artikel
Oleh: M. Aryanang Isal,
Koordinator Program untuk isu Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) Email: anangisal@igj.or.id
Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap perdagangan global mengalami perubahan signifikan akibat kebijakan tarif unilateral yang diadopsi oleh Amerika Serikat (AS) di bawah kekuasaan Presiden Donald Trump. Kebijakan tersebut, yang ditandai dengan semangat proteksionisme dan prinsip “American First”, memunculkan ketimpangan dalam hubungan dagang antara negara maju dan berkembang, khususnya bagi Indonesia. Salah satu dampak paling nyata dari kebijakan ini adalah perbedaan perlakuan tarif antara produk-produk asal Amerika Serikat dan produk ekspor Indonesia.
Indonesia telah menyepakati perjanjian perdagangan bilateral dengan AS terkait pengenaan tarif sebesar 19% untuk produk asal Indonesia yang masuk melalui pasar AS. Kebijakan ini merupakan hasil kesepakatan langsung antara Presiden Donald Trump dengan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto. Kebijakan tarif tersebut merupakan penurunan angka awal sebesar 32% yang sebelumnya diumumkan pada april 2025. Setelah digelarnya pertemuan antara presiden Indonesia dan AS pada juli 2025, melalui sambungan telepon Presiden Prabowo Subianto dengan Donald Trump telah menyepakati pengenaan tarif sebesar 19%.
Hasil negoisasi Donald Trump dengan Prabowo Subianto mengenai pemberlakuan tarif sepihak yang disepakati Trump dapat merugikan Indonesia, khususnya kewajiban yang harus diemban oleh Indonesia akibat diberlakukannya tarif Trump. Pada sektor perdagangan digital juga berdampak pada pemerintah Indonesia, dimana dalam rilis dari gedung putih yang berjudul “Joint Statement on Framework for United States–Indonesia Agreement on Recciprocal Trade”, menunjukan salah satu point dimana Indonesia dipaksa untuk berkomitmen menghapus hambatan perdagangan digital dan mendukung moratorium permanen bea masuk atas produk transmisi elektronik di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan segera dan tanpa syarat atau yang dikenal dengan istilah ”moratorium e-commerce” dan berkomitmen untuk memberikan akses data pribadi kepada AS dengan ketentuan yang berbunyi:
“The United States and Indonesia will finalize commitments on digital trade, services, and investment. Indonesia has committed to eliminate existing HTS tariff lines on “intangible products” and suspend related requirements on import declarations; support a permanent moratorium on customs duties on electronic transmissions at the World Trade Organization (WTO)…
Indonesia will provide certainty regarding the ability to move personal data out of its territory to the United States through recognition of the United States as a country or jurisdiction…”
Kebijakan tarif yang diterapkan AS di bawah kepemimpinan Donald Trump tidak hanya memberikan tekanan terhadap sektor manufaktur dan ekspor produk fisik Indonesia saja, melainkan membawa konsekuensi serius bagi masa depan kedaulatan digital Indonesia. Dalam lanskap global yang semakin terhubung melalui perdagangan digital dan arus data lintas batas, kebijakan tarif dan komitmen moratorium e-commerce permanen menjadi alat hegemoni baru yang dapat membatasi ruang kebijakan Indonesia.
Salah satu konsekuensi paling mengkhawatirkan dari dinamika perdagangan digital Indonesia–AS adalah risiko transfer data pribadi warga Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat. Dalam kerangka perjanjian perdagangan digital, terdapat tekanan agar Indonesia menyetujui klausul yang membebaskan perusahaan teknologi besar
(big tech) di AS dari kewajiban menyimpan dan memproses data di dalam negeri. Praktik ini bukan hanya sekedar melemahkan posisi kedaulatan nasional atas data saja, melainkan membuka celah bagi eksploitasi data warga oleh korporasi asing tanpa kontrol memadai dari regulator Indonesia.
Selain ancaman privasi, ketergantungan pada infrastruktur data asing juga dapat mengikis kemampuan Indonesia untuk membangun ekosistem data nasional yang kuat dan berdaulat. Data berfungsi sebagai “komoditas baru” yang menjadi aset strategis dikuasai oleh segelintir perusahaan global, padahal seharusnya data dapat dikelola dan dilindungi oleh negara untuk kepentingan publik.
Kebijakan perdagangan digital yang didorong oleh negara maju di WTO, umumnya memuat larangan-larangan terhadap negara mitra untuk menerapkan lokalisasi data (data localization), keharusan pembukaan kode sumber (source code), atau pemeriksaan algoritma platform asing. Jika Indonesia dipaksa tunduk pada klausul ini, maka hak negara untuk mengatur ruang digital domestik akan tereduksi secara permanen. Indonesia akan kesulitan menerapkan kebijakan perlindungan data strategis, penguatan industri teknologi lokal, dan mekanisme pengawasan terhadap perusahaan digital asing untuk melindungi data pribadi warga negara. Maka dari itu kedaulatan digital bukanlah sekadar isu teknis, akan tetapi merupakan bagian dari kedaulatan negara untuk memastikan kemandirian dan keamanan nasional di era ekonomi berbasis data.
Indonesia hingga kini masih terjebak dalam perundingan moratorium e-commerce di WTO, sebuah komitmen yang melarang negara anggota memungut bea masuk terhadap produk digital yang dikirim lintas batas. AS, sebagai promotor utama moratorium permanen, mendorong agar ketentuan ini bersifat abadi, yang artinya Indonesia tidak bisa mengenakan pajak terhadap produk digital seperti software, musik, film, atau layanan streaming yang diimpor secara digital.
Kebijakan moratorium terhadap transmisi elektronik ini sudah diupayakan akan diakhiri pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-12 hingga 13 di Jenewa, namun karena adanya perbedaan pendapat dan dinamika yang cukup tinggi para negara anggota WTO bersepakat untuk mengakhiri moratorium pada pertemuan KTM ke-14.
Padahal, di tengah gencarnya digitalisasi, Indonesia telah kehilangan potensi pendapatan pajak hingga miliaran dolar setiap tahunnya, karena produk digital asing yang masuk tanpa adanya pengenaan bea masuk, sementara pelaku usaha lokal tetap
dikenai pajak dalam operasionalnya di dalam negeri. Hal ini menciptakan lapangan persaingan yang tidak adil dan semakin memperlebar defisit neraca perdagangan digital di Indonesia.
Pemerintahan Trump nampaknya memiliki ambisi untuk mendorong komitmen moratorium e-commerce permanen dan membuat banyak negara berkembang kehilangan ruang kebijakan untuk mengatur penyediaan layanan digital. Pencabutan moratorium e-commerce menjadi sangat penting bagi negara berkembang untuk meningkatkan daya saing pada sektor layanan digital, dimana penerapan bea masuk atas impor digital dapat menjadi sarana yang paling sederhana dan efektif untuk mengatur barang digital apapun yang memasuki lintas batas negara. Selain itu kemajuan kecerdasan buatan (AI) semakin mempersulit penghentian moratorium yang dapat berdampak dan menimbulkan resiko pada keamanan nasional yang signifikan.
Kebijakan penghapusan bea masuk terhadap produk manufaktur digital Indonesia dan kebebasan arus masuk produk digital asing tanpa kendali yang proporsional dapat memperbesar ketergantungan Indonesia terhadap teknologi impor perusahaan big tech. Industri digital lokal, termasuk startup, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) digital, dan pengembang aplikasi akan semakin sulit untuk bersaing karena dominasi platform dan produk global yang masuk ke akses pasar Indonesia dengan regulasi yang longgar. Dampaknya, bukan hanya ekonomi digital Indonesia yang tidak tumbuh secara inklusif, tetapi juga terjadi pengerdilan terhadap potensi inovasi dan kemandirian teknologi dalam negeri.
Pemerintah Indonesia tidak boleh meremehkan konsekuensi dari kebijakan negosiasi tarif Trump dan tekanan pada perundingan di sektor perdagangan digital. Penting kiranya bagi Indonesia untuk memperhatikan Kedaulatan digital, perlindungan data pribadi, dan hak untuk memungut pajak digital sebagai isu strategis yang berkaitan langsung dengan kedaulatan negara dan kesejahteraan masyarakat di era ekonomi digital. Maka dari itu, penting kiranya bagi pemerintah Indonesia untuk memperkuat posisi tawar dalam negosiasi tarif dengan AS dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil berpihak pada kepentingan nasional serta tidak mengorbankan ruang kebijakan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
Informasi lebih lanjut:
Alamat:
Sekretariat Indonesia for Global Justice: Rengas Besar No. 35C, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Website: www.igj.or.id
Email: igj@igj.or.id