Jakarta, 17 Desember 2025 — Indonesia for Global Justice (IGJ) menyampaikan keprihatinan mendalam atas implikasi jangka panjang perjanjian Indonesia-European Union maupun Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU dan ICa CEPA) terhadap kedaulatan Indonesia atas sektor mineral kritis. Terkait hal tersebut, IGJ meluncurkan dua kertas analisis berjudul “IEU CEPA: Kendali Mineral Kritis Indonesia di Tangan Siapa? dan Problematika dalam Klausul Investasi Perjanjian I-Ca CEPA” yang membedah ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut dan dampaknya terhadap tata kelola mineral kritis dan kebijakan industri hijau nasional.
Dalam kertas analisis IGJ disebutkan bahwa sektor mineral kritis kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, Indonesia ingin memperkuat hilirisasi untuk menambah nilai ekonomi, namun di sisi lain dibatasi ruang geraknya pada prinsip liberalisasi yang diatur secara ketat dalam IEU CEPA maupun I-Ca CEPA.
“Ketentuan dalam IEU CEPA, terutama dalam Bab Investasi dan Energi-Bahan Baku, sangat membatasi ruang kebijakan nasional. Indonesia tak lagi bisa mewajibkan investor asing untuk transfer teknologi, menggunakan kandungan lokal, atau bermitra dengan pelaku domestik. Bahkan relaksasi izin Tenaga Kerja Asing juga disepakati secara mengikat,” jelas K. Audina Permana Putri, Koordinator Program IGJ.
“Seharusnya ada kewajiban bagi transfer teknologi dan investor Uni Eropa membangun industri/pabrik disini, yang diharapkan bisa meningkatkan dan memperkuat industri dalam negeri. Tetapi kewajiban transfer teknologi dan R&D itu sirna dalam IEU CEPA. Ini menjadi kekhawatiran bahwa IEU CEPA akan menciptakan ruang eksploitasi baru dan bukan meningkatkan industri dalam negeri menjadi naik kelas.” Tegas Audina.
Di sisi lain , ketentuan investasi dalam I-Ca CEPA juga tidak jauh berbeda. “Bab tersebut cenderung mengatur hak-hak investor termasuk perlindungan investor jika dibandingkan dengan hak negara untuk mengatur kebijakan yang sifatnya melindungi kepentingan nasional dan masyarakat lokal. Bahkan tidak ada kewajiban terkait transfer teknologi pada sektor-sektor industri penting diantaranya mineral kritis” tegas Muhamad Aryanang Isal, Koordinator Program isu Bisnis dan HAM.
Baca Juga : IEU CEPA: Kendali Mineral Kritis Indonesia di Tangan Siapa?
Menurut Anang Isal, “proses perundingan I-Ca CEPA yang berjalan secara tidak transparan menunjukan indikasi kepentingan ekonomi dan dagang bagi investor maupun perusahaan, sebagai fakta menarik bahwa asosiasi industri pertambangan Kanada rutin untuk melakukan konsultasi dengan Pemerintah Kanada untuk memastikan klausul Investor-State Dispute Settlement (ISDS) agar dimasukkan kedalam I-Ca CEPA. Mekanisme ISDS tersebut akan memberikan efek “regulatory chill” terhadap pemerintah, apalagi jika Pemerintah Indonesia ingin berupaya memperbaiki tata kelola pertambangan dengan kebijakan-kebijakan yang berpotensi merugikan investor. Investor Kanada misalnya dapat sangat mudah menggugat Indonesia karena dianggap merugikan investasi” Tambah Anang Isal.
Walaupun IEU CEPA maupun I-Ca CEPA telah ditandatangani, kedepannya Pemerintah Indonesia perlu memadukan strategi hilirisasi yang lebih luas yang sejalan dengan diplomasi ekonomi luar negeri secara cermat agar kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak bertentangan dengan kepentingan nasional jangka panjang. Namun nyatanya dalam teks perjanjian yang ada sekarang, justru kontradiktif dengan kepentingan nasional untuk berdaulat atas energi dan sumber daya alamnya.
Seharusnya memperbaiki tata kelola dan kebijakan internal yang koheren terkait mineral kritis terlebih dahulu, termasuk membenahi iklim investasi yang berkeadilan. Di samping itu Indonesia perlu memiliki perencanaan dan kebijakan industrialisasi hulu ke hilir mineral kritis yang jelas untuk menjamin keberlanjutan dan kedaulatan sumber daya nasional, sebelum diikat geraknya pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perdagangan dan investasi seperti IEU CEPA maupun I-Ca CEPA.
Baca Juga : INDONESIA – KANADA CEPA: PROBLEMATIKA DALAM KLAUSUL INVESTASI PADA PERJANJIAN I-CA CEPA
“Padahal, beberapa studi telah menganalisis tata kelola sektor mineral kritis yang masih lemah. Banyak studi menunjukkan bahwa keuntungan justru banyak dinikmati oleh investor asing maupun korporasi transnasional, sementara masyarakat lokal, masih menghadapi konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan minimnya manfaat ekonomi jangka panjang bagi industri nasional. Ini benar-benar menjadi “Pekerjaan Rumah” yang tidak mudah bagi Indonesia untuk rethinking strategi diplomasi luar negeri baik itu pada aspek perjanjian dagang maupun investasi” tambah Audina.
Melalui kertas analisis tersebut , IGJ mendapat temuan sebagai berikut:
- Indonesia saat ini masih berada pada nilai tawar rendah dalam perjanjian perdagangan dan investasi, khususnya pada sektor mineral kritis. Indonesia masih tidak mendapatkan manfaat yang bermakna dari perjanjian ini, baik dari sisi ekonomi maupun sosial dan lingkungan.
- Perjanjian perdagangan IEU CEPA maupun ICa CEPA belum dapat dijadikan sebagai strategi pendorong perbaikan tata kelola mineral kritis Indonesia bahkan menghambat pemerintah Indonesia dalam memperbaiki tata kelola mineral kritis.
- Ketentuan-ketentuan dalam Bab IEU CEPA maupun ICa CEPA cenderung melemahkan ruang kebijakan Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlakuan khusus industri sektor strategis; dan tidak adanya kewajiban transfer teknologi bagi investor/perusahaan untuk meningkatkan industri nasional, serta tidak adanya kewajiban mengakomodir tingkat kandungan lokal yang mengikat bagi investor; justru memberikan karpet hijau tanpa batas atas tenaga kerja asing; dan memberikan celah hukum untuk kembali digugat; dan prinsip-prinsip keberlanjutan yang masih lemah pada praktek hukum dalam negeri Indonesia sendiri seperti omnibus law Cipta Kerja.
- Penting bagi pemerintah untuk melihat dampak dari suatu perjanjian dagang atau investasi yang lebih menyeluruh khususnya pada sektor mineral kritis di Indonesia dan tidak memandang perjanjian perdagangan dan investasi semata-mata dapat memberikan peluang investasi dan pertumbuhan ekonomi semata melainkan Indonesia harus lebih selektif dalam mendorong iklim investasi berkeadilan dengan memberikan prasyarat investasi luar negeri.
- Pemerintah Indonesia perlu kehati-hatian dalam melakukan diplomasi ekonomi dan perdagangan atau investasi karena bisa menjadi penghambat bagi kepentingan nasional jangka panjang.
Dari temuan tersebut diatas, Pemerintah Indonesia seharusnya dapat berbenah dan berhati-hati dalam meratifikasi setiap perjanjian perdagangan maupun investasi. Karena implementasi dari perjanjian ini akan berimplikasi jangka panjang bagi kepentingan nasional kita.
Narahubung:
K. Audina Permana Putri, Koordinator Program Isu Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan pada Tata Kelola Mineral Kritis, Indonesia for Global Justice (IGJ) – audina@igj.or.id
Muhamad Aryanang Isal, Koordinator Program Bisnis dan HAM IGJ – anangisal@igj.or.id.
Alamat Kantor Indonesia for Global Justice (IGJ):
Jl. Rengas Besar No.35C, RW.7, Jati Padang, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540.
Email: [igj@igj.or.id] | Website: www.igj.or.id