorized @id
938
SHARES
2.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Artikel  

Diplomasi Dagang yang Mahal! Akses Obat Indonesia Terancam oleh Hasil Negosiasi  Prabowo dan Trump 

Oleh: Agung Prakoso,  

Koordinator Program untuk Isu Kesehatan dan Pangan, Indonesia for Global Justice.  

Hasil negosiasi antara Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dengan Presiden  Republik Indonesia, Prabowo Subianto atas ancaman pemberlakuan tarif sepihak yang  diberlakukan oleh Trump akan sangat merugikan bagi Indonesia, terutama karena banyaknya  kewajiban yang justru harus diemban oleh Indonesia. Sektor kesehatan tidak luput dari yang  terdampak, dalam rilis yang dikeluarkan oleh “Gedung Putih” berjudul “Joint Statement on  Framework for United States–Indonesia Agreement on Recciprocal Trade,” terungkap salah  satu poin bahwa Indonesia harus menerima Sertifikat FDA (Food and Drug Administration)  dan otorisasi pemasaran sebelumnya untuk alat kesehatan dan produk farmasi. Ketentuan  tersebut berbunyi  

“The United States and Indonesia will work together to address Indonesia’s non-tariff  barriers that affect bilateral trade and investment in priority areas, including…  accepting FDA certificates and prior marketing authorizations for medical devices and  pharmaceuticals; …” 

Artinya ketentuan ini mengharuskan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik  Indonesia secara otomatis menerima sertifikat pemasaran produk kesehatan dari otoritas obat  dan makanan AS atau FDA. Ketentuan ini secara khusus dapat berdampak terhadap akses obat  di Indonesia karena banyak produk yang disertifikasi oleh FDA merupakan obat paten dengan  harga yang sangat tinggi. Selain itu, AS melalui FDA juga menerapkan Data Exclusivity  (Eksklusivitas Data) dan Market Exclusivity (Eksklusivitas Pasar/Pemasaran) terhadap produk  obat-obatan. Ketentuan ini sangat melekat dengan FDA sehingga sangat besar potensinya  untuk turut diterapkan di Indonesia sebagai akibat dari hasil negosiasi tarif antara Indonesia  dan AS. Seperti halnya paten, Eksklusivitas Data dan Eksklusivitas Pasar merupakan hambatan  bagi akses pada obat-obatan murah dan terjangkau.  

Eksklusivitas Data dapat menghambat produksi obat generik karena adanya periode  perlindungan yang melarang perusahaan generik menggunakan data uji klinis yang telah  diserahkan kepada otoritas obat, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),  oleh pemegang data asli. Sebagai ilustrasi, dalam konteks kebijakan penggunaan paten oleh 

pemerintah atau lisensi wajib terhadap suatu produk obat yang telah teregistrasi di Badan  Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), perusahaan generik lokal pada prinsipnya dapat  memperoleh izin edar dengan membuktikan kesetaraan (bioekivalensi) produk bahwa produk  tersebut sama dengan obat originator tanpa perlu melakukan uji klinis secara mandiri. Hal ini  dimungkinkan karena data uji klinis yang telah diserahkan oleh pemegang paten (originator)  kepada otoritas regulasi dapat dijadikan rujukan. Namun, keberlakuan ketentuan Eksklusivitas  Data membatasi akses dan penggunaan data tersebut oleh pihak ketiga selama jangka waktu  tertentu. Konsekuensinya, perusahaan generik tidak dapat menggunakan data yang ada dan  diwajibkan untuk melakukan uji klinis tersendiri guna memperoleh izin edar, yang pada akhirnya menambah beban biaya dan waktu serta menghambat percepatan ketersediaan obat  generik di pasar. Kondisi ini sekaligus dapat membatalkan efektivitas lisensi wajib atau  penggunaan paten oleh pemerintah yang selama ini menjadi andalan bagi penyediaan akses  pada obat-obatan. 

Penerapan ketentuan Eksklusivitas Data telah terbukti berdampak negatif terhadap akses obat  di berbagai negara. Di Yordania, misalnya, Eksklusivitas Data menyebabkan keterlambatan  masuknya obat generik yang lebih terjangkau untuk sekitar 79% produk antara tahun 2002  hingga 2006, yang pada akhirnya membebani keberlanjutan sistem pembiayaan kesehatan  publik di sana. Selain itu, harga obat-obatan di Yordania tercatat hingga delapan kali lebih  mahal dibandingkan dengan di Mesir akibat pemberlakuan Eksklusivitas Data. Dampak serupa  juga terjadi di Kolombia, penerapan Eksklusivitas Data menyebabkan peningkatan  pengeluaran sistem kesehatan masyarakat sebesar 396 juta dolar AS selama periode 2003  hingga 2011. Sementara itu, di Guatemala, sebuah studi menunjukkan bahwa banyak obat yang  tersedia secara luas dan terjangkau di negara lain tidak tersedia di pasar domestik, disebabkan  oleh pembatasan akibat perlindungan Eksklusivitas Data. Indonesia memiliki populasi yang  besar dengan beban penyakit menular dan tidak menular yang tinggi tentu akan mengalami  persoalan yang sama. Terlebih saat ini Indonesia merupakan negara tertinggi kedua di dunia  untuk Tuberculosis, penyakit menular yang sangat bergantung pada obat-obatan yang efisien  dalam terapi pengobatannya. 

Di Amerika Serikat, Eksklusivitas Data diberlakukan secara ketat melalui kerangka hukum  seperti Hatch-Waxman Act, yang memberikan periode eksklusivitas selama lima tahun untuk  entitas kimia baru (New Chemical Entities/NCEs). Selama periode ini, FDA dilarang  menggunakan data uji klinis yang diajukan oleh perusahaan inovator untuk menyetujui versi 

generik dari obat yang sama, bahkan ketika paten atas obat tersebut telah berakhir atau  dibatalkan. Hal ini secara efektif menciptakan monopoli pasar tidak langsung, karena  perusahaan generik harus melakukan uji klinis ulang yang memakan biaya besar dan waktu  panjang. Sebuah beban yang tidak realistis dan memperlambat ketersediaan obat murah di  pasar. 

Selain Eksklusivitas Data, kondisi tersebut juga menciptakan market exclusivity atau  Eksklusivitas Pasar atau Pemasaran. Obat yang mengandung zat aktif baru atau senyawa kimia  yang belum pernah disetujui sebelumnya oleh FDA berhak memperoleh market exclusivity atau eksklusivitas pemasaran selama lima tahun tanpa persaingan. Eksklusivitas ini juga diberikan  selama tiga tahun untuk obat yang sudah ada namun dimodifikasi dengan bentuk sediaan baru,  rute pemberian baru, dan juga indikasi pengobatan penyakit baru. Selain itu terdapat tambahan  eksklusivitas bagi obat pediatrik dan antibiotik.  

Kedua ketentuan ini bukan merupakan ketentuan wajib yang ada di dalam Trade-Related  Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) WTO. Sehingga sebetulnya ketentuan ini tidak  perlu diterapkan negara anggota termasuk Indonesia. Namun AS telah berulang kali  memaksakan aturan ini agar diterapkan di negara-negara berkembang melalui perjanjian  perdagangan bebas seperti Trans-Pasific Partnership (TPP). Negara lain seperti Uni Eropa  juga memaksakan hal yang sama melalui Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif  Indonesia-Uni Eropa (I-EU CEPA). Padahal dengan tidak adanya kewajiban dalam TRIPS  untuk menerapkan Eksklusivitas Data seperti di AS, negara berkembang memiliki ruang  kebijakan untuk menolak model AS tersebut dan mengatur pendekatan mereka yang dapat  diutamakan untuk penyediaan kebutuhan publik akan akses obat.  

Namun, hasil negosiasi antara Indonesia dan Amerika Serikat yang mengharuskan BPOM  secara otomatis menerima sertifikasi FDA tidak hanya mengancam kedaulatan negara dalam  hal kewenangan BPOM untuk mengevaluasi keamanan dan efektivitas produk sesuai dengan  konteks populasi dan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia, tetapi juga berpotensi  merugikan sektor kesehatan nasional. Ketentuan tersebut dapat membuka jalan bagi penerapan  eksklusivitas data dan eksklusivitas pasar terhadap produk farmasi, yang pada gilirannya dapat  menghambat implementasi lisensi wajib sebagai salah satu mekanisme penting untuk  menjamin akses masyarakat terhadap obat-obatan yang terjangkau. 

unduh file pdf
Previous Post

Organisasi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk tidak memasukkan hak investor mengajukan gugatan terhadap pemerintah (Investor State Dispute Settlement/ISDS) dalam perjanjian perdagangan RCEP

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655

  • Indonesia