Jakarta (ANTARA News) – Penunjukan Roberto Azevedo dari Brazil untuk mengambil alih pucuk kepemimpinan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tampaknya tidak akan mengakhiri adu argumen dalam tataran perdagangan global.
Sang diplomat karir asal Brazil, Roberto Azavedo, mengalahkan mantan juru runding pedagangan Meksiko, Herminio Blanco, untuk menggantikan Pascal Lamy dari Prancis sebagai Ketua WTO yang berbasis di Jenewa.
Azevedo, 55 tahun, adalah negosiator yang berpengalaman dan pembangun konsensus di WTO, dan statusnya sebagai “orang dalam” tampaknya telah membantu memenangkan pertarungan tersebut.
Ia telah menjadi duta besar Brazil untuk WTO sejak 2008, setelah bekerja sebagai seorang kepala litigator dalam sengketa perdagangan tingkat tinggi, membuatnya sangat baik ditempatkan untuk menavigasi sistem untuk mencoba menghapus kebuntuan “Putaran Doha”.
Putaran Doha yang diluncurkan pada pertemuan puncak di Qatar pada 2001 bertujuan untuk membuka pasar dan menghapus hambatan perdagangan seperti subsidi serta pajak dan peraturan yang berlebihan, guna memanfaatkan perdagangan internasional bagi pembangunan negara-negara miskin.
Tetapi konsesi yang dibutuhkan telah memicu bentrokan terutama antara China, Uni Eropa sekarang Rusia, India, dan Amerika Serikat.
Sebagai litigator Brazil, Azevedo bersitegang dengan Uni Eropa dan AS atas subsidi untuk para pembuat pesawat dan produsen kapas, meskipun Brazil juga telah dituduh melakukan proteksi oleh mitra dagangnya.
Azevedo baru-baru ini menegaskan bahwa sebagai pemimpin WTO, ia tidak akan menjadi alat permainan Brazil.
“Jika saya terpilih, saya tidak akan berada di sana membela kepentingan Brazil,” katanya kepada AFP.
Lembaga penyiaran internasional asal Jerman, Deutsche Welle (DW) menganalisis, WTO terancam akan jatuh kepada keadaan ketidakjelasan karena tidak mampu mengatasi perbedaan di antara anggotanya.
Menurut DW, para pakar perdagangan skeptis bahwa siapa pun yang akan menjadi pemimpin WTO akan dapat menerapkan persatuan dalam lembaga global tersebut.
“Siapa pun yang memimpin WTO sangat bergantung kepada kebijakan dan sikap para anggotanya,” kata Ekonom Kiel Institut, Rolf J. Langhammer, kepada DW.
Liberalisasi perdagangan internasional
WTO adalah organisasi yang dibentuk pada 1 Januari 1995, berdasarkan Perjanjian Marrakesh, yang bertujuan mengganti lembaga General Agreement on Tariffs and Trade (GATT, terbentuk sejak 1948) dalam mengawasi dan meliberalisasi perdagangan internasional.
Organisasi tersebut berurusan dengan regulasi perdagangan di antara beragam negara yang berpartisipasi, dan bertugas menyediakan kerangka perundingan dan memformalisasi perjanjian-perjanjian perdagangan, serta mengatasi perselisihan dalam proses peembuatan resolusi yang selaras dengan perjanjian WTO.
Saat ini, WTO sedang “pusing kepala” karena sibuk membahas tentang Putaran Doha karena besarnya perbedaan kebijakan pertanian di antara negara-negara anggota.
Salah satu perbedaan yang diperdebatkan adalah keengganan negara-negara maju untuk meninggalkan kebijakan subsidi pertaniannya, dan di sisi lain, negara-negara berkembang juga tetap mempertahankan tarif impor untuk memproteksi pasar nasional mereka.
Konflik terkait dengan Putaran Doha juga berimbas kepada sektor lainnya di luar pertanian seperti pergerakan perdagangan antara jasa dan barang-barang industri.
Sebagai hasil dari kebuntuan Putaran Doha, sejumlah negara tetangga telah saling membicarakan perjanjian perdagangan antara mereka sendiri secara regional.
Contohnya, pada Februari 2013, Amerika Serikat dan Uni Eropa telah mengumumkan bahwa mereka akan segera membicarakan Zona Perdagangan Bebas Transatlantik.
Namun, Rolf Langhammer menyatakan bahwa perjanjian perdagangan regional seperti itu biasanya dimaksudkan untuk memproteksi pasar dibanding membuka mereka.
Hal tersebut terutama bertujuan untuk menjaga agar produk-produk khususnya dari China tidak dapat masuk dengan leluasa ke dalam kawasan perdagangan regional tersebut.
Posisi China
Sementara itu, situs berita bisnis global, Forbes melaporkan bahwa pemimpin WTO yang baru, Roberto Azevedo, disinyalir akan menunjuk perwakilan dari China untuk menempati salah satu dari empat posisi wakil direktur di organisasi tersebut.
Isu tersebut berhembus karena salah satu manuver yang dilakukan pihak Brazil agar China mau mendukung Azevedo adalah dengan memberikan China posisi penting.
Sedangkan media massa dari Amerika Serikat, Wall Street Journal (WSJ) melaporkan bahwa WTO mengalami “masa penurunan” karena organisasi tersebut kini hanya menjadi semacam “pengamat” dari berbagai pakta perjanjian perdagangan, baik secara regional maupun bilateral.
“Saya kira WTO pada titik ini tidak dalam kondisi yang baik. Ini seakan-akan seperti Direktur Jenderal berikutnya terpaksa harus melakukan operasi terhadap pasien yang sangat sakit di meja operasi,” kata Azevedo sebagaimana dikutip WSJ.
WSJ mengingatkan bahwa berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF), Brazil yang merupakan negara asal Azevedo merupakan negara yang kebijakan perdagangannya paling proteksionis di benua Amerika.
Dengan demikian, bila Azevedo mengikuti kebijakan negara Brazil dan menerapkannya dalam WTO, maka diperkirakan organisasi tersebut akan menjadi kurang relevan dari tujuan utamanya yaitu liberalisasi.
Namun, Presiden Brazil, Dilma Rousseff, sebagaimana dikutip kantor berita Prancis AFP, memuji terpilihnya Azevedo dan mengatakan itu akan membantu membawa tatanan ekonomi dunia “lebih dinamis dan adil”.
“Ketika mengajukan pencalonannya, Brazil menjelaskan bahwa dengan pengalaman dan komitmennya, Azevedo bisa mengarahkan organisasi dalam arah tatanan ekonomi dunia yang lebih dinamis dan adil,” kata Rousseff.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengharapkan Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terpilih Roberto Azevedo mampu menyumbangkan kompetensinya dalam menjembatani kepentingan negara maju dan berkembang dalam perundingan di organisasi tersebut.
Menurut Gita kepada wartawan di Jakarta, Rabu (8/5), mengingat Azevedo berasal dari Brasil yang merupakan negara berkembang, maka seharusnya dia bisa merasakan dan merangkul kepentingan negara-negara berkembang dan miskin dalam berunding dengan negara maju di pertemuan organisasi perdagangan internasional itu.
Indonesia jangan dilemahkan
Sedangkan LSM Indonesia Global Justice (IGJ) menginginkan agar Republik Indonesia jangan sampai mau dilemahkan oleh berbagai aturan yang dikeluarkan WTO.
“Kita perlu melakukan reformasi kelembagaan WTO. Persoalan sesungguhnya ada pada watak dan karakter bawaan kelembagaan WTO yang dengan sengaja melemahkan peran negara berdaulat, seperti Indonesia,” kata Direktur Eksekutif IGJ M. Riza Damanik, Jumat (10/5).
Menurut Riza, terpilihnya Roberto Azevedo dari Brasil sebagai Direktur Jenderal WTO yang baru bukan merupakan sinyal yang baik bagi kesejahteraan dunia.
Ia berpendapat bahwa hal tersebut karena persoalan di lembaga perdagangan tersebut bukanlah masalah kepemimpinan atau proses demokratisasi dalam pengambilan keputusan.
Namun, ujar dia, persoalan terletak pada lembaga tersebut yang memperkuat pengaruh negara-negara industri dan perusahaan multinasional serta lembaga keuangan multilateral dalam mengendalikan sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Sistem perdagangan multilateral tidak lagi menjadi solusi karena terbukti telah merugikan negara berkembang dan negara miskin,” katanya.
Ia juga mengatakan,”Bagi Indonesia, keterlibatan dalam WTO justru memperparah ketergantungan kita pada produk pangan impor”.
Riza mengingatkan bahwa hingga tahun 2012 nilai impor pangan Indonesia telah mencapai lebih dari 17 miliar dolar AS, atau meningkat 100 persen lebih dibanding data 2009.
Indonesia telah terpilih untuk menjadi tuan rumah berlangsungnya Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 WTO yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 3–6 Desember 2013.
Negara-negara anggota WTO diperkirakan bakal mendorong lahirnya kesepakatan Paket Bali (Bali Package) yang mencakup soal isu fasilitasi perdagangan, negara-negara miskin, dan sektor pertanian.
IGJ menyatakan bahwa Paket Bali masih akan terus memperkuat dominasi pengaruh negara-negara maju dan perusahaan multinasional terhadap sebagian negara lainnya.
“Posisi Indonesia sebagai tuan rumah yang tentunya dapat lebih leluasa memainkan peran diplomasinya sejak awal,” ujar Riza.