Genap sudah separuh tahun Kabinet Kerja Jokowi-JK mendeklarasikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hantaman globalisasi seakan tak terhindarkan dan menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan kesiapan dari segala hal. Tengok misalkan, Perjanjian Indonesia dengan Jepang (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement/IJEPA) yang telah diratifikasi ke dalam Perpres No.36 Tahun 2008. Dampaknya, sektor perikanan Indonesia menjadi komoditas yang strategis untuk “dipermainkan”.
Lawan yang Tak Imbang
Arus bebas barang, jasa, modal, dan tenaga kerja akan semakin menggerus kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber daya. Termasuk di dalamnya adalah Sektor Perikanan. Terdapat dua pasal dalam Agreement Between Japan and Republic of Indonesia for An Economic Partnership yang secara tersurat tampak fair, namun faktanya menyengsarakan Indonesia. Pasal 22 tentang subsidi ekspor dan pasal 23 tentang aturan non tarif, menjadi instrumen hukum yang tidak seimbang untuk diterapkan. IJEPA melarang adanya dukungan negara (subsidi) terhadap pengusaha domestik dalam usaha ekspor dan IJEPA melarang adanya aturan tarif terhadap produk impor.
Tampak jelas bahwa Jepang mendapatkan profit yang lebih banyak ketimbang Indonesia. Pertama, Jepang medapatkan pasokan sumberdaya perikanan yang murah dari Indonesia. Kedua, pasokan sumberdaya ikan yang murah sebagai faktor produksi, akan menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dengan lebih efisien. Ketiga, Jepang sebagai negara industri maju, telah memiliki konsumen yang besar di Indonesia yang merupakan negara berkembang .
Sebaliknya, Indonesia hanya menjadi eksportir bahan mentah yang rendah nilai tambah ekonomi. Selain itu, membanjirnya produk olahan perikanan, otomotif dan teknologi dari Jepang dengan bebas hambatan (non tarif) menjadi penyebab kelesuan industri domestik. Modalitas domestik tak mampu bersaing dengan Jepang, dan negara belum mampu untuk mendayagunakannya.
Pemerintah seharusnya mengambil sikap atas liberalisasi dan eksploitasi sumberdaya perikanan Indonesia. Jepang sebagai negara pengimpor ikan terbesar dunia, mesti membutuhkan Indonesia sebagai produsen ikan terbesar ketiga dunia. Terlebih, produksi ikan tuna Indonesia menunjukkan tren yang semakin meningkat dalam lima tahun terakhir. Historis menjadi jajahan Jepang, seharusnya tak kemudian mendarah daging ke dalam politik luar negeri (polugri) kita. Atas apapun alasannya, Republik ini sangat kaya akan sumber daya alam. Tak elok pemerintah hari ini yang menancapkan Trisakti di dalam platform pemerintahannya, justru menelan ludah sendiri dengan berdiri di atas kaki orang lain.
Kualitas SDM
Rendahnya tingkat pendidikan, memberi andil besar terhadap kinerja sektor perikanan. Jumlah nelayan tradisional (skala kecil) yang mendominasi hampir 90 persen dari keseluruhan nelayan Indonesia, menjadi tantangan yang wajib segera dijawab oleh Kabinet Kerja. Cukup sudah “festivalisasi” penenggelaman kapal sebagai bentuk kampanye anti illegal fishing. Bersegera untuk melindungi dan memberdayakan nelayan skala kecil, memberi keseimbangan arti perwujudan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Poros ini tak akan bergerak, jika roda-rodanya rapuh dan tak mampu berputar.
Kehadiran negara adalah memfasilitasi mereka agar mampu menjadi aktor pembangunan perikanan. Agar terlepas dari jeratan sebagai buruh dan terpasung dalam jebakan kuasa modal. Terlebih, keadilan gender merupakan aspek yang penting untuk juga diperhatikan. Perempuan nelayan, sebagai pengolah hasil perikanan, menjadi unit potensial dalam menghasilkan nilai tambah ekonomi perikanan.
Lebih jauh, perlu dilakukan evaluasi keberadaan kelompok usaha bersama yang menjadi wadah penampung Bantuan Sosial (bansos), hingga kini apakah telah mengalami peningkatan kapasitas dan kapabilitas? Selayaknya kemudian ditingkatkan kapasitasnya menjadi berbadan hukum agar mampu menghadapi mekanisme pasar. Koperasi menjadi salah satu contoh model manajemen kelompok usaha nelayan, pembudidaya, dan pengolah hasil perikanan yang familiar dengan kebudayan di Indonesia.
Keberadaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bidang Kelautan dan Perikanan menjadi garda depan tenaga kerja terampil dan terdidik dalam membangun sektor perikanan, terutama di industri pengolahan hasil perikanan, yang kini baru 10 persen tenaga kerja yang bergerak di sana. Jauh ketimbang tenaga kerja di perikanan tangkap yang mencapai sekitar 54 persen.
Instrumen perlindungan dan pemberdayaan sebagai wujud hadirnya negara harus segera ditunaikan. Bertambahnya masa reses DPR RI sebagai lembaga negara pembuat Undang-Undang menjadi penghambat produktivitas dalam menciptakan produk legislasi. RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dalam Program Legislasi Nasional jangan sampai menjadi hutang di masa sidang berikutnya.
Penguatan Domestik
Arus globalisasi yang tak bisa terhindarkan, membutuhkan penguatan produk-produk domestik dan diplomasi Indonesia. Penguatan produk domestik menjadi satu paket dalam peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM kelautan dan perikanan. Inovasi pengelolaan daerah menjadi kunci keunggulan kompetitif. Sedangkan diplomasi harus difokuskan untuk menjaga subsidi ekspor perikanan. Disinilah kerja diplomasi Thailand telah terbukti mampu mempertahankan subsidi ekspor perikanannya terhadap Jepang. Mengapa Indonesia tidak?
Jika terminologi ekonomi maritim itu terdiri dari tujuh aktivitas (Perikanan, ESDM, Industri Maritim, Bangunan Kelautan, Perhubungan/Angkutan Laut, Jasa Kelautan, dan Wisata Bahari) , maka perlu dipilih dan dipilah sektor mana yang menjadi unggulan dalam kerangka perwujudan poros maritim dunia. Wisata bahari misalnya, Indonesia tidak kurang dengan anugerah (endowment factor) yang dimilikinya. Kajian Kusumastanto (2001) menunjukkan nilai ekonomi total suatu pulau kecil di Indonesia bila akan dikembangkan untuk kawasan wisata mempunyai nilai sebesar US $ 52.809,37 per Hektar. Cukup beralasan, apabila pariwisata bahari dikerjakan dengan serius, ditambah dengan nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang merupakan angka keefisiensian sebuah Investasi di pariwisata bahari adalah paling baik diantara sektor kelautan lainnya.
Pengalaman lampau, terlalu banyak prioritas pembangunan namun tidak memunculkan ke khasan Indonesia sebagai pelaku ekonomi yang handal. Justru yang muncul adalah Indonesia sebagai pemasok bahan mentah sumber daya alam bagi negara lain, dan kemudian menjadi pasar potensial dari produk olahan tersebut.
Sangatlah mudah membuat yang baru, namun tidaklah mudah untuk memperbaikinya. Penguatan domestik dan polugri adalah syarat mutlak menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Modal domestik kita tidaklah kurang, tergantung kepercayaan diri pemimpin negeri ini dalam mewujudkannya. Mampu kah?
Penulis:
Niko Amrullah , Peneliti di Indonesia for Global Justice (IGJ)