Jakarta, 16 Maret 2015. Berkaitan dengan proses review BITs yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, Indonesia for Global Justice (IGJ) bersama-sama dengan beberapa organisasi masyarakat sipil melakukan pertemuan dengan Kementerian Luar Negeri yang diterima oleh Direktur Perjanjian Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kementerian Luar Negeri, Abdulkadir Jailani, dan dua stafnya.
Dalam dialog tersebut, Abdulkadir menegaskan komitmen pemerintah Indonesia untuk terus melakukan assesment dan merevisi perjanjian investasi internasional yang telah ditandatangani dengan berbagai negara. Hal tersebut dilakukan untuk mengedepankan kepentingan nasional. Abdulkadir mengakui bahwa dengan adanya BITs Negara telah kehilangan kedaulatannya. Pemerintah Indonesia saat ini kesulitan untuk membuat kebijakan dan peraturan perundang- undangan yang menekankan pada perlindungan kepentingan nasional.
Penandatanganan perjanjian investasi dan perdagangan internasional telah menutup kemungkinan Indonesia memiliki policy space yang cukup luas untuk mengatur hal-hal yang sifatnya memberikan perlindungan terhadap kepentingan nasional. Hingga Maret 2015 ini, Indonesia telah membatalkan sebanyak 18 Bilateral Investment Treaties (BITs) yakni: Belanda, Bulgaria, Italia, Korea Selatan, Malaysia, Mesir, Slovakia, Spanyol, China, Kyrgystan, Laos, Perancis, Kamboja, India, Norwegia, Romania, Turki, dan Vietnam.
Abdulkadir berpendapat bahwa tanpa BITs, Indonesia tidak akan kehilangan potensi investasi. Beliau ragu bahwa BITs akan mendatangkan investasi dari negara peserta. “contohnya, Investor AS banyak menanamkan modal di Indonesia walaupun tanpa BIT, demikian juga dengan investor Jepang yang banyak menanamkan modal sebelum IJEPA ditandatangani’.
Dalam diskusi, mengemuka kekhawatiran bab investasi yang serupa dengan BITs di dalam Free Trade Agreement (FTA) yang telah ditandatangani oleh Pemerintah. Saat ini, sedang dirundingkan RCEP[i]) yang didalamnya juga terdapat bab investasi. Menurut Abdulkadir, FTA adalah salah satu tantangan dalam proses revisi perjanjian investasi. Hal ini karena bab investasi dalam FTA yang telah dirundingkan sulit untuk direvisi ataupun dihentikan. Karena, ini adalah ‘satu paket’ perjanjian, yang tidak bisa dihentikan di salah satu bab saja. Sementara itu, menghentikan proses perundingan atas FTA yang masih berlangsung cukup sulit karena FTA seringkali dimulai dari komitmen politik. Mengenai hal ini, Abdulkadir berpendapat bahwa negosiator perlu strategi tepat dalam menghilangkan bab investasi dalam FTA, misalnya dalam bab investasi dapat hanya mengatur Promosi dan bukan Proteksi.
Kekhawatiran lain yang muncul adalah keberadaan UU Penanaman Modal no. 25/2007 yang juga memberikan perlakuan yang sama dan memberi peluang investor menggugat pemerintah di ICSID. Sehingga walaupun BITs dihentikan, maka peluang Indonesia digugat tetap ada karena UU Penanaman Modal tetap berlaku bagi investor. Selain itu, kehadiran ‘Survival Clause’ juga tidak menghentikan perlindungan bagi investor walaupun BITs telah dihentikan, dan biasanya berlaku antara 10 hingga 15 tahun setelah dihentikan.
Menurutnya, kedepan tidak menutup kemungkinan Indonesia akan kembali digugat akibat ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu: antara kebijakan nasional dan kebijakan pemerintah lokal. Peraturan yang tumpang tindih tersebut berpotensi timbulnya gugatan di arbitrase. Misalnya UU Hortikultura mengatur tentang pembatasan investasi asing hingga 30% untuk perbenihan, tetapi dalam peraturan lain membolehkan investasi asing lebih dari 90%.
Bahkan, pembatalan UU no.7/2004 mengenai Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi pada Februari yang lalu, terkait dengan kontrak pengelolaan air yang telah diberikan kepada perusahaan multinasional akan menimbulkan dampak serupa. Hexa dari KruHa, menceritakan kasus gugatan masyarakat sipil di pengadilan negeri Jakarta Selatan yang berupaya mengembalikan pengelolaan air di Jakarta ke pemerintah lokal. Namun, beberapa staf dari Pemda justru mengkhawatirkan gugatan arbitrase internasional dari pemegang hak, yaitu Palyja dan Aetra. “Ini contoh bagaimana BIT menjadi lebih berkuasa (overriding) dari keputusan pengadilan nasional bahkan Mahkamah Konstitusi’ kata Bapak Kadir.
Di akhir pertemuan, kelompok masyarakat sipil berharap dialog mengenai isu perjanjian investasi dengan Kementrian Luar Negeri terus berlangsung. Dan tidak hanya dengan Kementerian Luar Negeri, disadari pentingnya diseminasi informasi yang lebih luas mengenai FTA, BIT dan perjanjian internasional perlu terus dilakukan khususnya kepada anggota DPR, akademisi, pemerintah lokal dan lainya.***
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Rachmi Hertanti: rachmihertanti@gmail.com
Rika Febriani: febriani.febriani@gmail.com
Atau ke Sekretariat IGJ: igj@igj.or.id / www.igj.or.id
[i] Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), FTA antara ASEAN dengan 6 negara mitra ekonominya, yakni Australia, New Zealand, China, Jepang, Korea Selatan, dan India. Dalam perundingan RCEP yang dilakukan di Thailand pada Februari 2015, kutipan sebuah media menyebutkan pemerintah Indonesia menyatakan menolak ISDS.