Ditulis :
Annie Zhu
(Mahasiswa magang Program Praktikum Profesional Hukum ACICIS di IGJ periode Januari-Februari 2021, saat ini sedang menempuh pendidikan sarjana hukum dan seni jurusan Hukum di University of New South Wales)
Pendahuluan
Pada tanggal 2 Oktober 2020, TRIPS Waiver diusulkan oleh India dan Afrika Selatan, mereka mendesak WTO untuk sementara waktu melepaskan kewajiban dalam melindungi hak kekayaan intelektual terkait pencegahan, penahanan, atau pengobatan Covid-19. Pada tanggal 25 Januari 2020, tindakan ini didukung oleh lebih dari 100 negara berkembang yang tergabung di WTO yang berharap proposal ini memberikan aksesibilitas dan keterjangkauan yang lebih besar untuk obat-obatan dan peralatan-peralatan esensial. Namun, pengambilan keputusan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) didasarkan pada konsensus. Ini artinya negara-negara harus memberikan suara untuk sebuah sebuah usulan agar dapat disetujui. Karena saat ini tidak ada dukungan bulat untuk TRIPS Waiver, para pendukung proposal pengabaian tersebut melakukan berkampanye untuk memperoleh ¾ (tiga per empat) mayoritas suara yang dibutuhkan dalam pertemuan dewan TRIPS agar pengabaian dapat terwujud. Keadaan saat ini sangat kompleks dengan aktor-aktor penting yang tidak hanya terdiri dari negara maju dan berkembang, tetapi juga berbagai perusahaan farmasi besar dan organisasi-organisasi non-pemerintah.
Dukungan untuk Pengabaian TRIPS
Pada 2 Oktober 2020, komunikasi dari delegasi India dan Afrika Selatan mencatat bahwa pandemi Covid-19 memberikan tekanan yang signifikan pada impor dan ekspor beberapa peralatan dan obat-obatan penting. Akibatnya, beberapa negara berkembang mengalami kesulitan dalam memperoleh sumber daya karena negara-negara kaya menggunakan tindakan proteksionis untuk melindungi persediaan medis yang ada. Dengan penyakit yang menyebar secara cepat dan tingkat infeksi yang terus tinggi, negara berkembang, dan yang paling penting, setiap hari masyarakat yang tinggal di negara berkembang, dihadapkan pada kesempatan yang kecil dalam mendapatkan bantuan.
Oleh karena itu, proposal TRIPS Waiver berupaya untuk membebaskan bab 1, 4, 5, dan 7 dari Bagian II Perjanjian TRIPS, dan juga Pasal 31. Aturan-aturan tersebut menetapkan persyaratan prosedural yang panjang untuk kegiatan ekspor dan impor produk farmasi dan membatasi akses terhadap beberapa negara. Rancangan asli dari usulan tanggal 2 Oktober juga mencatat bahwa pengabaian akan tetap berlaku untuk jangka waktu yang belum diputuskan oleh dewan TRIPS dan dapat ditinjau oleh Dewan Umum dalam waktu tidak lebih dari satu tahun setelah diberikan. Kedua klausul yang diusulkan tersebut sangat penting karena dapat memberikan waktu yang mungkin dibutuhkan oleh negara berkembang untuk mendapatkan produk medis penting, serta memungkinkan peninjauan efektivitas pengabaian setiap tahun.
Pada tanggal 23 November 2020, Afrika Selatan, pendukung utama proposal tersebut, mencatat bahwa sejumlah besar paten diajukan untuk obat anti-virus, sehingga sulit untuk meningkatkan produksi obat-obatan yang sudah terbatas. Pada tanggal 15 Januari 2021, komunikasi yang dikirim oleh Bolivia, Eswatini, India, Kenya, Mozambik, Mongolia, Pakistan, Afrika Selatan, Republik Bolivarian Venezuela dan Zimbabwe menyatakan keterkejutan bahwa negara-negara anggota yang lain di Dewan TRIPS tidak menyadari tentang kekurangan pasokan yang terjadi di negara-negara berkembang terkait produksi dan distribusi suplai medis. Mereka mengutip tocilizumab dan sarilumab hanya sebagai dua contoh obat anti-inflamasi yang telah digunakan dalam pengobatan pasien Covid-19. Namun, paten untuk kedua obat tersebut masih ada di banyak negara berkembang dengan paten utama sarilumab diajukan di setidaknya 55 negara berkembang. Lebih lanjut mereka mencatat bahwa Pasal 31 tidak fleksibel, terutama karena harus ditentukan khususnya berdasarkan kasus per kasus, ini berarti bahwa banyak aplikasi dan lisensi harus diajukan oleh negara berkembang agar mereka dapat menerima obat yang diperlukan untuk merawat pasien Covid-19. Lebih lanjut, pendukung pengabaian berpendapat bahwa fleksibilitas TRIPS yang ada hanya berhasil digunakan sekali dan tekanan-tekanan signifikan diarahkan terhadap negara berkembang serta mencegah aplikasi lisensi mereka berhasil. Dibawah keadaan yg tidak memungkinkan untuk pemberian suatu perijinan wajib, karena hal tersebut masih belum efektif. Hal ini karena ketentuan saat ini di bawah Perjanjian TRIPS mengharuskan negara untuk hanya menggunakan lisensi untuk pasokan dalam negeri. Akibatnya, jika negara tetangga yang merupakan negara berkembang mengalami tantangan dalam mendapatkan peralatan medis dan vaksin, negara dengan pasokan yang berlebih tidak diizinkan untuk mengimpor atau ekspor produk yang dibutuhkan. Pendukung pengabaian tersebut berpendapat bahwa hal ini pada akhirnya mengurangi kolaborasi global dan membuat akses global terhadap pasokan medis yang penting akan menjadi lebih sulit. Dengan demikian, negara bagian yang mendukung TRIPS Waiver menekankan perlunya kepastian dalam keterjangkauan dan aksesibilitas global terhadap obat-obatan.
Penentang TRIPS Waiver
Penentang TRIPS Waiver dibagi menjadi dua jenis: negara yang mempertanyakan apakah perjanjian TRIPS tidak fleksibel dalam operasinya dan menentang keras pada pengurangan hak kekayaan intelektual.
Beberapa negara, termasuk Australia, Singapura dan Swiss telah meminta bukti lebih lanjut terkait negara berkembang yang mengalami kesulitan dalam memanfaatkan ketentuan perjanjian TRIPS yang ada untuk mendapatkan akses terhadap obat-obatan. Komunikasi Australia, Kanada, Chili, dan Meksiko pada tanggal 27 November 2020 mencatat bahwa dilerlukan pertimbangan lebih lanjut atas proposal India dan Afrika Selatan, terutama karena mereka yakin sudah ada kerangka kerja dan proses yang fleksibel untuk negara-negara berkembang. Dalam komunikasi pada tangal 27 November, negara-negara tersebut berpendapat bahwa perjanjian TRIPS dibuat dengan tujuan untuk diterapkan pada keadaan darurat kesehatan nasional dan internasional. Dengan demikian, harus diasumsikan bahwa perjanjian TRIPS saat ini dan ketentuannya cukup untuk mendukung hambatan aksesibilitas atau keterjangkauan yang dialami negara berkembang.
Namun demikian, negara-negara ini juga menyatakan bahwa mereka masih ingin memahami sifat dan cakupan tantangan yang mungkin dialami negara berkembang dan mengajukan beberapa pertanyaan untuk dijawab. Ini termasuk pertanyaan tentang apakah negara anggota yang mengalami tantangan dalam pengadaan obat, apakah mereka telah secara resmi memulai proses Pasal 31 untuk lisensi wajib dan jika ada, apakah tantangan yang mereka hadapi selama proses tersebut.
Penentangan terhadap pengabaian yang diusulkan di negara lain, bagaimanapun, tetap lebih kuat. Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang tetap menentang keras konsensus apa pun, dengan alasan bahwa hak kekayaan intelektual sangat penting dalam mendorong inovasi dan kolaborasi di masa depan. Amerika Serikat mencatat bahwa pendekatan yang lebih disukai untuk Pengabaian TRIPS adalah bagi negara-negara yang mengalami kekurangan medis untuk terlebih dahulu mengidentifikasi produk yang saat ini tidak dapat diakses, sebelum Dewan TRIPS kemudian memberikan solusi yang dapat disesuaikan dengan negara tersebut. Kanada berpendapat bahwa fleksibilitas yang diberikan dalam TRIPS Waiver telah terbukti berhasil, dengan catatan bahwa sebelumnya telah digunakan pada tahun 2017 oleh perusahaan Kanada memproduksi obat HIV untuk Rwanda. Di negara maju tertentu, penentangan terhadap TRIPS Waiver tetap kuat. Perusahaan farmasi besar telah memainkan peran utama dalam mendorong paten dan perlindungan kekayaan intelektual pada obat-obatan. Artikel New York Times yang diterbitkan pada tanggal 10 Desember 2020 oleh Thomas Cueni, direktur jenderal Federasi Internasional Produsen dan Asosiasi Farmasi, menggarisbawahi pentingnya hak kekayaan intelektual yang kuat, terutama di bidang medis. Secara khusus, dikatakan bahwa perusahaan farmasi mengambil risiko yang besar ketika mengembangkan vaksin dan obat-obatan, dan sebagai konsekuensinya, penelitian tersebut berhak dilindungi setelah berhasil. Penentangan ini tetap kuat dan sepertinya tidak akan berubah dalam be
berapa minggu mendatang.
Bagaimana diskusi saat ini mempengaruhi Indonesia?
Indonesia telah mengumumkan secara terbuka dukungannya untuk TRIPS Waiver yang diusulkan, mengingat banyaknya kesulitan yang mungkin dialami negara berkembang ketika mencoba mengatasi kekurangan medis dan keterjangkauan obat, vaksin, dan peralatan. Pada Rapat Dewan TRIPS pada tanggal 10 dan 11 Desember 2020, Indonesia mencatat bahwa pengabaian memberikan “perspektif yang berbeda … dengan mengatasi salah satu tantangan inti dalam akses kesehatan yang cepat, adil dan terjangkau. ” Mereka juga menceritakan kesulitan signifikan yang dihadapinya dalam mendapatkan obat anti-virus, Remdesivir, yang telah digunakan secara luas untuk mengobati pasien Covid-19. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh negosiasi yang tidak berhasil tentang perizinan sukarela, dengan impor obat menjadi sangat menantang karena harga yang tinggi dan persediaan yang terbatas. Bagi orang Indonesia, tindakan proteksionis yang diterapkan oleh negara-negara kaya seringkali secara langsung merugikan konsumen biasa yang ingin mendapatkan akses obat-obatan yang aman dan terjangkau. Akibat persediaan medis yang terbatas, anggota masyarakat yang paling rentan menderita, memperburuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Diskusi tentang Situasi terkini
Sementara sistem paten memang membantu melindungi hak kekayaan intelektual, hak-hak ini tidak boleh dianggap sebagai prioritas utama negara bangsa. Harus diakui bahwa Covid-19 tidak terbatas di perbatasan negara dan akibatnya, menular secara bebas ke seluruh dunia. Pada tanggal 25 Januari 2021, ada lebih dari 99,2 juta infeksi global yang dilaporkan dan lebih dari 2,13 juta kematian di seluruh dunia. Pandemi global yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, tidak pernah terjadi dalam skala global seperti itu sebelumnya, tetapi juga mengganggu rantai pasokan yang kuat dan kolaborasi regional. Akibatnya, dukungan berkelanjutan untuk ketentuan TRIPS saat ini menimbulkan hambatan pada pengobatan dan peralatan penting, yang memicu krisis kesehatan.
Diskusi terkini dari tanggal 15 Januari 2021 berpusat pada bahaya memiliki monopoli farmasi atas R&D dan pasokan medis, serta batasan Pasal 31. Namun, yang penting untuk dicatat adalah bahwa TRIPS tidak pernah ditulis dengan maksud untuk menangani masalah keamanan dan terjangkaunya akses ke obat-obatan dan peralatan selama pandemi global. Dengan demikian, ketentuan dan proses hukumnya sangat kaku dan sulit digunakan, terutama untuk negara yang tidak memiliki kapasitas untuk mendanai penelitian medis dan mengembangkan vaksin di negaranya.
Akses obat yang aman dan terjangkau harus dipertimbangkan sebagai hak asasi manusia. Ketika akses ke obat-obatan esensial dibatasi atas nama keuntungan bagi perusahaan farmasi besar, ketidakadilan berkembang. Covid-19 belum memengaruhi komunitas di seluruh dunia secara sembarangan. Sebaliknya, dapat dilihat bahwa individu dalam kondisi sosial ekonomi yang lebih rendah, perempuan dan negara berkembang pada umumnya, telah terpengaruh secara tidak sama oleh akses ke peralatan medis. Dengan Covid-19 yang sekarang mendorong kembalinya proteksionisme dan nasionalisme, kini semakin penting bagi komunitas internasional untuk menjamin pasokan perawatan kesehatan yang terjangkau dan dapat diakses.
Organisasi non-pemerintah memiliki peran penting dalam mempromosikan TRIPS Waiver dan melawan pengaruh perusahaan farmasi besar. Kampanye harus terus mempromosikan peningkatan kesadaran, mendukung gerakan lokal yang mendorong akses global yang setara dalam kesehatan, tidak pernah ada yang lebih penting dari yang ada di hari ini.
Download>>>