Uraian Materi Diskusi Arah Negosiasi IEU CEPA
Edisi 29 September 2021
Putaran negosiasi Indonesia Europe Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA) yang telah digelar sejak tahun 2016 lalu akan kembali digelar pada bulan November 2021 mendatang. Sebelumnya, negosiasi IEU CEPA telah dilakukan sebanyak 10 kali putaran. Pada November 2021 nanti, negosiasi ini akan memasuki putraran ke-11.
Ada sesuatu yang berbeda dengan negosiasi ke IEU CEPA ke-11 dan selanjutnya, pasalnya baik Indonesia maupun Uni Eropa telah memiliki regulasi baru yang akan berpengaruh pada negosiasi perdagangan tersebut. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Cipta kerja atau Omnibus Law yang disahkan pada akhir tahun 2020 lalu, sedang Uni Eropa telah mempublikasikan kebijakan perdagangan baru yang lebih berorientasi pada pertumbuhan hijau pada awal tahun 2021 yang selaras dengan kebijakan EU Green Deal.
Untuk membahas hal tersebut, Koalisi masyarakat sipil Indonesia-Eropa telah menyelenggarakan diskusi mengenai arah negosiasi IEU CEPA pasca EU Green Deal dan Omnibus Law pada 29 September 2021 yang menghadirkan pembicara Ni Made Ayu Marthini, Direktur Perundingan Bilateral, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia; Winardi, Koordinator Industri Akses untuk Amerika dan Wilayah Eropa, Direktorat Industri Internasional Akses, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia; Marika Jakas, Kepala Bagian Perdagangan dan Ekonomi, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam; Eko Cahyono, Peneliti Sajogyo Institute; Marc Maes, Peneliti Kebijakan Perdagangan 11.11.11 Belgia; Sanya Reid Smith, Penasihat Hukum & Peneliti Senior Thid World Network (TWN).
Di bawah ini akan diulas secara umum bagaimana kedua kebijakan ini berpengaruh terhadap arah negosiasi IEU CEPA antara Indonesia dan Uni Eropa.
Omnibus Law dan Agenda Industrialisasi Indonesia Berbasis Sumber Daya Alam
Omnibus Law dan EU Green Deal
merupakan safeguard terhadap “tsunami investasi”
yang didorong dengan cara deregulasi.
(Eko Cahyono, Peneliti Sayogyo Institute)
Pengesahan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law menegaskan bahwa pemerintah Indonesia memiliki agenda industrialisasi yang berorientasi ekspor dan menjadikannya bagian penting dalam global value chain. Hal tersebut dilakukan dengan cara memperkuat struktur industri melalui pembangunan industri hulu, memperkuat iklim investasi, keterbukaan perdagangan dalam rantai nilai produksi global, menarik invetasi asing melalui penawaran yang menarik, insentif untuk mendorong percepatan transfer teknologi, serta mendesain ulang zona industri nasional.
Bahkan, Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa agenda industrialisasi yang didorong saat ini memiliki prioritas untuk membangun industri yang berwawasan lingkungan. Hal ini disampaikan oleh Winardi, Koordinator Industri Akses untuk Amerika dan Wilayah Eropa, Kementerian Perindustrian. Lebih lanjut dijelaskannya, bahwa dalam lima tahun ke depan, akan terdapat sejumlah agenda pemerintah usai disahkannya Omnibus Law, yaitu: penguasaan teknologi melalui pembentukan ekosistem investasi dengan cara mengembangkan pusat inovasi melalui kerjasama pemerintah, universitas dan pelaku usaha, menerapkan insentif fiskal dan non fiskal, serta membangun infrastruktur digital, dan pengembangan industri hijau.
Winardi menilai, saat ini keterlibatan Indonesia dalam GVC masih sangat rendah. Produksi Indonesia masih ada pada wilayah intermediate goods dan bergantung pada ekspor primer dari negara lain. Untuk itu, menurutnya strategi penting yang akan dilakukan oleh pemerintah pasca Omnibus law untuk meningkatkan partisipasi Indonesia dalam GVC adalah meningkatkan standar kualitas produksi sehingga sesuai dengan standar internasional, mendorong penguatan industri berorientasi ekspor melalui mapping produk unggulan dan produk potensial, akselerasi pembangunan infrastruktur industri, menciptakan iklim usaha dan investasi yang kondusif melalui harmonisasi kebijakan lintas kementerian dan lembaga, meningkatkan inovasi dan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan, serta optimalisasi pemanfaatan perjanjian perdagangan internasional.
Hal ini diperkuat oleh Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan, Ni Made Ayu Marthini, yang menjelaskan pentingnya Indonesia mendorong secara aktif Kerjasama perdagangan internasional, khususnya dengan Uni Eropa. Ia menilai, perundingan Indonesia-EU CEPA dinilai dapat menarik investasi yang dinilai dapat memperbaiki iklim investasi, sekaligus memperbaiki peran Indonesia dalam mata rantai perdagangan global (global value chain), serta meningkatkan kerjasama diantara Indonesia dan Uni Eropa. Menurutnya, pemerintah Indonesia melihat potensi besar perdagangan diantara Indonesia dan Uni Eropa yang memiliki market besar. Pada tahun 2020 saja, total perdagangan tercatat mencapai USD 25,5 miliar. Kerjasama perdagangan internasional dianggap Pemerintah Indonesia sebagai strategi tepat untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi yang terus memburuk dalam 2 tahun terakhir, khususnya ditengah pandemic.
Ni Made Ayu Marthini menjelaskan, secara umum kemajuan negosiasi IEU CEPA sampai dengan putaran ke-10 sudah mencapai 50% teks (rules) selesai dibahas. Pemerintah Indonesia berusaha mengejar target penyelesaian perundingan. Tahun 2021 ini ditagetkan selesai. Namun realisasinya mungkin tahun depan baru bisa selesai. Ada sejumlah isu yang masih dalam diskusi dan negosiasi antara Indonesia, diantaranya isu dispute settlement, intellectual property rights (IPR), dan digital trade. Sampai saat ini, Pemerintah Indonesia masih memonitor apa saja dampak dari isu tersebut terhadap kedaulatan Indonesia.
Kritik terhadap model pertumbuhan klasih semacam itu langsung dilontarkan oleh Eko Cahyono, Peneliti Sayogyo Institute. Ia menyebut baik Omnibus Law maupun kebijakan perdagangan baru Uni Eropa dan atau EU Green Deal merupakan safeguard terhadap “tsunami investasi” yang didorong oleh kedua regulasi tersebut dengan cara menghilangkan hambatan dengan cara deregulasi. Selain itu, kedua kebijakan tersebut disusun untuk mempercepat proyek mega infrastruktur yang disebut dengan koridor ekonomi. Koridor ekonomi dibangun untuk menginterkoneksikan empat mega proyek nasional yaitu, mega proyek infrastruktur, industrial zone and economic zones, new metropolitan areas, extractive economic activities.
Lebih lanjut, ia menjelaskan yang paling diuntungkan dari dua kebijakan tersebut adalah kelompok-kelompok investor skala besar dan elit politik dari berbagai bentuk investasi karena merekalah yang paling memiliki power di dalam pembangunan koridor ekonomi tersebut sejak era Orde Baru hingga saat ini. Ia memberi contoh, di sektor perkebunan dan perhutanan, dimana investornya merupakan aktor yang sama dengan aktor sejak Orde Baru. Kelompok mereka saja yang diberi karpet merah, khususnya oleh oleh Omnimbus Law. Dampak dari hal ini ini adalah terjadinya peningkatan konflik agraria secara masif di berbagai wilayah di Indonesia.
Sanya Reid Smith, Peneliti Third World Network (TWN), menambahkan bahwa IEU CEPA hanya akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan industri Indonesia. Diantara dampak terhadap lingkungan adalah regulasi yang akan disusun oleh Pemerintah Indonesia sebagai turunan dari kesepakatan IEU CEPA yang tidak mematuhi kepatuhan terhadap Convention on Biological Diversity (CBD). Selain itu, IEU CEPA akan membatasi kode sumber genetik keanekaragaman hayati di Indonesia;
Sedangkan dalam konteks industri, dampak IEU CEPA akan menghapus tarif impor yang akan meningkatkan persaingan dan melemahkan perlindungan industri dalam negeri, serta memperpanjang monopoli HaKI sekaligus mengurangi peluang bagi produsen obat generik, agrokimia, furniture, dan kendaraan bermotor dalam negeri. Selain itu, IEU CEPA juga akan akan membatasi persyaratan transfer teknologi.
Kolonialisme Baru Ekonomi Hijau
Uni Eropa harus memastikan perdagangan dan investasinya terbuka untuk
mempermudah penyediaan bahan mentah yang dibutuhkan Uni Eropa untuk mendorong transisi hijaunya
(Marc Maes, 11.11.11)
Dalam negosiasi IEU CEPA saat ini, Uni Eropa telah memiliki kebijakan perdagangan baru (EU trade policy) dan atau yang sering disebut dengan kesepakatan hijau (EU Green Deal). Kini seluruh kebijakan perdagangan Uni Eropa ditujukan untuk pembangunan yang berkelanjutan atau perdagangan yang semakin hijau.
Beberapa strategi yang dilakukan oleh EU dalam mendorong agenda perdagangan yang berkelanjutan telah dilakukan beberapa Langkah. Kepala Bagian Perdagangan dan Ekonomi, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Marika Jakas, menjelaskan bahwa saat ini Uni Eropa tidak dapat menjalankan EU trade policy dan atau EU Green Deal, sebagai solusi terhadap perubahan iklim itu sendirian. Uni Eropa butuh menjalankannya bersama mitra-mitranya, termasuk dengan Indonesia.
Uni Eropa telah membuat sejumlah kebijakan, diantaranya melakukan pemberian dana dalam rangka membangun kerjasama dengan mitra Uni Eropa yang memiliki tujuan yang sama. Berdasarkan hal tersebut, Uni Eropa akan membuka dialog berkenaan dengan IEU CEPA, Kebijakan Perdagangan Baru Uni Eropa, dan atau EU Green Deal, termasuk dengan Indonesia.
Selain itu, sebagai bagian dari kebijakannya, Uni Eropa telah meluncurkan assessment pada Juni tahun 2020 lalu dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi Indonesia yang sejalan dengan agenda hijau Uni Eropa. Salah satu langkah nyata yang dilakukan Uni Eropa untuk mengarusutamakan Kebijakan Perdagangan Baru Uni Eropa, dan atau EU Green Deal-nya adalah membuat komitmen dengan negara-negara anggota G20. Dalam hal ini, Uni Eropa ingin bekerjasama dengan mitra pentingnya di Asia Tenggara, terutama dengan Indonesia, dan ASEAN umumnya.
Bahkan, dalam hal Kerjasama perdagangan, prioritas Uni Eropa adalah merampungkan negosiasi IEU CEPA berbasis pada kebijakan hijau, dimana dalam EU FTA saat ini telah dimasukan bab mengenai perdagangan dan pembangunan berkelanjutan. Termasuk, ada proposal baru mengenai Sustainable Food System yang hendak dimasukan di dalam EU FTA yang akan dirundingkan oleh EU dengan negara mitranya. Saat ini, Uni Eropa sedang melakukan negosiasi perdagangan dengan sejumlah negara, diantaranya Australia dan New Zeland. Uni Eropa ingin merampungkan negosiasi free trade agreement dengan Indonesia, Australia, dan New Zealand, termasuk juga negosiasi dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina yang sekarang sedang terhambat.
Dibalik klaim normative yang disampaikan oleh Perwakilan EU diatas, sebaliknya Marc Maes, Peneliti Kebijakan Perdagangan dari Organisasi 11.11.11., menegaskan bahwa EU Green Deal bukan merupakan strategi untuk pembangunan berkelanjutan global. EU Green Deal juga tidak berurusan dengan dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan, meskipun mempertimbangkan soal energi. EU Green Deal hanya memiliki dimensi ekonomi, dan karena itu ia merupakan strategi pertumbuhan baru ekonomi Uni Eropa. Tentu, upaya Uni Eropa untuk mengarusutamakan isu iklim, lanjut Marc, akan membutuhkan investasi dan transformasi besar.
Dalam konteks kebijakan perdagangan EU terkait dengan isu lingkungan, sekali lagi Marc menegaskan, bahwa mitra dagang Uni Eropa harus memastikan perdagangan dan investasinya terbuka untuk mempermudah penyediaan bahan mentah yang dibutuhkan Uni Eropa untuk mendorong transisi hijaunya. Misalnya saja, terkait dengan bahan baku nikel.
Penting juga dicatat, bahwa EU Green Deal mengabaikan jejak ekologis Uni Eropa yang sangat besar. Ekspor Uni Eropa tercatat sebesar 3100 miliar Euro dan impornya sebesar 2800 miliar Euro. 60% dari impor Uni Eropa digunakan untuk memungkinkan ekspor kembali ke negara lain. Perkembangan global value chain dalam beberapa dekade terakhir telah mengalihkan banyak produksi Uni Eropa ke seluruh penjuru dunia. Dengan mengalihkan produksi, Uni Eropa bertanggung jawab atas deforestasi, degradasi lingkungan, emisi rumah kaca, dan eksploitasi tenaga kerja di negara lain.
Terdapat poin krusial dalam EU Green Deal yang ingin menangani masalah tersebut. Melalui EU Green Deal, Uni Eropa ingin berinvestasi dalam ekonomi sirkular, Uni Eropa ingin menyimpan limbahnya, mendaur ulang, dan menggunakannya kembali lebih banyak dan lebih baik. Ini akan sangat disambut baik. Akan tetapi hal ini tidak akan banyak mengurangi ketergantungan Uni Eropa pada sumber daya alam dari seluruh dunia.
Terakhir, kata Marc Maes, pengurangan emisi gas rumah kaca, yang menjadi target Uni Eropa, akan tetap membutuhkan akses terhadap sumber daya mineral di berbagai negara untuk mengembangkan baterai dan teknologi baru yang akan tetap menjadi agenda utama perdagangannya. Dalam konteks tersebut diatas, ia mengingatkan, bahwa dengan model perdagangan yang semacam itu, tentu Trade andsustainable and development chapter tidak dapat diterapkan pada mitra dagang. Bab ini hanya berisi pembahasan yang tidak jelas tentang bagaimana Uni Eropa dan mitranya akan bekerja sama untuk mencapai tujuan di bidang konvensi sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia.
Penyusun
Parid Ridwanuddin
Peneliti isu Trade dan Climate
Indonesia for Global Justice (IGJ)