Artikel
Diplomasi Dagang yang Mahal! Akses Obat Indonesia Terancam oleh Hasil Negosiasi Prabowo dan Trump
Oleh: Agung Prakoso,
Koordinator Program untuk Isu Kesehatan dan Pangan, Indonesia for Global Justice.
Hasil negosiasi antara Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dengan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto atas ancaman pemberlakuan tarif sepihak yang diberlakukan oleh Trump akan sangat merugikan bagi Indonesia, terutama karena banyaknya kewajiban yang justru harus diemban oleh Indonesia. Sektor kesehatan tidak luput dari yang terdampak, dalam rilis yang dikeluarkan oleh “Gedung Putih” berjudul “Joint Statement on Framework for United States–Indonesia Agreement on Recciprocal Trade,” terungkap salah satu poin bahwa Indonesia harus menerima Sertifikat FDA (Food and Drug Administration) dan otorisasi pemasaran sebelumnya untuk alat kesehatan dan produk farmasi. Ketentuan tersebut berbunyi
“The United States and Indonesia will work together to address Indonesia’s non-tariff barriers that affect bilateral trade and investment in priority areas, including… accepting FDA certificates and prior marketing authorizations for medical devices and pharmaceuticals; …”
Artinya ketentuan ini mengharuskan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia secara otomatis menerima sertifikat pemasaran produk kesehatan dari otoritas obat dan makanan AS atau FDA. Ketentuan ini secara khusus dapat berdampak terhadap akses obat di Indonesia karena banyak produk yang disertifikasi oleh FDA merupakan obat paten dengan harga yang sangat tinggi. Selain itu, AS melalui FDA juga menerapkan Data Exclusivity (Eksklusivitas Data) dan Market Exclusivity (Eksklusivitas Pasar/Pemasaran) terhadap produk obat-obatan. Ketentuan ini sangat melekat dengan FDA sehingga sangat besar potensinya untuk turut diterapkan di Indonesia sebagai akibat dari hasil negosiasi tarif antara Indonesia dan AS. Seperti halnya paten, Eksklusivitas Data dan Eksklusivitas Pasar merupakan hambatan bagi akses pada obat-obatan murah dan terjangkau.
Eksklusivitas Data dapat menghambat produksi obat generik karena adanya periode perlindungan yang melarang perusahaan generik menggunakan data uji klinis yang telah diserahkan kepada otoritas obat, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), oleh pemegang data asli. Sebagai ilustrasi, dalam konteks kebijakan penggunaan paten oleh
pemerintah atau lisensi wajib terhadap suatu produk obat yang telah teregistrasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), perusahaan generik lokal pada prinsipnya dapat memperoleh izin edar dengan membuktikan kesetaraan (bioekivalensi) produk bahwa produk tersebut sama dengan obat originator tanpa perlu melakukan uji klinis secara mandiri. Hal ini dimungkinkan karena data uji klinis yang telah diserahkan oleh pemegang paten (originator) kepada otoritas regulasi dapat dijadikan rujukan. Namun, keberlakuan ketentuan Eksklusivitas Data membatasi akses dan penggunaan data tersebut oleh pihak ketiga selama jangka waktu tertentu. Konsekuensinya, perusahaan generik tidak dapat menggunakan data yang ada dan diwajibkan untuk melakukan uji klinis tersendiri guna memperoleh izin edar, yang pada akhirnya menambah beban biaya dan waktu serta menghambat percepatan ketersediaan obat generik di pasar. Kondisi ini sekaligus dapat membatalkan efektivitas lisensi wajib atau penggunaan paten oleh pemerintah yang selama ini menjadi andalan bagi penyediaan akses pada obat-obatan.
Penerapan ketentuan Eksklusivitas Data telah terbukti berdampak negatif terhadap akses obat di berbagai negara. Di Yordania, misalnya, Eksklusivitas Data menyebabkan keterlambatan masuknya obat generik yang lebih terjangkau untuk sekitar 79% produk antara tahun 2002 hingga 2006, yang pada akhirnya membebani keberlanjutan sistem pembiayaan kesehatan publik di sana. Selain itu, harga obat-obatan di Yordania tercatat hingga delapan kali lebih mahal dibandingkan dengan di Mesir akibat pemberlakuan Eksklusivitas Data. Dampak serupa juga terjadi di Kolombia, penerapan Eksklusivitas Data menyebabkan peningkatan pengeluaran sistem kesehatan masyarakat sebesar 396 juta dolar AS selama periode 2003 hingga 2011. Sementara itu, di Guatemala, sebuah studi menunjukkan bahwa banyak obat yang tersedia secara luas dan terjangkau di negara lain tidak tersedia di pasar domestik, disebabkan oleh pembatasan akibat perlindungan Eksklusivitas Data. Indonesia memiliki populasi yang besar dengan beban penyakit menular dan tidak menular yang tinggi tentu akan mengalami persoalan yang sama. Terlebih saat ini Indonesia merupakan negara tertinggi kedua di dunia untuk Tuberculosis, penyakit menular yang sangat bergantung pada obat-obatan yang efisien dalam terapi pengobatannya.
Di Amerika Serikat, Eksklusivitas Data diberlakukan secara ketat melalui kerangka hukum seperti Hatch-Waxman Act, yang memberikan periode eksklusivitas selama lima tahun untuk entitas kimia baru (New Chemical Entities/NCEs). Selama periode ini, FDA dilarang menggunakan data uji klinis yang diajukan oleh perusahaan inovator untuk menyetujui versi
generik dari obat yang sama, bahkan ketika paten atas obat tersebut telah berakhir atau dibatalkan. Hal ini secara efektif menciptakan monopoli pasar tidak langsung, karena perusahaan generik harus melakukan uji klinis ulang yang memakan biaya besar dan waktu panjang. Sebuah beban yang tidak realistis dan memperlambat ketersediaan obat murah di pasar.
Selain Eksklusivitas Data, kondisi tersebut juga menciptakan market exclusivity atau Eksklusivitas Pasar atau Pemasaran. Obat yang mengandung zat aktif baru atau senyawa kimia yang belum pernah disetujui sebelumnya oleh FDA berhak memperoleh market exclusivity atau eksklusivitas pemasaran selama lima tahun tanpa persaingan. Eksklusivitas ini juga diberikan selama tiga tahun untuk obat yang sudah ada namun dimodifikasi dengan bentuk sediaan baru, rute pemberian baru, dan juga indikasi pengobatan penyakit baru. Selain itu terdapat tambahan eksklusivitas bagi obat pediatrik dan antibiotik.
Kedua ketentuan ini bukan merupakan ketentuan wajib yang ada di dalam Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) WTO. Sehingga sebetulnya ketentuan ini tidak perlu diterapkan negara anggota termasuk Indonesia. Namun AS telah berulang kali memaksakan aturan ini agar diterapkan di negara-negara berkembang melalui perjanjian perdagangan bebas seperti Trans-Pasific Partnership (TPP). Negara lain seperti Uni Eropa juga memaksakan hal yang sama melalui Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (I-EU CEPA). Padahal dengan tidak adanya kewajiban dalam TRIPS untuk menerapkan Eksklusivitas Data seperti di AS, negara berkembang memiliki ruang kebijakan untuk menolak model AS tersebut dan mengatur pendekatan mereka yang dapat diutamakan untuk penyediaan kebutuhan publik akan akses obat.
Namun, hasil negosiasi antara Indonesia dan Amerika Serikat yang mengharuskan BPOM secara otomatis menerima sertifikasi FDA tidak hanya mengancam kedaulatan negara dalam hal kewenangan BPOM untuk mengevaluasi keamanan dan efektivitas produk sesuai dengan konteks populasi dan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia, tetapi juga berpotensi merugikan sektor kesehatan nasional. Ketentuan tersebut dapat membuka jalan bagi penerapan eksklusivitas data dan eksklusivitas pasar terhadap produk farmasi, yang pada gilirannya dapat menghambat implementasi lisensi wajib sebagai salah satu mekanisme penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat-obatan yang terjangkau.