Disusun oleh:
Agung Prakoso & Rachmi Hertanti
Jakarta, 11 Juli 2020 – Hampir semua negara di dunia telah terdampak pandemi COVID-19, tidak terkecuali negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris serta negara berkembang seperti Indonesia. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, menghadapi pandemi COVID-19 merupakan sebuah tantangan besar terlebih karena keterbatasan dan ketergantungan terhadap impor peralatan medis guna penanganan pandemi.
Sebuah keyakinan bahwa Satu-satunya cara untuk mengembalikan kehidupan normal adalah memastikan bahwa penyebaran virus dapat diperlambat sambil mempercepat penelitian dan pengembangan teknologi diagnostic, ketersediaan medical tools and treatment yang mencukupi, dan termasuk vaksin.
Selama ini penerapan ketentuan perlindungan hak kekayaan intelektual, baik terkait dengan paten maupun terhadap persoalan know-how, atas obat dan inovasi kesehatan di berbagai ketentuan baik WTO, WIPO, WHO, dll, telah menjadikan kesehatan menjadi komoditas bisnis, dan pada akhirnya menghilangkan akses masyarakat terhadap kesehatan yang murah, berkualitas, dan berkeadilan.
Upaya pencarian vaksin dari virus Covid-19 termasuk memproduksi secara mandiri alat tes untuk identifikasi virus telah dilakukan, baik pada level nasional maupun global. Sudah banyak desakan dari kelompok masyarakat sipil di dunia untuk segera menghentikan penanganan pandemic ini dengan cara business as usual, termasuk menjadikan kebutuhan medical tools and treatment termasuk vaksin menjadi barang publik (public goods) yang kemudian dapat didistribusikan dan dapat diakses secara berkeadilan.
Untuk itu, tulisan ini akan mengurai soal isu monopoli pengetahuan dan akses pada inovasi kesehatan serta pemanfaatan bersama yang berkeadilan dalam merespon Covid19, yang bersumber dari Webinar Seri Diskusi Keadilan Ekonomi IGJ pada 19 Mei 2020[1].
Isu Ketimpangan Terhadap Akses Obat Dan Alat Kesehatan Dalam Penanganan Covid19[2]
Penanganan pandemi COVID-19 tidak dapat terlepas dari kebutuhan peralatan medis seperti Alat Pelindung Diri (APD), test kit, ventilator, obat-obatan, vaksin, dan lain-lain. Akibatnya berbagai macam peralatan medis menjadi rebutan bagi banyak negara yang menyebabkan harganya menjadi mahal. Terlebih ketika ada beberapa negara yang bisa membayar dengan harga lebih tinggi sehingga barang yang sudah dijadwalkan ekspornya pun dapat dibatalkan demi dijual ke negara lainnya.
Hal ini juga terjadi pada obat-obatan. Meskipun WHO menyatakan belum ada obat yang terbukti ampuh, namun obat-obatan seperti remdisivir dan lopinavir juga menjadi rebutan. Di tengah kondisi ini, beberapa perusahaan farmasi seperti Gilead yang memproduksi remdisivir dan Sanofi yang meneliti vaksin justru menyatakan akan mengutamakan pasar negara besar seperti Amerika Serikat.
Inisiatif global lainnya adalah peluncuran the Access to Covid19 Tools (ACT) yang diorganisir oleh beberapa negara seperti Uni Eropa, Kanada, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Saudi Arabia, Norwegia, Spanyol, dan Inggris. Program ACT ini adalah upaya untuk mempercepat pengembangan diagnostik, vaksin, dan perawatan yang dibutuhkan dunia guna mengakhir pandemic global covid19. Ini adalah kolaborasi kerja antara WHO, Negara, dan sektor bisnis. Respon terhadap inisiatif global ini telah menghasilkan janji negara-negara untuk mengumpulkan sumber daya dalam rangka memulai kegiatan pengembangan, yang hingga Mei 2020 telah mencapai angka 7,4 Miliar Euro.
Negara-negara yang berjanji untuk menyetor modal seperti Komisi Eropa menjanjikan 1,4 miliar euro, sementara kontributor terkemuka lainnya termasuk Prancis (510 juta euro), Jerman (525 juta), Jepang (762 juta), Spanyol (125 juta), Kanada (551 juta), Norwegia (188 juta), Inggris (441 juta) dan Italia (71,5 juta)[3].
Namun, disisi yang lain negara-negara berkembang dan terbelakang mempertanyakan soal adanya jaminan akses yang berkeadilan, baik terkait financial maupun distribusi dari produksi vaksin dan peralatan kesehatan yang dibutuhkan.
Untuk mengatasi ketimpangan akses obat dan alat kesehatan, pada akhirnya WHO melalui pertemuan The World Health Assembly (WHA) ke-73 mengadopsi sebuah resolusi terkait Covid-19 yang menyerukan akses dan distribusi yang adil dari semua teknologi dan produk kesehatan penting untuk memerangi virus. Resolusi ini juga kembali mempertegas komitmen dari seluruh negara mengenai pentingnya memenuhi kebutuhan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk mengisi kesenjangan untuk mengatasi pandemic. Termasuk mengakui peran imunisasi luas terhadap COVID-19 sebagai barang publik global untuk kesehatan dalam mencegah, menahan, dan menghentikan penularan guna mengakhiri pandemi, vaksin yang aman, berkualitas, manjur, efektif, mudah diakses, dan terjangkau tersedia[4].
Pentingnya memastikan obat, treatment, dan produk kesehatan sebagai barang publik global dalam menangani pandemic covid19 dikarenakan keengganan beberapa negara kaya untuk mau membuka akses terhadap hal-hal tersebut yang selama ini dilindungi oleh rezim aturan perlindungan hak kekayaan intelektual. Inovasi ditengah pandemic masih juga dijadikan komoditas bisnis yang menguntungkan sebagian kecil kelompok. Hal ini ditunjukan dari keengganan negara seperti AS dan Eropa yang masih menerapkan standar ganda dengan enggan memberikan penegasan secara eksplisit untuk merujuk pada penerapan fleksibilitasi TRIPS untuk kesehatan publik terkait dengan akses obat dan inovasi produk kesehatan lainnya.
Amerika Serikat, walaupun tidak menolak resolusi yang dihasilkan dalam WHA ke-73, tetapi ia menjadi negara yang sangat kuat untuk tidak mau terikat kepada beberapa paragraph tertentu di dalam resolusi. Hal itu seperti paragraf 4, 8.2 dan 9.8 operatif yang merujuk pada Perjanjian TRIPS dan Deklarasi Doha 2001 tentang fleksibilitas TRIPS dan Kesehatan Publik.
Aturan dalam Negeri yang Tumpang Tindih
Dalam melaksanakan kebijakan terkait COVID-19, Pemerintah memerlukan berbagai instrumen hukum. Regulasi ini akan berguna sebagai landasan pemerintah. Namun dalam penerapannya sering kali kurang maksimal. Contohnya pemerintah masih sering kali plin-plan dalam mengeluarkan instrumen hukum dalam mengendalikan masyarakat. Seiring kenaikan kasus, pemerintah justru melonggarkan peraturan. Upaya untuk riset dan penanganan pandemi terkendala karena aturan yang tumpang tindih.
Pemerintah mengeluarkan empat kebijakan, Pertama, membentuk konsorsium riset dan inovasi covid. Kedua, keanggotaan riset dan inovasi covid19. Ketiga, melaksanakan program konsortium riset. Keempat, kolaborasi antara konsorsium dengan Lembaga Negara Non-Kementerian. Namun kebijakan ini masih saling tumpang tindih. Dalam pengupayaan terhadap vaksin misalnya, belum terdapat istilah yang mengarah pada suatu pembentukan tim khusus yang mengupayakan penemuan ataupun penyediaan vaksin[5].
Tumpang tindih aturan ini harus cepat diatasi oleh pemerintah karena dalam penanganan pandemi diperlukan instrumen hukum yang kuat untuk kepentingan umum. Tumpang tindih aturan akan menghambat beberapa aturan lain seperti mengenai lisensi wajib yang sebenarnya sudah diakomodir oleh UU Paten, namun masih memerlukan instrumen hukum yang lebih spesifik mengenai kedaruratan publik. Terlebih pengertian kedaruratan publik yang luas dalam Pasal 109 UU Paten yang sejalan dengan Pasal 31 TRIPS.
Penanganan Anggaran COVID-19 Harus Dimaksimalkan
Pemerintah dalam membuat kebijakan terkait anggaran yang berfokus pada tiga prioritas, yaitu : Pertama,bidang Kesehatan sebesar Rp75 triliun, social safety net sebesar Rp110 triliun, dan dukungan dunia usaha (Perpajakan DTP (Pajak DTP dan Bea Masuk DTP) sebesar Rp70,1 triliun.[6]
Penganggaran penanganan COVID-19 tidak hanya melibatkan Pemerintah Pusat tetapi juga melibatkan Pemerintah Daerah. Pemerintah mengeluarkan Permendagri Nomor 20 Tahun 2020 yang mengatur percepatan penanganan COVID-19 di lingkungan Pemerintah Daerah. Beberapa daerah melakukan pengadaan alat kesehatan sendiri di luar dari yang disediakan Pemerintah Pusat.
Dalam hal ini pemerintah juga tengah mendorong produksi alat kesehatan seperti APD dan bahan baku obat di dalam negeri.[7] Pemerintah melalui Kementerian dan Lembaga yang dimotori oleh Bappenas juga menyiapkan road map soal jaminan kesehatan dan reformasi Sistem Kesehatan Nasional.
Penanganan COVID-19 memerlukan penanganan yang komprehensif dari Pemerintah. Pemerintah harus dapat berkomitmen kuat untuk memanfaatkan sumber daya yang ada seperti memaksimalkan penggunaan fleksibilitas TRIPS dalam rangka mendorong akses pada obat-obatan dan mendorong kesehatan sebagai barang publik, bukan sebagai komoditas. Disisi lain pemerintah juga harus mengantisipasi dorongan dari negara-negara luar yang terus menginginkan agar adanya aturan yang lebih komprehensif dari TRIPS yang dikenal dengan TRIPS Plus di berbagai FTA. ***
[1] Diskusi menghadirkan tiga narasumber: Lutfiyah Hanim (Peneliti Third World Network); M.Azhar, SH., LL.M (Akademisi UNDIP); dan Yenny Sucipto (Pakar Anggaran Publik).
[2] Sebagian dikutip dari paparan Lutfiyah Hanim (Peneliti TWN) dalam diskusi keadilan ekonomi IGJ 19 Mei 2020.
[3] Sumber: https://twn.my/title2/health.info/2020/hi200506.htm
[4] Sumber: https://twn.my/title2/intellectual_property/info.service/2020/ip200509.htm
[5]Disampaikan Muhammad Azhar, Akademisi FH Undip dalam Seri Diskusi Keadilan Ekonomi, Monopoli Pengetahuan dalam COVID-19, Akses pada Inovasi Kesehatan dan Pemanfaatan bersama yang Berkeadilan
[6]https://ekonomi.bisnis.com/read/20200511/10/1238791/ini-rincian-belanja-sosial-covid-19-dan-dukungan-umkm-dari-pemerintah
[7]Disampaikan Yenny Sucipto, Pakar Anggaran Publik dalam Seri Diskusi Keadilan Ekonomi, Monopoli Pengetahuan dalam COVID-19, Akses pada Inovasi Kesehatan dan Pemanfaatan bersama yang Berkeadilan