Oleh:
Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H.
Guru besar Hak Kekayaan Intelektual FH UI
( Dipresentasikan dalam Diskusi IGJ tentang wacana penghapusan Pasal 20 UU Paten 2016, 3 September 2020 )
Pendahuluan
Wacana menghapus Pasal 20 UU Paten 2016 melalui Pasal 110 RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) adalah wacana yang cukup serius. Apalagi ketika penghapusan itu dilatarbelakangi adanya tuntutan dari pihak luar yang menghendaki penghapusan pasal tersebut. Haruskah pembentuk hukum di Indonesia mengikuti apa yang menjadi kemauan pihak luar tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mengetahui sejarah paten dan konsep-konsep yang melingkupinya. Hal ini penting, agar kita dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan baik dan benar.
Sejarah Paten
Sejarah paten bermula di kawasan Eropa sejak abad ke XV. Banyak versi tentang sejarah tersebut yang ditulis oleh berbagai kalangan akademik. Setidaknya ada versi yang menceritakan bahwa paten dilatarbelakangi oleh peristiwa yang terjadi pada pertengahan abad XV tersebut.
Singkat cerita, pada masa itu banyak pedagang dari Venice yang membawa dagangannya ke kawasan Inggris. Dalam perjalanan waktu kemudian muncul gagasan dari penguasa di Inggris agar barang-barang dagangan itu tidak usah dibawa dari Venice, melainkan dibuat di kawasan Inggris saja. Keuntungan dari pembuatan produk-produk itu di Inggris adalah harga yang lebih murah. Selain itu, penguasa di Inggris juga ingin agar orang Inggris pun bisa membuat produk-produk tersebut. Untuk itu penguasa Inggris menawarkan kepada
para pedagang, agar mereka berkenan mengajari orang-orang Inggris untuk membuat produk-produk tersebut. Sebagai imbalan dari kesediaan para pedagang, mereka kan diberikan ‘surat paten’ yang berisi hak untuk memonopoli perdagangan produk-produk tersebut di kawasan Inggris.
Dari sejarah ini dapat diketahui bahwa sejarah paten itu sendiri adalah merupakan tukar-menukar antara kesediaan para pedagang dengan penguasa Inggris. Para pedagang yang bersedia membuka informasi tentang teknologi dan kemudian mengajarkannya kepada orang-orang Inggris, akan diberikan hak berupa hak untuk memonopoli perdagangan produk-produk tersebut di kawasan Inggris.
Hingga saat ini konsep paten masih tetap sama, yaitu para pemohon harus membuka informasi tentang teknologinya di dalam surat permohonan haknya (disclosure requirement). Setelah itu, Negara melalui aparaturnya memeriksa apakah teknologi tersebut memenuhi syarat kebaruan dan syarat-syarat lainnya yang belakangan dituangkan ke dalam TRIPs Artikel 27 ayat (1). Berbagai artikel mengungkapkan bahwa banyak Negara yang kemudian meminta penerima hak (pemegang paten) untuk melaksanakan pembuatan produknya di dalam jurisdiksi Negara pemberi paten. Inilah yang kemudian disebut sebagai local working. Permintaan ini merupakan sesuatu yang wajar karena konsep paten itu sendiri adalah merupakan imbalan dari Negara berupa hak memonopoli penggunaan teknologi yang bersangkutan.
Local working patent
Local working juga berhubungan dengan tujuan pengaturan tentang paten ke dalam konvensi internasional. TRIPs menyebutkan dengan tegas dalam beberapa pasalnya yang menghendaki agar teknologi berkembang dengan adanya pemberian reward kepada para penemu teknologi baru. Artinya, paten harus memberikan dampak social dan ekonomi bagi warga bangsa yang ikut serta dalam kesepakatan TRIPs tersebut.
Ada baiknya dikutip beberapa pasal TRIPs yang berhubungan dengan konsep tersebut.
• Article 2 TRIPS jo Article 5A(2) Paris Convention: Each country of the Union shall have the right to take legislative measures providing for the grant of compulsory licenses to prevent the abuses which might result from the exercise of the exclusive rights conferred by the patent, for example, failure to work
• Article 27(1) TRIPS: Subject to the provisions of paragraphs 2 and 3, patents shall be available for any inventions, whether products or processes, in all fields of technology, provided that they are new, involve an inventive step and are capable of industrial application. Subject to paragraph 4 of Article 65, paragraph 8 of Article 70 and paragraph 3 of this Article, patents shall be available and patent rights enjoyable without discrimination as to the place of invention, the field of technology and whether products are imported or locally produced
• Article 27(2) TRIPS: Members may exclude from patentability inventions, the prevention within their territory of the commercial exploitation of which is necessary to protect order public or morality, including to protect human, animal or plant life or health or to avoid serious prejudice to the environment, provided that such exclusion is not made merely because the exploitation is prohibited by their law
• Article 7 TRIPS – Objectives: The protection and enforcement of intellectual property rights should contribute to the promotion of technological innovation and to the transfer and dissemination of technology, to the mutual advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner conducive to social and economic welfare, and to a balance of rights and obligations”
• Article 8 TRIPS – Principles-1: Members may, in formulating or amending their laws and regulations, adopt measures necessary to protect public health and nutrition, and to promote the public interest in sectors of vital importance to their socio-economic and technological development, provided that such measures are consistent with the provisions of this Agreement
• Article 8 TRIPS – Principles-2: Appropriate measures, provided that they are consistent with the provisions of this Agreement, may be needed to prevent the abuse of intellectual property rights by right holders or the resort to practices which unreasonably restrain trade or adversely affect the international transfer of technology
Dari pasal-pasal TRIPs yang dikutip di atas tampak bahwa paten adalah tools untuk mendiseminasikan teknologi dan sarana untuk melakukan transfer of technology agar paten memiliki dampak social yang tinggi, baik melalui pembelajaran (edukasi) maupun kemajuan ekonomi bangsa-bangsa melalui perkembangan teknologi itu sendiri.
Paten bukan hanya soal ‘pemberian hak monopoli’, melainkan pemberian hak monopoli itu merupakan reward agar teknologi berkembang yang pada gilirannya akan berdampak pada dunia pendidikan dan pengajaran serta perkembangan teknologi itu sendiri yang akan berdampak juga pada pertumbuhan ekonomi. Membatasi paten hanya pada soal monopoli justru merupakan penyelewenangan dari tujuan awal sistem paten itu sendiri. Local working kemudian menjadi sebuah keniscayaan. Hak memonopoli tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya adalah sebuah kesalahan.
Sekali lagi, pemberian hak paten yang diimbangi dengan local working adalah sebuah keniscayaan. Yang terpenting kemudian adalah bagaimana mengatur masalah ini secara adil dan dapat dilaksanakan (implementable). Solusinya tentu bukan dengan menghapus Pasal 20 UU Paten. Mengapa?
Pasal 20 UU Paten itu sebenarnya hanya kelanjutan saja dari pasal-pasal yang sama yang pernah dituangkan dalam UU Paten Indonesia, yaitu UU Paten 1989 (ps. 18) dan UU Paten 2001 (ps. 17:1). Dengan demikian, local working bukan hal yang baru di Indonesia, bahkan di dunia. Mengapa kini kita sibuk dengan upaya menghapus pasal 20 UU Paten 2016?
Jawabannya jelas dengan melihat siapa yang menuntut penghapusan pasal tersebut. Alasan bahwa pasal 20 bertentangan dengan Pasal 27 TRIPs karena dianggap diskriminatif adalah sesuatu yang dipaksakan. Pasal 27 TRIPs jelas tidak dapat dibaca sendirian. Ia harus dibaca secara sistematik dalam kesatuan idea dengan pasal-pasal yang lainnya. Pertama, TRIPs sangat menghormati kedaulatan hukum Negara peserta. Kedua, TRIPs menghormati kepentingan nasional Negara peserta. Ketiga, TRIPs tetap menghendaki agar monopoly right itu membawa dampak social yang baik dengan mencegah abuse of intellectual property rights by right holders berupa blocking patent dan failure to work yang diadopsi dari Pasal 5A Paris Convention tersebut di atas.
Selain itu, diskriminasi yang digunakan sebagai alasan untuk menuntut penghapusan pasal 20 UU Paten adalah sebuah kekeliruan. Diskriminasi itu diterapkan bukan terhadap produk lokal versus produk import, melainkan diskriminasi terhadap warga bangsa peserta WTO. Prinsip most favoured nation dan national treatment itu berbicara tentang nation (bangsa), bukan tentang produk. WTO-TRIPs memang melarang diskriminasi yang diterapkan kepada warga bangsa karena yang diatur adalah perdagangan yang dilakukan oleh warga bangsa, bukan tentang produknya. Negara tidak boleh berlaku diskriminatif terhadap warga bangsa, bukan diskriminasi terhadap produk local versus produk import. Kesimpulan ini akan muncul jika yang dibaca bukan hanya kata without discrimination dalam Pasal 27 ayat 1 TRIPs, tetapi dibaca seluruh pasal-pasal yang menjiwai WTO-TRIPs.
Penyusun TRIPs paham bahwa pemberian hak monopoli melalui paten tanpa diimbangi dengan transfer of technology dan local working akan berdampak pada abuse of patent berupa patent blocking, yaitu pendaftaran paten yang tujuannya hanya untuk menghalangi agar orang lain tidak memperdagangkan produk yang teknologinya dimintakan perlindungan. Permintaan perlindungan harusnya bukan hanya dimaknai sebagai upaya memonopoli perdagangannya saja, melainkan juga sebagai reward untuk memotivasi orang lain mengembangkan teknologinya. Local working adalah upaya itu, agar pemberian hak paten tidak diikuti dengan abuse of patent right berupa blocking patent dan failure to work. Itu sebabnya banyak Negara menerapkan local working.
Pertanyaannya adalah, bagaimana agar local working itu dapat dilaksanakan dengan adil dan menguntungkan semua pihak termasuk pemilik paten itu sendiri? Inilah yang harus dipikirkan oleh eksekutif dan regulator, yaitu bagaimana agar local working itu dapat berjalan dengan adil tanpa mengurangi hak-hak pemegang paten. Kiranya hal-hal berikut di bawah ini dapat dijadikan pertimbangan:
• Memberikan jangka waktu yang cukup kepada pemilik paten untuk memilih melaksanakan sendiri teknologinya, atau memberikan ijin kepada siapa pun yang berminat dan bisa melaksanakan invensi tersebut (melalui aturan pelaksanaan)
• Untuk produk-produk tertentu yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat dan kepentingan nasional yang mendesak, pelaksanaan local working dapat dilakukan melalui lisensi wajib dengan royalti yang proper (melalui aturan pelaksanaan)
• Jika pemilik paten keberatan untuk melaksanakan sendiri membuat produknya di Indonesia atau menolak memberikan lisensi kepada partner lokal, maka penghapusan paten boleh diajukan oleh Kejaksaan atas nama bangsa Indonesia dalam rangka menegakkan kepentingan nasional (UU Paten sudah mengatur)
• Setelah paten dihapus, maka siapapun dapat menggunakan invensi tersebut dengan bebas karena sudah tidak dilindungi paten. Itu sebabnya penghapusan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, melainkan melewati proses peradilan yang baik dan adil.
Upaya memenuhi permintaan asing untuk menghapus pasal 20 UU Paten jelas merupakan upaya jalan pintas yang sama sekali tidak patut dilakukan. Ibaratnya hendak membasmi tikus, tetapi yang dibakar adalah lumbung dan padi-padi yang ada di dalamnya.
Pasal 20 UU Paten dan Konstitusi
Mukadimah UUD 45 menegaskan tujuan Negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum. Pasal 20 UU Paten boleh dikatakan merupakan perwujudan dari mandat Konstitusi dalam mempertahankan kepentingan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum melalui (1) transfer of technology policy, (2) penyerapan investasi, dan (3) penyediaan lapangan kerja. Tiga tujuan yang tertuang di dalam Pasal 20 UU Paten itu adalah sesuatu yang ideal berupa pelaksanaan Konstitusi. Artinya, Pasal 20 UU Paten adalah sesuatu yang konstitusional. Jika kemudian pasal ini hendak dihapus karena alasan yang ‘inkonstitusional’, maka kiranya UU yang akan menghapus pasal 20 UU Paten itulah yang inkonstitusional, dan karenanya sangat potensial untuk menjadi objek gugatan pelanggaran Konstitusi di hadapan Mahkamah Konstitusi.
Penutup
Mudah-mudahan kita bisa menjadi bangsa yang mandiri dan tidak takut terhadap ancaman dari luar. Sebaliknya, kita harus berani mengatakan ‘tidak’ kepada pihak luar jika kepentingan nasional menghendaki. Kita hanya harus cerdas dalam menyikapi setiap intervensi asing.