Bertemu dengan masyarakat yang kehidupannya langsung bergantung kepada pertanian di daerah ternyata dapat memperkaya perspektif saya tentang dampak yang dirasakan oleh petani yang diakibatkan oleh perjanjian perdagangan di tingkat global. Permasalahan yang mereka hadapi ternyata tidak kalah kompleksnya dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan.
Pada tanggal 27-28 Maret 2013, beberapa organisasi masyarakat yang dikoordinir oleh FIELD Indonesia (Farmer’s Initiative for Ecological Livelihoods and Democracy) melakukan forum silaturahmi temu produsen pangan skala kecil yang terdiri dari petani dan nelayan di Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Beberapa diskusi yang dilakukan terkait dengan : Penguatan dan Pengembangan Usaha Pangan Petani dan Nelayan, Penguatan sistem benih petani dan Perkoperasian di tingkat Petani dan Nelayan.
Salah seorang petani yang saya temui adalah Pak Karsinah (80 tahun) seorang petani penggarap dan pemulia benih. Pak Karsinah telah melakukan pemuliaan benih separuh hidupnya dan kepandaian ini telah diwariskannya secara turun termurun. Dia berharap kepandaiannya ini bisa diturunkan kepada generasi penerus di Kertasemaya, tetapi ternyata harapannya harus pupus disebabkan adanya aturan yang tidak membiarkan petani untuk melakukan pemuliaan benih dan mendistribusikannya, bahkan dalam skala kecil sekalipun.
Kabupaten Indramayu adalah salah satu daerah di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai Petani. Mereka adalah pelaku produksi bahan pangan skala kecil yang menghasilkan benih padi dan mengkonsumsinya sendiri. Selain bertani, banyak diantara mereka yang juga merangkap sebagai peternak. Pekerjaan multitasking ini sudah mereka jalani untuk dapat mencukupi kehidupan keluarganya.
Disamping pertanian, juga ada kelompok masyarakat yang terletak di pesisir Indramayu yang berprofesi sebagai nelayan. Mereka melakukan usaha nelayan baik di perairan maupun pengelolaan tambak. Basis nelayan di Indramayu cukup kuat, berdasarkan informasi dari nelayan, mereka telah mempunyai Kelompok Usaha Bersama (KUB). KUB ini berfungsi sebagai wadah bagi para nelayan untuk mengumpulkan ikan dan kemudian dilelang. Sistem kelompok yang mereka punyai ini terbukti dapat memberikan kesejahteraan kepada para anggotanya karena menghindarkan mereka untuk menjual ikan kepada tengkulak dengan harga yang murah.
Petani dan Nelayan ini mungkin tidak tahu apa yang disebut dengan World Trade Organization (WTO). Organisasi perdagangan tingkat internasional yang tahun ini akan melaksanakan pertemuan di Bali. Namun dampak aturan yang dibuat oleh WTO ini secara langsung dirasakan oleh para petani dan nelayan ini. Bagi para petani, yang nyata mereka rasakan adalah melalui UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (SBT). Melalui UU ini, pemerintah telah membatasi kreativitas mereka dalam melakukan pemuliaan benih. Tidak hanya dalam melakukan pemulian benih, aturan ini juga mengontrol proses distribusinya.
UU 12/1992 adalah aturan yang diturunkan langsung dari Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs). Di dalam aturan ini mengatur tentang hak atas kekayaan intelektual bagi Negara yang tergabung di dalam WTO. Sebagai konsekuensinya, Indonesia wajib memberikan perlindungan terhadap varietas tanaman yang berada di wilayahnya.
Pemerintah seakan tidak tahu ada petani yang ternyata bisa menghasilkan varietas tanaman yang lebih baik daripada yang dihasilkan oleh perusahaan besar seperti : Monsanto dan Syngenta. Seorang petani pemulia benih bernama Joharifin (56 tahun) telah berhasil menemukan varietas benih padi yang dia namakan dengan varietas “Alhamdulillah”. Nama ini menurutnya terinspirasi karena pada saat musim paceklik, hanya benih padi tersebut yang mampu bertahan. Varietas ini terus dia kembangkan dan Pak Joharifin juga mendistribusikan kepada sesama petani di Kertasemaya. Tidak ada kecurigaan bahwa benih tersebut akan disalahgunakan oleh orang lain. Justru merupakan suatu kebanggaan bagi dirinya karena orang lain juga dapat memanfaatkan apa yang dia kembangkan. Masyarakat petani dan nelayan pada kenyataannya dapat hidup dengan sistem pengetahuan dan usaha yang mereka buat sendiri. Tetapi aturan-aturan yang masuk telah menekan dan menjadikan mereka asing dengan kesehariannya. (Rika)