Diskusi pembahasan Undang-undang Perjanjian Internasional
Pengikatan Indonesia dalam perjanjian Internasional
20 Januari 2017, Indonesia for Global Justice menyelenggarakan“Diskusi Kelompok Terfokus” (Focus Group Discussion) untuk mereview hasil penelitian yang dilakukan terkait dengan Perjanjian Internasional. Diskusi yang diselenggarakan di bilangan Kalibata tersebut dihadiri peneliti IGJ Irfan Hutagalung sebagai narasumber serta penanggap dari Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Dr. iur. Damos Dumoli Agusman SH. MA.
Dalam diskusi Irfan Hutagalung memaparkan hasil penelitiannya terkait keterikatan Indonesia kepada perjanjian internasional, hukum kebiasaan Internasional, dan permasalahan dalam pengesahan perjanjian internasional. Menurutnya keterikatan Indonesia dengan perjanjian internasional sudah diatur didalam Pasal 3 Undang-Undang No.24/2000 tentang Perjanjian Internasional dan Pasal 11 Konvensi Wina tentang tahapan perjanjian internasional : (1). Penandatanganan; (2). Pengesahan; (3). Pertukaran dokumen/nota diplomatik; (4). Cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional. Sedangkan untuk keterikatan terhadap kebiasaan internasional dilakukan melalui: (1). Kebiasaan yang dipraktikan secara luas; (2). Kebiasaan itu dilakukan sebagai suatu kewajiban hukum (opinio juris); (3). Bukan persistent objector.
Lebih lanjut Irfan mengatakan permasalahan dalam proses keterikatan Indonesia kedalam satu perjanjian berasal dari Pasal 10 dan 11 UU No.24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang terbagi ke dalam dua hal, Pertama, perjanjian internasional yang harus disahkan dengan undang-undang yang berkenaan dengan: (1) Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; (2) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; (3) Kedaulatan atau hak berdaulat negara; (4) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; (5) Pembentukan kaidah hukum baru; (6) Pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Kedua, perjanjian internasional berkenaan selain yang tertera di atas, yang dapat disahkan dengan keputusan presiden saja namun tetap harus dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2)
Menurut Irfan, hal tersebut tidak dapat diklasifikasikan begitu saja, karena belum tentu semua perjanjian yang tidak berkenaan dengan yang tertera di dalam Pasal 10 tersebut materi muatannya tidak berkenaan dengan hal yang diatur dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional, sehingga seharusnya mendapat persetujuan dari DPR. Begitupun sebaliknya tidak semua perjanjian internasional yang berkenaan dengan hal tersebut perlu persetujuan dari DPRN dalam bentuk Undang-Undang, karena belum tentu materi muatan dari perjanjian tersebut berisi hal-hal yang tertera dalam undang-undang. Bisa saja materi muatan hanyalah terkait hal-hal teknis yang seharusnya tidak memerlukan persetujuan DPR, sehingga dapat disimpulkan tidak selamanya topik strategis yang tertera di dalam pasal 10 merupakan topik penting yang memerlukan persetujuan DPR, ataupun sebaliknya. Hal ini memperlihatkan bagaimana pengimplementasian dari perjanjian internasional yang tidak konsisten.
Permasalahan selanjutnya terkait pembatalan perjanjian internasional yang tidak dapat mengacu pada peraturan nasional. Pembatalan perjanjian internasional haruslah mengacu pada isi perjanjian itu sendiri atau mengacu pada Konvensi Wina. Namun adanya ratifikasi DPR dalam bentuk UU, sejatinya akan menjadi sebuah pertanyaan besar ketika UU ratifikasi yang menyetujui perjanjian internasional tersebut kemudian dibatalkan melalui Mahkamah Konstitusi.
Dari penelitianya Irfan Hutagalung melihat solusi yang bisa diambil yaitu Pertama, penguatan dan partisipasi DPR yang dilakukan melalui kewajiban pemerintah melapor kepada DPR terkait pembuatan perjanjian internasional, kedua kewajiban bagi DPR untuk memberikan persetujuan dalam bentuk ratifikasi UU untuk hal yang tertera dalam pasal 84 ayat 3a UU No. 7 tahun 2014 tentang perdagangan, dan kewenangan penafsiran bentuk pengesahan atau persetujuan. DPR harus terlibat dari dari awal proses sehingga mengetahui posisi dan kewenanganya dalam sebuah perjanjian internasional.
Menanggapi hal tersebut, Dr. iur. Damos Dumoli Agusman menyampaikan bahwa ketika suatu negara menyatakan terikat pada Hukum Internasional maka saat itulah negara tidak bisa lagi memperbincangkan kedaulatannya, sebagaimana menurut PCID Wimbledon Case 1923 bahwa “Treaty creates restriction upon the exercise of sovereignity, buttheright of entering into treaty is an attribute of state sovereignity”. Hal ini tentunya akan menjadi masalah ketika berhadapan dengan UUD 1945 yang didalamnya sangat menjunjung kedaulatan negara.
Selanjutnya Damos menjelaskan bahwa bentuk dari perjanjian Internasional bersifat transformasi dan implementasi. Konteks implementasi terjadi ketika suatu negara yang terikat perjanjian internasional maka secara otomatis perjanjian tersebut dianggap sebagai bagian dari hukum nasional. Sedangkan dalam konteks transformasi, paska Negara menyepakati perjanjian internasional maka negara tersebut harus mengkonversi terlebih dahulu menjad iundang-undang, sehingga yang menjadi rujukan adalah UU yang dihasilkan bukan perjanjianinternasionalnya.
Terkait pertanyaan tentang pengujian undang-undang ratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi, Damos menyatakan mengacu pada kasus Judicial Review (JR) Undang-Undang No.38 tahun 2008 tentang pengesahan Charter of the Association of Southeast Asians Nations, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.33/PUU-IX/2011 terdapat dua dissenting opinion dari hakim konstitusi Hamdan Zoelva dan Maria Farida Indrati. Mereka berpendapat bahwa MK tidak berwenang untuk mengadili pengujian undang-undang tersebut karena sejatinya undang-undang ratifikasi tidaklah mengesahkan perjanjian ASEAN Charter melainkan hanya bentuk persetujuan dari DPR terkait keikutsertaan Indonesia pada ASEAN Charter dan tidak mengikat negara-negara lain.
Terkait dengan undang-undang perdagangan memang sampai saat ini masih ada masalah pada bagian perdagangan internasional dan masih menggunakan undang-undang perjanjian internasional, sehingga untuk mengatasi masalah-masalah mulai dari klasifikasi materi hingga lingkup perjanjian perlu dibentuk post office yang bertugas memilah jenis perjanjian internasional yang membutuhkan keputusan presiden saja atau yang membutuhkan persetujuan DPR dalam pengesahannya.