Cegah permainan data produksi pertanian dengan tujuan meloloskan impor pangan.
Kebijakan HET mematikan petani kecil yang kalah bersaing dengan importir pangan.
JAKARTA – Sektor pertanian Indonesia dinilai susah berkembang, bahkan terus mundur, karena kebijakan pangan nasional tidak berdasar data yang kuat dan mengikat semua pemangku kepentingan (stakeholder).
Sebab, tanpa data yang bisa dipercaya, kebijakan yang diambil akan cenderung bias pada kepentingan pengambil kebijakan. Ini terutama bisa terlihat pada upaya pihak tertentu mempermainkan data produksi pangan demi meloloskan impor sehingga mematikan petani nasional.
Guru Besar Teknologi Pertanian UGM, Sigit Supadmo Arif, mengemukakan hal itu ketika dihubungi, Senin (11/12). Sigit mengatakan persoalan data produksi pertanian sebenarnya sudah cukup jelas jawabannya yakni manfaatkan citra satelit. Data mengenai musim tanam, banjir di area pertanian, dan luas panen bisa dihitung dengan satelit.
Menurut dia, di berbagai focus group discussion terkait data panen antara akademisi, asosiasi petani, maupun pemerintah, keinginan untuk mengoptimalkan citra satelit ini juga terus dikemukakan.
“Namun, kita sendiri juga susah mengerti kenapa belum juga dilakukan. Kita hanya bisa menduga bahwa soal pangan ini kan data ‘panas’, ada uang sangat besar, dan terkait dengan kepentingan banyak penguasa negeri ini,” papar Sigit.
Terkait dengan kerawanan data pertanian, sebelumnya kalangan legislatif memperingatkan kemungkinan adanya pihak tertentu yang mempermainkan data produksi pertanian dengan tujuan untuk meloloskan impor pangan.
“Jangan sampai saat produksi pangan kita surplus, data Kemendag (Kementerian Perdagangan) malah menyebut minus,” ungkap anggota Komisi IV DPR, Firman Soebagyo.
Menurut dia, akal-akalan seperti itu bisa terjadi karena ada kepentingan terselubung untuk melancarkan impor pangan.
“Kemungkinan adanya permainan data pertanian karena orang-orang lama masih ada di Kementerian Perdagangan sehingga terjadi fund rising untuk kepentingan politik. Yang namanya impor-impor itu kan dipakai untuk kepentingan tertentu,” ujar Firman.
Mengenai data, Sigit juga mengungkapkan hal itu memang menjadi biang kerok pada hampir semua persoalan di Tanah Air. Menurut dia, negara sepertinya tidak serius menangani persoalan tersebut karena besarnya tarik-ulur kepentingan.
“Sehingga rakyat dipaksa mengerti jika menteri pertanian mengatakan kita swasembada, namun nyatanya menteri perdagangan mengambil keputusan impor dengan dalih sebaliknya,” papar dia.
Sigit pun menyinggung persoalan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang mematikan petani kecil maupun penyeleb padi kecil karena mengakibatkan mereka kalah bersaing dengan pengusaha besar importir yang bisa mendatangkan produk pertanian lebih murah.
Produk impor bisa lebih murah karena disubsidi pemerintah negara eksportir, sedangkan petani Indonesia justru ditekan oleh kebijakan pemerintah sendiri.
Hal senada dikemukakan Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti. Menurut dia, pertanian nasional tidak berkembang karena pemerintah tidak punya strategi andal untuk mendorong daya saing produk.
Sejak Indonesia meratifikasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1995, masalah pertanian tak kunjung berkurang, malah justru bertambah.
Produk pertanian lokal tak kuat menghadapi agresi produk pangan impor. Penguatan petani yang digembar-gemborkan oleh pemerintah tidak ada hasilnya. “Akibatnya, daya saing pertanian kita kalah jauh karena ulah pemerintah,” tegas dia.
Masalah Serius
Sigit menambahkan di bidang irigasi pertanian pun persoalan data juga menjadi masalah, terutama karena tidak adanya satu data yang bisa digunakan bersama oleh stakeholder terkait irigasi.
Bahkan, koordinasi antar-kementerian atau departemen terkait di daerah, terkait pembangunan, pengawasan, manajemen pengelolaan, dan perbaikan juga bisa dikatakan hampir tidak ada.
“Baru besok saya diundang untuk rapat koordinasi dengan semua kementerian terkait. Ini atas perintah Presiden dalam rapat kabinet terakhir. Artinya, memang data dan koordinasi ini jadi masalah sangat serius cara bernegara kita,” tukas dia.
Semua masalah tersebut, menurut Sigit, semestinya membuat Presiden mematuhi UU Pangan dengan membentuk Badan Pangan Nasional yang langsung bertanggungjawab pada Presiden dan memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan semua kementerian.