• id Indonesia
  • en English
Minggu, Januari 29, 2023
  • TENTANG KAMI
Indonesia for Global Justice
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
“A Global Justice Order through Social Movements”s
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
Home news

Kapitalisme dan Kita

Maret 28, 2014
in news
Reading Time: 4 mins read
Kapitalisme dan Kita
2k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Sekitar dua abad sejak terbitnya Kekayaan Negara Bangsa karya Adam Smith, dan ditandai runtuhnya “Tembok Berlin” pada 1989, sistem ekonomi kapitalisme berhasil menggusur semua pesaingnya. Karena nyaris tanpa pilihan, yang tersisa hanya beberapa negara komunis dan populis yang tidak sepenuhnya antikapitalisme, kita boleh bertanya, apakah kapitalisme cocok untuk menyelesaikan berbagai masalah nasional dan global?

Banyak yang ragu karena mensinyalir setelah mengalahkan semua lawannya, kapitalisme bakal berpuas-puas dengan dirinya sendiri. Sikap diri, menurut Rudolf Hickel (2000), berdampak pada tiadanya “tangan pengatur keadilan dalam kapitalisme”.

Memilih Kapitalisme

Namun, bagi Robert Heilbroner, seorang sosialis Jerman, peran oposisi sosialistis di masa depan tidak lagi dalam mengupayakan rancangan perlawanan baru atas kapitalisme, tetapi mengupayakan agar sistem ini berwajah lebih manusiawi.

Bahkan, menurut Michael Albert, satu-satunya “kesempatan perbaikan” yang masih terbuka adalah terus mencoba dengan sistem kapitalisme dan berbagai cabangnya, seperti individual capitalism negara-negara Anglosaxon (AS dan Inggris) yang juga dikenal dengan julukan “neoliberal” dan social capitalism negara-negara Eropa daratan. Dua cabang kapitalisme ini telah memengaruhi perjalanan abad ke-20.

Setelah itu, muncul corporative capitalism, sebagai cabang kapitalisme ketiga dari Jepang yang pernah dinobatkan sebagai sistem ekonomi abad ke-21, meski tampaknya belakangan mengalami kemunduran. Selain itu, yang tak terduga adalah kemunculan “kapitalisme” China yang berada di bawah payung sistem komunisme.

Pada masanya, Reagan dan Thatcher (sebagai personifikasi kapitalisme Anglosaxon), pernah mengungkapkan rumusan pemikiran yang sempat membius warga dua negara tersebut: “Turunkan pajak bagi orang kaya maka kehidupan orang miskin akan membaik.”

Pemikiran kontroversial yang dirumuskan para intelektual kanan dari Hoover Foundation di California ini mungkin bisa berfungsi seandainya orang kaya yang banyak menghemat pajak itu mengiventasikan keuntungannya pada sektor produktif. Tetapi, karena tak seorang pun bisa memaksa mereka, juga tidak negara, kebanyakan uang mereka diinvestasikan pada bisnis spekulasi properti dan beberapa bidang kontraproduktif.

Pada satu sisi, AS misalnya merupakan juara dunia dalam hal pendidikan elite dan banyak memberi ruang bagi peningkatan kreativitas sosial. Tetapi, pada sisi lainnya, kapitalisme ini sangat tidak efisien dalam hal kebijakan sosial, kacau balau dalam kebijakan lingkungannya, dan ignorant dalam kebijakan kependidikan.

Aspek pionir yang menjiwainya terlalu nonchalance bagi “negara berkembang”, bahkan bagi para pakar ekonomi AS yang menjadi penasihat Presiden Clinton dan Obama. Mereka ”melirik” kapitalisme model Eropa untuk diterapkan di AS.
Kapitalisme Eropa (daratan) cenderung mengikuti ”Model Jerman“, yang juga disebut soziale Markwirtschaft, yang kurang lebih berarti ekonomi pasar yang sosial. Tampaknya, dua perang dunia yang terjadi di Eropa telah mempertanyakan model kapitalisme nonchalance seperti yang dianut AS.

Eropa telah mengembangkan bingkai persyaratan yang disepakati umum tanpa terlalu melemahkan mekanisme pasar, berupa sistem sosial terpadu mulai perlindungan kesehatan, pengangguran hingga pengamanan hari tua dan tempat tinggal. Pajak yang tinggi telah memungkinkan pendanaan pendidikan dan pengajaran serta berbagai infrastruktur dasar. Serikat buruh yang relatif kuat juga telah mewarnai “kapitalisme solider” model Eropa.

Konsep Eropa berhasil melahirkan kelompok menengah yang kuat dan membawa kemakmuran bagi mayoritas. Meskipun demikian, ketika harus bersaing dengan model kapitalisme dari Timur Jauh (Jepang dan China), mulai terjadi berbagai penyunatan tunjangan sosial.

Beberapa dekade lalu, ekspansi agresif kapitalisme Jepang berhasil merambah pasar internasional. Namun, rakyatnya relatif lebih sedikit diberi kesempatan mencicipi kue hasil keuntungan yang berlimpah.

Harga barang di Kepulauan Matahari Terbit ini, misalnya, akibat kebijakan subsidi pertanian, rata-rata 40 persen lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat. Mempunyai rumah sendiri di Jepang nyaris tak mungkin akibat spekulasi tanah yang mendapat sokongan negara.

Produktivitas sistem perekonomian Jepang tidak hanya bertumpu pada ”teknik produksinya yang jenius” (Der Spiegel), tetapi terutama berkat pemasok murah dari strata masyarakat terbawah dalam “masyarakat tiga kelas” Jepang. Saat ini, posisi Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomor dua dunia mulai digantikan China.

Bobot ekonomi negara berpenduduk terbesar di dunia ini berpengaruh signifikan pada konstelasi kekuatan politik global. Dalam bukunya, Kaplinsky melihat China bukan sekadar “Emerging Economies”, melainkan “Asian Drivers of Global Change” (2006).

Arahan Konstitusi Kita

Dalam menghadapi Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014 ini diperlukan perdebatan terkait ideologi ekonomi partai politik dan para pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Sepanjang masa pemerintahan SBY yang berpasangan dengan Boediono, Indonesia telah menjadi pengusung utama ekonomi neoliberal. Dalam beberapa aspek, Indonesia bahkan membuka pasar sebebas-bebasnya, nyaris tanpa intervensi negara.

Fundamentalisme Pasar sebagai perwujudan neoliberalisme dalam bidang ekonomi memang meminggirkan peran negara sebagai penyeimbang ini, gagal memenuhi janjinya. Tiga contoh berikut memperjelas keterbatasan dari berbagai solusi yang melulu bertumpu pada premis ekonomi pasar.

Pertama, asumsi bahwa pasar uang tidak hanya membantu penggunaan kapital secara optimal, tetapi juga menjamin pertumbuhan dan pengadaan lapangan kerja, tidak terbukti. Penyebabnya, pasar modal menjadi pasar sepekulatif yang digelembungkan. Tanpa regulasi, pasar modal global bisa memengaruhi kuat-rapuhnya stabilitas ekonomi sebuah negara, kawasan atau bahkan dunia, seperti yang diperlihatkan oleh “Krisis Asia”.

Kedua, kekuatan pasar tidak mampu mencegah krisis lingkungan global. Meski harus pula diakui, kegagalan yang sama dialami oleh negara, terutama terkait maraknya monopoli dan oligopoli. Ketiga, penelitian Prittchett (1996) membuktikan bahwa dalam proses globalisasi terjadi kesenjangan yang meluas. Pemenangnya adalah negara-negara kaya anggota OECD, termasuk korporasi yang mengeruk kekayaan alam negara berkembang.

Dalam memilih, kita berharap negara berperan sebagai “penjaga” konstitusi dengan mengacu pada Pasal 33 UUD 45 yang dengan sangat jelas menyebut pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Negara perlu didorong untuk berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat ketimbang condong kepada perusahaan yang memakmurkan segelintir penikmat di atas penderitaan mayoritas rakyat.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian IDe (Institute for Democracy Education); Ketua Badan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice).

PDF 📄
Previous Post

Membangun Berbasis Ideology, oleh Ivan Hadar (Ketua Dewan Pengurus Indonesia for Global Justice)

Next Post

Economy for Life in our Earth community

Related Posts

TERASI PANGAN: Hak-Hak Petani Dikebiri, Pemerintah Dukung UPOV 1991 yang Melindungi Korporasi dan Investasi
Gerak Lawan

TERASI PANGAN: Hak-Hak Petani Dikebiri, Pemerintah Dukung UPOV 1991 yang Melindungi Korporasi dan Investasi

Januari 24, 2023
Letter To EU Decision-Makers_Indonesia Malaysia (Bahasa)
Artikel

Letter To EU Decision-Makers_Indonesia Malaysia (Bahasa)

Desember 22, 2022
Load More
Next Post
Forum G-20 Summit Rusia: Pak SBY, Berhentilah Memperparah Krisis Ekonomi Indonesia

Economy for Life in our Earth community

Please login to join discussion

covid-19 widget

Popular Post

  • Penghapusan Status B3 FABA dan SBE dalam PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Tinjauan Sustainable Trade

    Penghapusan Status B3 FABA dan SBE dalam PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Tinjauan Sustainable Trade

    2590 shares
    Share 1036 Tweet 648
  • Ahli Tekankan Pentingnya Persetujuan DPR dalam Perjanjian Internasional

    2577 shares
    Share 1031 Tweet 644
  • Penenggelaman Kapal Asing

    2236 shares
    Share 894 Tweet 559
  • DIPLOMASI VAKSIN COVID-19 INDONESIA: “Tantangan Akses Publik Atas Vaksin dan Layanan Kesehatan Berkeadilan”

    1191 shares
    Share 476 Tweet 298
  • Cerita Dari Pelosok Negeri: Aksi Kolektif Gerakan Sosial Indonesia Merespon Covid19

    1103 shares
    Share 441 Tweet 276
  • PERDAGANGAN & INVESTASI
  • BISNIS & HAM
  • DIGITAL EKONOMI
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • ARTICLE MONITORING
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
  • id Indonesia
  • en English

Indonesia For Global Justice© 2020

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used.