• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Dampak Buruk Kebijakan Tarif Trump terhadap Kedaulatan Digital dan  Masa Depan Ekonomi Digital Indonesia 

Agustus 5, 2025
in Uncategorized @id
Home Uncategorized @id
1.2k
SHARES
3k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

artikel 

Oleh: M. Aryanang Isal, 

Koordinator Program untuk isu Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) Email: anangisal@igj.or.id 

Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap perdagangan global mengalami perubahan  signifikan akibat kebijakan tarif unilateral yang diadopsi oleh Amerika Serikat (AS) di bawah kekuasaan Presiden Donald Trump. Kebijakan tersebut, yang ditandai dengan  semangat proteksionisme dan prinsip “American First”, memunculkan ketimpangan  dalam hubungan dagang antara negara maju dan berkembang, khususnya bagi  Indonesia. Salah satu dampak paling nyata dari kebijakan ini adalah perbedaan  perlakuan tarif antara produk-produk asal Amerika Serikat dan produk ekspor  Indonesia. 

Indonesia telah menyepakati perjanjian perdagangan bilateral dengan AS terkait  pengenaan tarif sebesar 19% untuk produk asal Indonesia yang masuk melalui pasar AS. Kebijakan ini merupakan hasil kesepakatan langsung antara Presiden Donald  Trump dengan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto. Kebijakan tarif tersebut  merupakan penurunan angka awal sebesar 32% yang sebelumnya diumumkan pada  april 2025. Setelah digelarnya pertemuan antara presiden Indonesia dan AS pada juli  2025, melalui sambungan telepon Presiden Prabowo Subianto dengan Donald Trump  telah menyepakati pengenaan tarif sebesar 19%. 

Hasil negoisasi Donald Trump dengan Prabowo Subianto mengenai pemberlakuan  tarif sepihak yang disepakati Trump dapat merugikan Indonesia, khususnya  kewajiban yang harus diemban oleh Indonesia akibat diberlakukannya tarif Trump.  Pada sektor perdagangan digital juga berdampak pada pemerintah Indonesia, dimana  dalam rilis dari gedung putih yang berjudul “Joint Statement on Framework for  United States–Indonesia Agreement on Recciprocal Trade”, menunjukan salah satu  point dimana Indonesia dipaksa untuk berkomitmen menghapus hambatan  perdagangan digital dan mendukung moratorium permanen bea masuk atas produk  transmisi elektronik di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan segera dan  tanpa syarat atau yang dikenal dengan istilah ”moratorium e-commerce” dan  berkomitmen untuk memberikan akses data pribadi kepada AS dengan ketentuan  yang berbunyi: 

“The United States and Indonesia will finalize commitments on digital trade,  services, and investment. Indonesia has committed to eliminate existing HTS  tariff lines on “intangible products” and suspend related requirements on  import declarations; support a permanent moratorium on customs duties on  electronic transmissions at the World Trade Organization (WTO)… 

Indonesia will provide certainty regarding the ability to move personal data  out of its territory to the United States through recognition of the United  States as a country or jurisdiction…”

Kebijakan tarif yang diterapkan AS di bawah kepemimpinan Donald Trump tidak  hanya memberikan tekanan terhadap sektor manufaktur dan ekspor produk fisik  Indonesia saja, melainkan membawa konsekuensi serius bagi masa depan kedaulatan  digital Indonesia. Dalam lanskap global yang semakin terhubung melalui  perdagangan digital dan arus data lintas batas, kebijakan tarif dan komitmen  moratorium e-commerce permanen menjadi alat hegemoni baru yang dapat  membatasi ruang kebijakan Indonesia. 

Salah satu konsekuensi paling mengkhawatirkan dari dinamika perdagangan digital  Indonesia–AS adalah risiko transfer data pribadi warga Indonesia yang masuk ke  Amerika Serikat. Dalam kerangka perjanjian perdagangan digital, terdapat tekanan  agar Indonesia menyetujui klausul yang membebaskan perusahaan teknologi besar 

(big tech) di AS dari kewajiban menyimpan dan memproses data di dalam negeri.  Praktik ini bukan hanya sekedar melemahkan posisi kedaulatan nasional atas data saja, melainkan membuka celah bagi eksploitasi data warga oleh korporasi asing tanpa  kontrol memadai dari regulator Indonesia. 

Selain ancaman privasi, ketergantungan pada infrastruktur data asing juga dapat mengikis kemampuan Indonesia untuk membangun ekosistem data nasional yang  kuat dan berdaulat. Data berfungsi sebagai “komoditas baru” yang menjadi aset  strategis dikuasai oleh segelintir perusahaan global, padahal seharusnya data dapat  dikelola dan dilindungi oleh negara untuk kepentingan publik. 

Kebijakan perdagangan digital yang didorong oleh negara maju di WTO, umumnya  memuat larangan-larangan terhadap negara mitra untuk menerapkan lokalisasi data  (data localization), keharusan pembukaan kode sumber (source code), atau  pemeriksaan algoritma platform asing. Jika Indonesia dipaksa tunduk pada klausul  ini, maka hak negara untuk mengatur ruang digital domestik akan tereduksi secara  permanen. Indonesia akan kesulitan menerapkan kebijakan perlindungan data  strategis, penguatan industri teknologi lokal, dan mekanisme pengawasan terhadap  perusahaan digital asing untuk melindungi data pribadi warga negara. Maka dari itu  kedaulatan digital bukanlah sekadar isu teknis, akan tetapi merupakan bagian dari  kedaulatan negara untuk memastikan kemandirian dan keamanan nasional di era  ekonomi berbasis data. 

Indonesia hingga kini masih terjebak dalam perundingan moratorium e-commerce di WTO, sebuah komitmen yang melarang negara anggota memungut bea masuk  terhadap produk digital yang dikirim lintas batas. AS, sebagai promotor utama  moratorium permanen, mendorong agar ketentuan ini bersifat abadi, yang artinya  Indonesia tidak bisa mengenakan pajak terhadap produk digital seperti software,  musik, film, atau layanan streaming yang diimpor secara digital. 

Kebijakan moratorium terhadap transmisi elektronik ini sudah diupayakan akan  diakhiri pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-12 hingga 13 di Jenewa, namun  karena adanya perbedaan pendapat dan dinamika yang cukup tinggi para negara  anggota WTO bersepakat untuk mengakhiri moratorium pada pertemuan KTM ke-14. 

Padahal, di tengah gencarnya digitalisasi, Indonesia telah kehilangan potensi  pendapatan pajak hingga miliaran dolar setiap tahunnya, karena produk digital asing yang masuk tanpa adanya pengenaan bea masuk, sementara pelaku usaha lokal tetap 

dikenai pajak dalam operasionalnya di dalam negeri. Hal ini menciptakan lapangan  persaingan yang tidak adil dan semakin memperlebar defisit neraca perdagangan  digital di Indonesia. 

Pemerintahan Trump nampaknya memiliki ambisi untuk mendorong komitmen  moratorium e-commerce permanen dan membuat banyak negara berkembang  kehilangan ruang kebijakan untuk mengatur penyediaan layanan digital. Pencabutan  moratorium e-commerce menjadi sangat penting bagi negara berkembang untuk  meningkatkan daya saing pada sektor layanan digital, dimana penerapan bea masuk  atas impor digital dapat menjadi sarana yang paling sederhana dan efektif untuk  mengatur barang digital apapun yang memasuki lintas batas negara. Selain itu  kemajuan kecerdasan buatan (AI) semakin mempersulit penghentian moratorium  yang dapat berdampak dan menimbulkan resiko pada keamanan nasional yang  signifikan. 

Kebijakan penghapusan bea masuk terhadap produk manufaktur digital Indonesia  dan kebebasan arus masuk produk digital asing tanpa kendali yang proporsional dapat memperbesar ketergantungan Indonesia terhadap teknologi impor perusahaan big  tech. Industri digital lokal, termasuk startup, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) digital, dan pengembang aplikasi akan semakin sulit untuk bersaing karena  dominasi platform dan produk global yang masuk ke akses pasar Indonesia dengan  regulasi yang longgar. Dampaknya, bukan hanya ekonomi digital Indonesia yang tidak  tumbuh secara inklusif, tetapi juga terjadi pengerdilan terhadap potensi inovasi dan  kemandirian teknologi dalam negeri. 

Pemerintah Indonesia tidak boleh meremehkan konsekuensi dari kebijakan negosiasi  tarif Trump dan tekanan pada perundingan di sektor perdagangan digital. Penting  kiranya bagi Indonesia untuk memperhatikan Kedaulatan digital, perlindungan data  pribadi, dan hak untuk memungut pajak digital sebagai isu strategis yang berkaitan  langsung dengan kedaulatan negara dan kesejahteraan masyarakat di era ekonomi  digital. Maka dari itu, penting kiranya bagi pemerintah Indonesia untuk memperkuat  posisi tawar dalam negosiasi tarif dengan AS dan memastikan bahwa kebijakan yang  diambil berpihak pada kepentingan nasional serta tidak mengorbankan ruang  kebijakan demi kepentingan ekonomi jangka pendek. 

Informasi lebih lanjut: 

Alamat: 

Sekretariat Indonesia for Global Justice: Rengas Besar No. 35C, Jatipadang, Pasar  Minggu, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 

Website: www.igj.or.id 

Email: igj@igj.or.id

Unduh File PDF
Previous Post

Diplomasi Dagang yang Mahal! Akses Obat Indonesia Terancam oleh Hasil Negosiasi  Prabowo dan Trump 

Next Post

Kritik terhadap Kesepakatan Dagang RI–AS dan Tantangan Tata Kelola Mineral Kritis

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655

  • Indonesia