Komitmen Lepas Ekspor, Arah Kebijakan Terganggu
Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat mencakup salah satu isu penting dalam kedaulatan Indonesia terkait ekspor mineral kritis. Mengutip briefing dan statement Gedung Putih yang dirilis pada 22 Juli lalu, “Indonesia will remove restrictions on exports to the United States of industrial commodities, including critical minerals” , masih menjadi keterangan yang perlu perhatian khusus.
Pasalnya detail mengenai kesepakatan ini masih belum jelas apakah komitmen Indonesia terhadap penghapusan larangan ekspor mineral kritis ke AS akan berbentuk bahan mentah atau tidak. Kondisi ini menjadi pertaruhan serius terhadap kebijakan hilirisasi Indonesia yang telah membatasi ekspor bahan mentah mentah guna membangun industri pengolahan dalam negeri.
Komitmen Indonesia untuk mencabut penghentian ekspor mineral juga terjadi di tengah negosiasi IEU-CEPA, di mana Uni Eropa mendesak liberalisasi pasar bahan mentah melalui Raw Materials and Energy Chapter. Jika Indonesia terus membuka diri tanpa strategi jangka panjang yang berpihak pada rakyat dan lingkungan, maka hilirisasi hanya menjadi jargon tanpa keberpihakan substantif.
Selain ancaman terhadap kedaulatan Ekonomi Indonesia, Indonesia juga harus menghadapi tantangan geopolitik dimana posisi Tiongkok sebagai mayoritas investor sektor mineral kritis. Menyoroti fakta bahwa dominasi investor Tiongkok di sektor pengolahan mineral, ruang negosiasi kebijakan mineral kritis semakin menyempit terutama tanpa peran strategis BUMN dan regulasi yang kuat. Sehingga, perjanjian ini menegaskan bahwa strategi komersial di bawah tekanan akses pasar membantu AS memperoleh bahan baku dengan harga murah, dapat merugikan upaya Indonesia memperkuat kebijakan hilirisasi nasional.
Tata Kelola yang Belum Matang: Persoalan Sosial dan Lingkungan yang Terabaikan
Lebih dari sekadar persoalan kebijakan industri, tata kelola mineral kritis di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan mendasar, khususnya dalam hal keadilan sosial dan perlindungan lingkungan hidup:
- Konflik sosial dan ketimpangan tenaga kerja di kawasan pertambangan dan kawasan industri berbasis mineral (seperti Morowali dan Weda Bay) menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap hak-hak pekerja, masyarakat adat, dan petani lokal.
- Kerusakan lingkungan akibat ekspansi tambang dan fasilitas smelter sering kali diabaikan dalam penilaian kebijakan, mulai dari deforestasi, pencemaran air, hingga bergantungnya energi smelter pada PLTU batu bara.
- Minimnya peran publik dan dominasi Penanaman Modal Asing (PMA) memperparah keadaan: perusahaan milik negara seperti Antam atau Inalum sebagian besar hanya menjadi pemegang saham minoritas dalam proyek besar, tanpa kontrol penuh terhadap operasional dan arah industri.
- Pengawasan lemah dan tumpang tindih regulasi juga membuat jalur transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik masih jauh dari harapan.
Oleh karena itu, penting untuk meninjau ulang kesepakatan tersebut agar penghapusan larangan ekspor dapat diatur secara lebih terperinci dan tidak mengganggu kebijakan hilirisasi nasional. Pemerintah perlu menetapkan batasan yang jelas agar kesepakatan dagang tidak melemahkan strategi penciptaan nilai tambah dalam negeri. Selain itu, perlu diwujudkan mekanisme pengawasan dan tata kelola sosial-lingkungan yang partisipatif, khususnya di sektor industri ekstraktif.
Narahubung :
Komang Audina Permana Putri
Koordinator Isu Utang dan Keuangan Berkelanjutan
Indonesia for Global Justice (IGJ)