Jakarta, 24 Desember 2025 – Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai kesepakatan substansi Agreements on Reciprocal Trade (ART) antara Indonesia dan Amerika Serikat sebagai langkah yang berisiko tinggi terhadap kedaulatan ekonomi, lingkungan, dan masa depan pembangunan Indonesia. Di balik narasi “keseimbangan” dan “akses pasar”,[1] perjanjian ini justru melanggengkan pola lama ketergantungan Indonesia sebagai pemasok bahan mentah dan mineral strategis bagi kepentingan industri negara maju, khususnya Amerika Serikat.
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) menegaskan bahwa ”perjanjian dagang resiprokal ini berpotensi menjadi pintu masuk baru bagi eksploitasi tanpa batas sumber daya alam Indonesia oleh Amerika Serikat terutama mineral kritis pada komoditas nikel, tembaga, timah, kobalt dengan dalih kerja sama perdagangan, keamanan nasional, dan teknologi”, tegas Maulana.
Dalam konteks geopolitik global saat ini, mineral Indonesia semakin diperlakukan sebagai komoditas strategis untuk menopang industri, transisi energi, dan kepentingan militer negara maju, tanpa jaminan manfaat yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perjanjian Dagang atau Penggadaian Kedaulatan?
Komitmen Indonesia untuk membuka akses pasar bagi produk AS, mengatasi hambatan non-tarif, serta memperluas kerja sama perdagangan digital dan teknologi harus dibaca secara kritis. Tanpa transparansi dan perlindungan kebijakan domestik, ketentuan tersebut berisiko membatasi ruang kebijakan industri nasional dan memaksa Indonesia tunduk pada standar dan kepentingan korporasi besar AS.
Sementara itu, janji pengecualian tarif AS bagi produk ekspor seperti sawit, kopi, kakao, dan teh tidak dapat dianggap sebagai konsesi yang sepadan. Produk-produk tersebut tetap berada dalam struktur perdagangan berbasis komoditas mentah dengan nilai tambah yang sangat rendah rendah. Sementara itu tekanan eksploitasi lahan, hutan, dan sumber daya alam justru semakin meningkat dan memperbesar kerentanan dan ancaman bencana ekologis.
Mineral Kritis dan Ekstraktivisme Berkedok Kerja Sama
IGJ mengingatkan bahwa perjanjian ini berpotensi mempercepat sekaligus melanggengkan penggadaian mineral strategis Indonesia seperti nikel, tembaga, kobalt, dan mineral kritis lainnya— kepada kepentingan industri dan rantai pasok global yang dikendalikan oleh AS. Pola ini hanya memperdalam ekstraktivisme, memperparah kehancuran lingkungan, memperluas konflik agraria, serta mengorbankan masyarakat adat dan atau masyarakat lokal serta pekerja.
Alih-alih mendorong industrialisasi nasional yang berkeadilan dan berkelanjutan, Agreement on Reciprocal Trade justru berisiko mengunci Indonesia dalam peran subordinat sebagai pemasok bahan baku mentah sekaligus sangat murah, sekaligus menjadi tetap pasar bagi produk dan teknologi asing.
Saatnya Mengubah Arah Kebijakan Perdagangan Indonesia
IGJ menegaskan bahwa Indonesia harus segera keluar dari paradigma pembangunan yang terus-menerus menggadaikan mineral dan komoditas mentah demi janji investasi dan akses pasar jangka pendek. Perjanjian dagang seharusnya memperkuat kedaulatan ekonomi sekaligus politik, mendorong industrialisasi yang adil dan berbasis rakyat, melindungi lingkungan hidup, serta memastikan distribusi manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat—bukan sekadar melayani kepentingan geopolitik dan korporasi global.
”Tanpa koreksi mendasar, kesepakatan Indonesia–AS ini bukanlah kemenangan diplomasi, melainkan kekalahan dan langkah mundur yang mengorbankan masa depan ekonomi, ekologi, dan masyarakat Indonesia”, ungkap Maulana.
Maulana juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk memedomani prinsip penting dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang menyebut bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lalu ayat 4 menyebut bahwa ekonomi Indonesia itu berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi yang berbasis pada prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
”Prinsip-prinsip penting dalam Konstitusi kita sangat jelas dan harus dijadikan pedoman oleh Pemerintah untuk mengubah arah kebijakan perdagangan Indonesia. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi negara yang selalu dikalahkan oleh bangsa lain: mineral kritisnya habis dikeruk, tetapi tetap tidak punya teknologi masa depan, masyarakatnya miskin, dan lingkungannya hancur.” pungkas Maulana.
Informasi lebih lanjut, hubungi:
Kantor Indonesia for Global Justice (IGJ)
Jalan Rengas Besar No. 35C, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. DKI Jakarta. 12540.
Website. www.igj.or.id | Email. igj@igj.or.id or keadilan.global@gmail.com
Kontak:
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) – Rahmat.maulana@igj.or.id.
Publikasi IGJ terkait:
- Indonesia – Kanada CEPA: Problematika Dalam Klausul Investasi Pada Perjanjian I-Ca CEPA: https://igj.or.id/2025/12/17/indonesia-kanada-cepa-problematika-dalamklausul-investasi-padaperjanjian-i-ca-cepa/
- I-EU CEPA: Kendali Mineral Kritis di Tangan Siapa?: https://igj.or.id/2025/12/17/ieu-cepa-kendali-mineral-kritis-indonesia-di-tangan-siapa/
- Mineral Kritis Dalam Cengkeraman Perjanjian Dagang: Tantangan Kebijakan dan Kedaulatan Ekonomi Indonesia: https://igj.or.id/2025/11/28/mineral-kritis-dalam-cengkeraman-perjanjian-dagang-tantangan-kebijakan-dan-kedaulatan-ekonomi-indonesia/
- RILIS: Tata Kelola Mineral Kritis di Indonesia Di Bawah Bayang-Bayang Perjanjian Perdagangan Bebas – Indonesia for Global Justice
***
[1] Sumber berita kesepakatan dagang resiprokal AS – Indonesia: https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/6744/indonesia-as-sepakati-substansi-perundingan-perdagangan-resiprokal-agreements-on-reciprocal-trade.