LEMBAGA Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan perjanjian perdagangan bebas global tidak memberikan perlindungan kepada petani nasional sehingga sudah seharusnya pemerintah tidak lagi membahas hal tersebut.
“Perjanjian perdagangan bebas dan skema penyelesaian sengketanya di WTO tidak dibuat untuk memberi perlindungan dan keadilan bagi petani Indonesia,” kata Direktur IGJ Rachmi Hertanti di Jakarta, Selasa (21/11).
Menurut Rachmi, indikasi hal itu dapat dilihat dari kekalahan Indonesia di badan banding WTO terkait tudingan Amerika Serikat dan Selandia Baru yang tidak setuju kepada kebijakan pembatasan impor RI.
WTO memutuskan bahwa tindakan Indonesia atas kebijakan pembatasan impor hortikultura, produk hewan dan turunannya tidak konsisten dengan aturan GATT 1944 mengenai penghilangan hambatan perdagangan global.
“Tentunya kekalahan Indonesia dalam kasus ini akan membawa dampak besar terhadap kebijakan pangan di Indonesia. Penyesuaian kebijakan pangan Indonesia dengan aturan GATT 1994 akan bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan dan merampas kesejahteraan petani,” ujar Rachmi Hertanti.
Ia memaparkan, sesuai aturan WTO, maka Indonesia wajib segera melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya dengan aturan GATT dalam jangka waktu yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika tidak dilakukan, maka Indonesia harus memberikan kompensasi kepada Selandia Baru dan Amerika Serikat yang besarannya disepakati bersama.
Bila tidak tercapai kesepakatan mengenai bentuk atau besaran kompensasi, kedua negara tersebut dapat meminta kepada WTO untuk mengajukan retaliasi atau tindakan balasan terhadap Indonesia.
Untuk itu, ujar dia, pemerintahan Indonesia harus memprioritaskan kepentingan petani kecil dalam perundingan isu pertanian global, termasuk yang terkait dengan WTO.
Sementara itu, Achmad Yakub dari Bina Desa mengingatkan tidak mungkin menyerahkan kepentingan pangan sebagai keamanan nasional ke mekanisme perjanjian WTO yang dikenal sangat propasar, merugikan petani dan ekonomi
bangsa Indonesia secara mendasar.
“Mengingat pengalaman puluhan tahun perundingan di WTO yang tidak produktif, sudah selayaknya pemerintah Indonesia mendorong kerja sama alternatif yang berkeadilan sosial,” kata Achmad Yakub.
Sebelumnya, lembaga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran bagi berbagai program yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan para petani. “Pemerintah sebaiknya mengalokasikan ulang anggaran untuk program perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Sejahtra (KIS) dan kartu Indonesia Pintar (KIP),” kata Kepala Bagian Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi.
Menurut Hizkia, anggaran untuk benih, pupuk dan beras subsidi cukup besar senilai Rp52 triliun, atau dua kali lipat dari ketiga program sebelumnya. Pemerintah, lanjutnya, dinilai juga dapat menerapkan program yaitu Asuransi Pertanian untuk Petani Padi (AUTP). “Asuransi ini bertujuan untuk mengompensasi kehilangan pendapatan petani akibat gagal panen yang disebabkan oleh banjir, kekeringan, hama maupun penyakit tanaman,” ucapnya.(Ant/OL-3)
Sumber : http://mediaindonesia.com/news/read/133074/perjanjian-perdagangan-bebas-tidak-beri-perlindungan-petani/2017-11-21