• id Indonesia
  • en English
Kamis, Maret 30, 2023
  • TENTANG KAMI
Indonesia for Global Justice
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
“A Global Justice Order through Social Movements”s
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
Home Publikasi Pres Release & Statement

Pernyataan Sikap Bersama Kelompok Masyarakat Sipil dan Organisasi Nelayan Terhadap Negosiasi Subsidi Perikanan di WTO

Juli 15, 2021
in Pres Release & Statement
Reading Time: 14 mins read
Photo by Susmita Saha on Unsplash

Photo by Susmita Saha on Unsplash

1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Jakarta, 15 Juli 2021

Kepada Yth.

Bapak Ir. Joko Widodo Presiden Republik Indonesia
Bapak Muhammad Lutfi
Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Ibu Retno Marsudi
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia  
Bapak Sakti Wahyu Trenggono
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia  
Bapak H.E Syamsul Bahri Siregar Duta Besar Untuk WTO

Hal: Perlindungan Nelayan Kecil & Tradisional Harus Diutamakan Dalam Negosiasi Subsidi Perikanan di WTO

Dengan hormat,

Organisasi   masyarakat   sipil   bersama-sama   dengan   organisasi   nelayan   skala   kecil,  nelayan tradisional  dan masyarakat  adat wilayah  pesisir  mendesak  Pemerintah Indonesia  untuk mengutamakan perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil dan nelayan tradisional dalam perundingan   subsidi   perikanan   di  WTO,  dengan   memastikan  pemberian   subsidi  yang  dapat dinikmati tanpa ada pengecualian untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan mereka.

Negosiasi subsidi perikanan di WTO akan membahas mengenai pelarangan subsidi perikanan yang terkait dengan aktivitas penangkapan ikan di laut dan berkontribusi  terhadap kelebihan kapasitas (overcapacity)  dan  penangkapan  ikan  berlebihan  (overfished),  serta  subsidi  yang  berkontribusi pada penangkapan  ikan yang  Ilegal,  Tidak  Dilaporkan  dan Tidak  Diatur  (Ilegal,  Unreported, and Unregulated/IUU).  

Subsidi perikanan merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh pemerintah Indonesia sebagaimana dimandatkan  oleh konstitusi UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat 3. Lebih jauh, subsidi perikanan diatur  di  dalam  Undang-Undang   No. 7  Tahun  2016  tentang  Perlindungan  dan  Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya  Ikan, dan Petambak Garam. Untuk itu, negosiasi subsidi perikanan di WTO harus  tetap  diarahkan untuk  melindungi  hak  nelayan  kecil  dan  tradisional  Indonesia. Jangan sampai isi kesepakatannya  lebih menguntungkan  negara maju daripada negara berkembang, serta menimbulkan dampak buruk bagi nelayan kecil dan tradisional di Indonesia. 

Pelarangan subsidi perikanan juga menjadi salah satu target pencapaian Tujuan pembangunan Berkelanjutan)  atau  (sustainable  development  goals). TPb/SDGs  memuat  17 tujuan dan sasaran global tahun 2030 yang dideklarasikan oleh negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia pada tahun 2015.

Disebutkan   dalam  TPB   Target  14.6:  Pada  tahun  2020,  melarang  bentuk  tertentu  dari  subsidi perikanan  yang berkontribusi  terhadap  kapasitas berlebih  dan pengambilan ikan yang berlebihan, menghilangkan subsidi yang berkontribusi terhadap penangkapan ikan yang ilegal, tidak terlaporkan dan tidak teregulasi dan menahan diri dari memperkenalkan  bentuk subsidi yang demikian, dengan kesadaran  bahwa  perlakuan  khusus  dan  diferensial  yang layak  dan  efektif untuk negara-negara berkembang dan kurang berkembang harus menjadi bagian integral dari negosiasi subsidi WTO.  

Dua  poin yang penting  dalam  pencapaian  TPB  adalah  penghapusan  subsidi  dan pengakuan pentingnya perlakuan khusus dan berbeda yang layak dan efektif untuk negara-negara berkembang dan kurang berkembang.  

Dalam forum WTO, ada dorongan  untuk segera  menyelesaikan  negosiasi  subsidi  perikanan pada WTO Ministerial Conference 2021. Pada 15 Juli 2021, akan diadakan Ministerial Meeting untuk membahas  Subsidi   Perikanan   secara   Virtual   guna  menyelesaikan   beberapa   isu krusial  yang berpotensi  merugikan  nelayan  kecil  dan  tradisional  di negara berkembang  dan  negara  kurang berkembang.  

Maka,  untuk  memastikan  perlindungan  bagi  nelayan kecil  dan  tradisional, kami sampaikan pandangan dan masukan kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan negosiasi subsidi perikanan sebagai berikut:

1.          Pentingnya Perlindungan Nelayan Tradisional atau Nelayan Skala Kecil di Indonesia Dalam Perundingan Subsidi Perikanan

Pelaku perikanan di Indonesia, didominasi  oleh nelayan tradisional  atau nelayan skala kecil yang menggunakan kapal di bawah 10 gros ton. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),  persentase  nelayan  tradisional  atau nelayan  skala kecil tercatat  lebih dari 90 persen dari total  seluruh  pelaku  perikanan  nasional.  Berdasarkan  dokumen Statistik  Sumber Daya  Laut  dan Pesisir  2020, jumlah  seluruh  nelayan  tercatat  sebanyak  2,24 juta orang. Meski demikian,  jumlah nelayan  tradisional  atau  nelayan  skala kecil di  lapangan  sebenarnya  lebih  banyak 2 juta orang.  Bahkan kajian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada tahun 2016 lalu, menyebut jumlah nelayan tradisional  atau nelayan skala kecil lebih dari delapan juta orang. Perhitungan  ini didasarkan pada keberadaan perempuan nelayan dan masyarakat adat pesisir yang selama ini tidak diakui sebagai nelayan tradisional atau nelayan skala kecil.  

Secara umum, nelayan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil memiliki ketergantungan  yang sangat tinggi kepada sumber daya perikanan untuk menopang kehidupan mereka. Namun, mereka juga berkontribusi besar bagi konsumsi pangan laut di Indonesia. Mereka adalah produsen pangan laut yang mampu menghadirkan ikan ke meja makan masyarakat Indonesia. Angka konsumsi ikan di  Indonesia  terus  mengalami  kenaikan  setiap  tahun.  Pada  tahun  2011  data  konsumsi  hanya sebesar  32,25  kg/kapita.  Angka  tersebut  naik pada  tahun  2018  yang  tercatat  sebesar  50,69 kg/kapita. Ada kenaikan persentase konsumsi ikan sebesar 6,27 – 7,79 persen setiap tahunnya.  

Bahkan,   nelayan   tradisional   atau   nelayan   skala   kecil   selama   ini   terbukti   mempraktikkan penangkapan ikan secara berkelanjutan karena menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan dan tidak menangkap ikan secara berlebih. Mereka menangkap ikan di kawasan tangkap yang merupakan perairan tradisional yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kawasan itu biasanya ditandai dengan beragam hal, mulai dari pulau kecil yang tidak berpenghuni dan  penanda  lainnya.  Di  dalam  menandai kawasan  tangkap,  mereka  menggunakan  konsep geo- kultural, yang berarti kawasan tangkap itu merupakan bagian dari ruang budaya, tak peduli berapa jauhnya   jarak   dari  bibir  pantai.   Nelayan-nelayan   di   Sulawesi   Selatan,  misalnya,  melakukan penangkapan ikan sampai ke Laut Flores di NTT, begitu pun sebaliknya.   

Namun, kondisi  nelayan  tradisional  atau nelayan  skala kecil di Indonesia  tak luput dari beragam tantangan serius. Tantangan utamanya adalah berasal dari sejumlah hal, diantaranya: kebijakan pembangunan yang bercorak ekstraktif serta eksploitatif, dampak buruk krisis iklim, serta bencana alam, khususnya  gempa  bumi dan ancaman  tsunami. Kerentanan  mereka  akan semakin berlapis jika  negosiasi  subsidi  perikanan   tidak  memperkuat   posisi  dan  keberadaan  mereka di  dalam memproduksi ikan dan berbagai pangan laut lainnya

2.   Penghapusan   Subsidi      di   WTO   Mengancam   Nasib   Nelayan   Kecil   dan   Nelayan Tradisional

Draf teks yang diusulkan di WTO, akan melarang beberapa subsidi perikanan karena dianggap menyebabkan kapasitas berlebih  (overcapacity)  dan penangkapan  ikan  berlebihan (overfished) adalah sebagai berikut:

a.     Subsidi untuk konstruksi, akuisisi, modernisasi, renovasi atau perbaikan kapal;

b.    Subsidi untuk pembelian mesin dan peralatan kapal (termasuk alat dan mesin penangkap ikan, mesin  pengolah  ikan,  teknologi  pencarian  ikan,  lemari  es,  atau  mesin  untuk  menyortir  atau membersihkan ikan);

c.     Subsidi untuk pembelian/biaya bahan bakar, es, atau umpan;  

d.    Subsidi untuk biaya pegawai, retribusi sosial, atau asuransi;

e.     Dukungan pendapatan kapal atau operator atau pekerja yang mereka pekerjakan;

f.     Dukungan harga ikan yang ditangkap;

g.    Subsidi untuk dukungan di laut; dan

h.    Subsidi  yang  menutupi  kerugian  operasi  kapal  atau  penangkapan  ikan  atau  kegiatan  terkait penangkapan ikan.

Subsidi di atas, beberapa adalah subsidi yang juga diberikan oleh pemerintah Indonesia, misalnya subsidi  BBM.  Jika  subsidi  bahan  bakar    dihapuskan,  ini  akan  sangat berdampak  besar.  Karena mayoritas nelayan kecil menggunakan bahan bakar sebagai sarana penting untuk melaut dan menangkap ikan. Bila ini dicabut atau dilarang, maka mengancam kesejahteraan 2,7 juta nelayan di Indonesia.  

Jika  subsidi  BBM  dicabut,  maka  nelayan  tradisional  dan nelayan  skala  kecil,  yang menggunakan ukuran kapal di bawah 10 gross ton, akan semakin terancam kehidupannya karena harus bersaing di laut dengan kapal-kapal penangkapan ikan skala besar dengan ukuran di atas 10 gross ton. Inilah malapetaka yang akan menghancurkan kehidupan nelayan di Indonesia.

3.   Ketidakadilan    Pengaturan    Special    and    Differential    Treatment    (SDT)    Berpotensi Merampas Hak Nelayan Tradisional atau nelayan skala Kecil di Indonesia

Draft   Teks   terbaru   perjanjian   subsidi   perikanan   WTO   telah   melenceng   jauh   dari  mandat Sustainable  Development  Goals  (SDGs)  14.6.  yang hendak  memastikan bahwa  negara berkembang, termasuk  juga  negara  kurang  berkembang  dan  negara  kepulauan  kecil,  dalam mempertahankan fleksibilitas dan kemampuan negara mereka untuk berkembang.

Bahkan, draft teks yang ada saat ini mengatur pemberian ‘Perlakuan Khusus dan Berbeda atau SDT (Special  and Differential  Treatment)  secara  terbalik’ kepada  negara-negara maju yang  memiliki armada penangkapan  ikan yang kuat dan terus dapat mensubsidi  tanpa henti, untuk menangkap ikan baik di perairan mereka maupun negara Anggota lainnya.

Ada indikasi bahwa draft teks subsidi perikanan hendak menghilangkan pemberlakuan SDT kepada negara berkembang, dan hanya memberikanya dalam bentuk SDT yang sudah lemah kepada negara kurang berkembang, tetapi disisi yang lain memberikan pemberlakuan SDT untuk negara maju.  

Beberapa  aturan  SDT  yang  tidak  adil  dan  berpotensi  merampas  hak  nelayan  tradisional  atau nelayan skala kecil, khususnya di Indonesia, adalah sebagai berikut:

a.     Pembatasan  wilayah  penangkapan  ikan  di  laut  teritorial  untuk  nelayan  tradisional  atau nelayan skala kecil.

Fleksibilitas  berupa  pengecualian  bagi  negara  berkembang  dan  negara  kurang  berkembang untuk  tetap  bisa  memberikan  subsidi  perikanan  yang  terkait dengan  kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan sepanjang untuk mereka yang berpendapatan rendah, miskin sumber daya  atau  mata  pencaharian  penangkapan   ikan,   atau   terkait   kegiatan  terkait penangkapan ikan dalam jarak 12 mil laut diukur dari garis pangkal.  

Padahal, negara berkembang sudah memiliki hak berdaulat untuk mengelola sumber dayanya di dalam Zona Ekonomi Eksklusif yang telah disepakati dalam UNCLOS dan sudah seharusnya pembatasan wilayah teritorial ini tidak dapat diserahkan begitu saja dalam kesepakatan WTO. Hal ini akan berpotensi melemahkan  hak berdaulat  negara berkembang dan anggota  negara kurang berkembang.  

Nelayan  tradisional  dan  nelayan  skala  kecil  tidak  menangkap  ikan  secara  seragam  dalam perairan  teritorial,  keragaman  realitas  geografis memungkinkan  nelayan  skala  kecil  dapat dengan   mudah   melampaui   12   mil   laut   Perairan   Teritorial.   Berbagai   fakta   di   lapangan menunjukkan bahwa nelayan tradisional atau nelayan skala kecil di Indonesia selama ini telah melakukan  penangkapan  ikan  di  kawasan  tangkap  mereka  dari  generasi  ke generasi  sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Mereka menangkap ikan dalam jarak yang cukup jauh, jika diukur dari tempat tinggal mereka.  Tak jarang, mereka  melewati  sejumlah  perairan  dan pulau-pulau yang jaraknya puluhan atau ribuan mil. 

Nelayan tradisional atau nelayan skala  kecil di Pulau Wawoni’i, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi  Tenggara,  mislanya,  menangkap  ikan sampai  dengan  jarak 40 mil dari bibir pantai mereka.  Bahkan  sebagian  mereka,  menangkap  ikan,  tak  lagi  di  kawasan  perairan  0-40  mil, tetapi sudah mencapai 400 – 1400 mil dari bibir pantai Pulau Wawoni’i. Biasanya mereka menangkap ikan cakalang/tuna  di perairan di tiga lokasi, yaitu: Perairan Papua Barat (Biak), Perairan Nusa Tenggara, atau di Perairan Natuna.

Selanjutnya, sejak tahun 2009, Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan  Nomor  1  Tahun  2009  tentang  Wilayah Pengelolaan   Perikanan,  telah membagi zonasi  atau wilayah  pengelolaan  perikanan  negara  republik  Indonesia  (WPP-RI)  menjadi  11 WPP, yaitu:

1.    WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman;

2.    WPP-RI  572  Terdiri  dari  perairan  Samudera  Hindia  sebelah  Barat  Sumatera  dan  Selat Sunda;

3.    WPP-RI 573 Terdiri dari perairan Samudera  Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat;

4.    WPP-RI 711 Terdiri dari perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan;

5.    WPP-RI 712 Terdiri dari perairan Laut Jawa;

6.    WPP-RI 713 Terdiri dari perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali;

7.    WPP-RI 714 Terdiri dari perairan Teluk Tolo dan Laut Banda;

8.    WPP-RI 715 Terdiri dari perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau;

9.    WPP-RI 716 Terdiri dari perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera;

10.  WPP-RI 717 Terdiri dari perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik;

11.  WPP-RI 718 Terdiri dari perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.

Pembagian  WPP sebagaimana  tercantum  dalam Permen  KP No. 1 Tahun 2009 dimaksudkan untuk memudahkan pengelolaan potensi perikanan di perairan Indonesia sesuai dengan karakteristik  ekologisnya.  Namun,  pembagian  ini bukan  untuk  membatasi  kawasan  tangkap nelayan tradisional atau nelayan skala kecil yang selama ini telah menjadi penguasa di lautan mereka.  

b.    Pembatasan   waktu   berlakunya   fleksibilitas   subsidi   untuk   nelayan   tradisional   atau nelayan skala kecil.  

Draft teks mengusulkan fleksibilitas berupa pengecualian bagi negara berkembang dan negara kurang  berkembang  untuk  tetap  bisa  memberikan  subsidi perikanan  yang  terkait dengan kegiatan  penangkapan  ikan,  namun  dibatasi  dengan  jangka  waktu  tertentu  seperti  2 tahun, 5 tahun atau hingga 7 tahun sejak perjanjian berlaku.  

Tentunya,  fleksibilitas  dengan  batas  waktu  tertentu  ini  tidak  sesuai  dengan  mandat  SDGs dimana seharusnya  penentuan  SDT harus dibuat permanen  sebagai pengakuan  atas asimetri dalam  pembangunan  dan sumber  daya antara  negara  maju, negara  berkembang  dan negara kurang  berkembang.  Bahkan,  pembatasan  waktu  pelaksanaan  SDT hanya  akan melemahkan nelayan  tradisional  atau  nelayan  skala  kecil  negara  berkembang  dan  kurang  berkembang untuk bisa lebih maju dan sejahtera.   

Subsidi sangat diperlukan bagi kelompok rentan seperti nelayan tradisional dan nelayan skala kecil untuk mendukung kegiatan penangkapan  ikan. Namun, dalam implementasinya nelayan tradisional dan kecil baru terdistribusi sekitar 16 persen dari kemampuan subsidi Pemerintah. Karenanya  penting meningkatkan  pemberian  subsidi  bagi  nelayan tradisional dan  nelayan skala. Bukan malah mencabut subsidi tersebut.

c.     Pengecualian untuk negara maju agar tetap memberikan subsidi perikanan

Draft teks subsidi perikanan membuka ruang untuk tetap membolehkan  negara maju, seperti Uni  Eropa,  Jepang,  Norwegia,  Amerika  Serikat  dan  lainnya, bisa  memberikan  dan mempertahankan subsidi perikanan yang dilarang pada kegiatan penangkapan ikan sepanjang mereka bisa membuktikan  bahwa mereka memiliki langkah-langkah  untuk mempertahankan kapasitas perikanan tangkap yang berkelanjutan secara biologis.  

Tentunya, dengan pengaturan ini negara maju menjadi negara yang akan sangat diuntungkan dari  perjanjian  ini, karena  merekalah  yang  paling  siap  terkait dengan  manajemen kapasitas perikanan tangkapnya yang berkelanjutan. Pada akhirnya, negara maju akan mendapatkan kesempatan  lebih besar untuk melanjutkan  kegiatan  penangkapan  ikan berlebihan  ini tanpa henti dengan dukungan subsidi lebih besar lagi, termasuk mendominasi pasar.  

Tidak jarang, tindakan IUU Fishing yang dilakukan beberapa negara hasil tangkapan ikannya tersebut justru ditampung oleh negara-negara  industri besar seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Jerman, dan Inggris.1 Bila negosiasi subsidi perikanan di WTO akan tetap memberikan dan mempertahankan  negara pemberi subsidi besar dalam mensupport subsidi yang berkontribusi  pada  IUU   Fishing,   overcapacity   dan   overfishing.   Maka,   akan   mengancam keberlanjutan sumber daya perikanan di Indonesia.

Selain itu, ketentuan  ini juga menimbulkan  pertanyaan  mengenai  kewenangan  lembaga yang tepat untuk menilai dan mengukur efektivitas dan kemampuan mengelola kapasitas perikanan tangkapnya secara berkelanjutan  (Conservation  and Management  Measures),  yang selama ini dinegosiasikan di Regional Fisheries Management Organisations (RFMO). Dengan diaturnya ketentuan fisheries management semacam ini dalam perjanjian WTO tentu akan melemahkan hak negosiasi  negara  anggota  dalam  RFMO  tentang  CMM.  Dan WTO  bukanlah  badan  yang paling tepat untuk itu.

Desakan untuk Pemerintah Indonesia

Berdasarkan  penjelasan  tersebut  di  atas,  kami  organisasi    masyarakat  sipil,  kelompok  nelayan  tradisional  dan  nelayan  skala  kecil, dengan ini menyampaikan sejumlah tuntutan sebagai berikut:

1.     Pemerintah    Indonesia   harus   mengutamakan    perlindungan    dan   pemberdayaan    nelayan tradisional atau nelayan skala kecil dengan memberikan pengecualian pemberian subsidi perikanan  untuk  nelayan  tradisional  atau  nelayan  skala  kecil,  termasuk  untuk  pemberian subsidi BBM.  

2.      Mendesak  pemerintah  Indonesia  untuk  melindungi  kawasan  perairan tangkap  nelayan tradisional  atau  nelayan  skala  kecil  dari  ancaman  IUU  Fishing yang dilakukan  oleh  negara- negara asing. Selain itu, pemerintah  wajib mengevaluasi  dan menghentikan  berbagai  proyek pembangunan yang merusak kawasan tangkap nelayan tradisional atau nelayan skala kecil. Hal ini penting dilakukan dalam rangka menuju perikanan berkelanjutan.

3.     Menerapkan   pengaturan   Special   and  Differential   Treatment  (SDT)  di  dalam  teks  subsidi perikanan di WTO, khususnya untuk nelayan tradisional atau nelayan skala kecil, untuk negara berkembang dan kurang berkembang secara permanen tanpa ada batas waktu. 

4.      Tidak  membatasi  fleksibilitas  untuk  nelayan  tradisional  atau  nelayan  skala  kecil  di negara berkembang dan kurang berkembang hanya sebatas 12 mill dari bibir pantai, yang dapat berdampak   kehidupan   sosial   ekonomi   nelayan,   lebih   jauh   akan   mempersempit    ruang kebijakan pemerintah yang telah disepakati dalam  UNCLOS.  

5.      Tidak ikut menyepakati pemberian fleksibilitas untuk negara maju terkait pemberian subsidi perikanan yang dibuktikan dengan manajemen stok ikan yang berkelanjutan.  

6.      Meminta  Pemerintah  Indonesia  kembali  pada  mandat  konstitusi  UUD  1945 bahwa pemberian subsidi perikanan kepada nelayan itu wajib bagi Pemerintah Indonesia, serta mengimplementasikan kebijakan subsidi perikanan berdasarkan  Undang-Undang No. 7  Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.


1  https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-5-I-P3DI-Maret-2019-244.pdf.

Hormat kami,

Organisasi yang bertanda tangan dibawah ini:

1.     Indonesia for Global Justice (IGJ)
2.     Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
3.     Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
4.     Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
5.     Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN)
6.     Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
7.     Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN)

Kontak:
Indonesia for Global Justice Email: igj@igj.or.id  

Unduh: Pernyataan-Sikap-Bersama-Isu-Subsidi-Perikanan-di-WTOUnduh

PDF 📄
Tags: NelayanWTO
Previous Post

The Summit for Vaccines Internationalism, 18-19 Juni 2021: Akses Vaksin Berkeadilan Untuk Mengakhiri Pandemi

Next Post

Babak Baru Perundingan TRIPS Waiver, dimulainya Negosiasi Berbasis Teks

Related Posts

Babak Baru Perundingan TRIPS Waiver, dimulainya Negosiasi Berbasis Teks
Publikasi

Babak Baru Perundingan TRIPS Waiver, dimulainya Negosiasi Berbasis Teks

Juli 22, 2021
UU Cipta Kerja Disusun Tanpa Kajian Memadai Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat
Artikel

UU Cipta Kerja Disusun Tanpa Kajian Memadai Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat

Juni 18, 2021
Load More
Next Post
Babak Baru Perundingan TRIPS Waiver, dimulainya Negosiasi Berbasis Teks

Babak Baru Perundingan TRIPS Waiver, dimulainya Negosiasi Berbasis Teks

Please login to join discussion

covid-19 widget

Popular Post

  • Ahli Tekankan Pentingnya Persetujuan DPR dalam Perjanjian Internasional

    Ahli Tekankan Pentingnya Persetujuan DPR dalam Perjanjian Internasional

    2696 shares
    Share 1078 Tweet 674
  • Penghapusan Status B3 FABA dan SBE dalam PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Tinjauan Sustainable Trade

    2682 shares
    Share 1073 Tweet 671
  • Penenggelaman Kapal Asing

    2237 shares
    Share 895 Tweet 559
  • DIPLOMASI VAKSIN COVID-19 INDONESIA: “Tantangan Akses Publik Atas Vaksin dan Layanan Kesehatan Berkeadilan”

    1195 shares
    Share 478 Tweet 299
  • Isu Lingkungan Hidup dan Iklim di WTO: Untungkan Negara Maju, Rugikan Negara Berkembang

    1153 shares
    Share 461 Tweet 288
  • PERDAGANGAN & INVESTASI
  • BISNIS & HAM
  • DIGITAL EKONOMI
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • ARTICLE MONITORING
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
  • id Indonesia
  • en English

Indonesia For Global Justice© 2020

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used.