Jakarta, 10 November 2021. Perundingan ke 11 antara Indonesia-Europe Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA ) telah dimulai pada 8 November 2021. Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai perkembangan dari bab Perdagangan digital (digital Trade) yang memuat beberapa hal penting untuk ditimbang secara matang. Terutama terkait muatan isu Cross border Data flow dan Source Code. Proses perundingan yang tertutup ini membuat koalisi masyarakat sipil perlu mengingatkan kepada pemerintah untuk menyiapkan analisis dampak yang memadai sebelum memutuskan kesepakatan atas isu perdagangan digital ini.
Menurut IGJ, perkembangan proposal terkait isu digital trade dalam I-EU CEPA, teknologi digital yang seharusnya bisa bermanfaat bagi UMKM Indonesia, sebaliknya bisa terancam menjadi tidak berkembang dan malah terpinggirkan. Salah satu sebabnya adalah akibat lambatnya negara mengantisipasi dan menyusun aturan yang mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat dan aktifitas perekonomian berbasis fasilitas digital.
Berkembang luasnya jaringan internet di Indonesia mendorong aktifitas baru dalam kegiatan ekonomi menggunakan telekomunikasi berbasis internet, hal ini dapat dilihat melalui perkembangan pesat jaringan internet terutama di kota-kota besar di Indonesia. Negosiasi perdagangan I-EU CEPA juga akan mengatur soal penggunaan teknologi digital untuk aktifitas perdagangan jasa dan barang digital.
Perdagangan digital tidak saja terkait dengan perdagangan barang dan jasa secara digital, tetapi terkait juga dengan sistem telekomunikasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pemanfaatan teknologi digital maupun barang-barang digital yang tidak berwujud atau intangible. Hal ini ini menjadikan isu Aliran data Lintas Batas (Cross Border Data Flow) dan kode program (Source Code) menjadi isu esensial yang harus diatur. Walaupun terkait barang digital yang bersifat intangible, masih membutuhkan pendefinisian yang jelas dan tegas untuk dapat sepenuhnya diregulasi. Pada bagian lain berbagai soal dalam perdagangan digital seperti barang digital yang berkaitan dalam Ecommerce, sistem industri, layanan komersial, hingga manufaktur juga masih belum diatur secara ketat. Pengaturan persoalan-persoalan krusial tersebut perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum perundingan I-EU CEPA disepakati. Indonesia perlu melindungi data masyarakat Indonesia baik data pribadi maupun data lainnya secara umum. Perkembangan model bisnis berbasis digital telah mendorong kompetisi yang tinggi dan potensi monopoli oleh segelintir perusahaan besar teknologi atau Giant Tech dan pada akhirnya hal ini akan memarjinalkan usaha mikro, kecil dan menengah, khususnya di negara-negara berkembang.
Laporan Trans National Institute (TNI) menyebutkan enam (6) perbedaan dalam bab perjanjian terkait digital trade antara Regional Comprehensive Economic Partnershi (RCEP) yang telah ditandatangani Indonesia dengan proposal perjanjian pada I-EU CEPA. Perlindungan pengguna online (Online consumer protection) dan Perlindungan informasi personal (Personal information protection), keduanya hanya melakukan sebagian perlindungan seperti yang terdapat pada RCEP. Sementara, perlindungan pengungkapan kode sumber perangkat lunak dan algoritma (Non-disclosure of software source code and related algorithms), Prior authorization dan Pengadaan Publik Secara Elektronik (electronic public procurement) diberlakukan pada I-EU CEPA tetapi tidak pada RCEP. Pada bagian lain, aturan Non-diskriminasi terhadap produk digital (Non-discrimination against digital products) diberlakukan dengan aturan yang lebih leluasa dibandingkan pada RCEP yang masih membatasi pada beberapa bagian pengaturan. Secara umum hal ini menunjukkan bahwa perundingan I-EU CEPA melakukan liberalisasi lebih luas pada perdagangan digital. Perjanjian ini juga mendefinisikan perdagangan digital secara lebih luas, tidak perdagangan yang difasilitasi secara digital, tetapi juga memasukan dan mengatur produk-produk digital yang tak terlihat, sebagai objek perdagangan.
Beberapa isu terkait bab-bab yang telah dibahas, dapat dipahami sebagai berikut:
- Cross Border Data Flow
e-commerce, digital trade atau ekonomi digital, tidak bisa dipahami sebatas penggunaan teknologi digital semata tetapi juga terkait dengan teknologi komunikasi, atau Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK atau ICT/Information Communication Technology) yang melekat sebagai kesatuan yang sulit dipisahkan. Karenanya, pengaturan juga terkait atau berhubungan dengan pengaturan penggunaan teknologi telekomunikasi, beserta dampak-dampak lain yang ditimbulkannya. Perkembangan TIK yang mengglobal atau melintas batas negara memberikan banyak konsekuensi dan dampak, dimana pada umumnya belum diantisipasi. Kemampuan melakukan komunikasi atau transfer data lintas batas berdampak pada berbagai jenis peredaran data bersamaan dengan aktifitas ekonomi yang dilakukan. Liberalisasi digital seperti melalui kebebasan tranfer data melintas batas negara (cross border data flow) tidak berhenti disitu tetapi juga memberikan konsekuensi seperti larangan local presence, local server, data protection dan pemberlakuan local rules. Aturan-aturan ini juga menjadi bagian yang sedang dinegosiasikan dalam perundingan EU CEPA. Perkembangan perundingan perdagangan digital terhadap aturan lintas batas data ini akan memberikan berbagai dampak yang bisa merugikan masyarakat dan negara. Pengambilan data masyarakat, dimana data merupakan esensi paling penting dan berharga dalam dunia digital, akan bisa dilakukan secara besar-besaran. Penerapan hukum pada bagian lain juga akan sulit diterapkan dan perlindungan masyarakat menjadi tidak lagi efektif, terlebih bila terjadi tindak pidana. Padahal kemandirian pengelolaan data local penting dilakukan dalam rangka menghindari dominasi perusahaan global. Sistem pengelolaan digital yang dikuasai segelintir perusahaan di dunia perlu diantisipasi, sehingga keamanan data dan dominasi data dapat diantisipasi oleh Indonesia. Kontrol yang ketata dan tegas serta fleksibel untuk beradaptasi dengan perkembangan TIK yang cepat dibutuhkan dalam mengantisipasi dampak aturan dari liberalisasi digital.
- Source Code.
Banyak orang sering kali melihat isu ini sebatas soal efektifitas dan efisiensi sebuah aplikasi bekerja, semakin mudah atau nyaman digunakan maka terasa semakin baik. Tetapi lebih jauh dari itu, source code yang dilindungi dalam Intellectual Proprety Right (IPR), juga merupakan bagian kerja keseluruhan sistem yang memungkinkan berbagai hal terjadi dan sulit dideteksi seperti: pengambilan data, perlakuan diskriminatif, tindakan kecurangan, monopoli maupun pelanggaran aturan lainnya hingga tindak kriminal. Akibatnya, selain tidak bisa ditegakkannya aturan dan hukum, kemungkinan akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat secara individual, usaha rakyat sepertu Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) maupun negara secara umum. Persoalan krusial lain adalah terkait tidak bisa atau sulit dilakukan pengawasan terkait tax seperti PPN, pajak transmisi serta pajak lain yang bisa diterapkan dalam sistem digital. Tertutupnya akses terhadap source code harus terus dikaji sehingga mendapatkan kepastian atau jaminan tidak terjadinya dampak negatif yang mungkin terjadi. Bila perlu dibentuk lembaga yang kredibel dan mampu melakukan pengawasan maupun pemeriksaan terkait hal ini.
Pemerintah Indonesia perlu menimbang secara menyeluruh Perundingan IEU CEPA, khususnya terkait bab perdagangan digital, terutama terhadap dampak jangka panjang yang mungkin terjadi pada perdagangan nasional Indonesia. Perundingan IEU CEPA ini tidak perlu terburu-buru disetujui dalam menjaga sikap kehatihatian dengan menyadari bahwa dampak yang akan dirasakan akan sulit diperbaiki ketika perundingan ini sudah final. Usulan Uni Eropa pada teks perjanjian memperihatkan tuntutan melakukan liberalisasi tidak saja pada perdagangan secara digital, tetapi juga telah lebih jauh terhadap produk digital yang intengible. Jelas Uni Eropa lebih siap dalam menata aturan dan melindungi masyarakatnya, sementara yang berbeda terjadi pada sisi Indonesia. Usulan teks yang terlihat demokratis dan fair seperti “mengakui aturan pada masing-masing negara”, apabila tidak diikuti oleh kesiapan aturan perlindungan yang memadai di Indonesia, maka pda pelaksanaanya pengusaha Uni Eropa memiliki potensi memanfaatkan atau mengambil data/informasi dari Indonesia secara leluasa tetapi tidak sebaliknya. Indonesia perlu segera berbenah, bahkan RUU PDP yang masih terhenti di Dewan Perwakilan Rakyat membuat posisi Indonesia menjadi semakin tertinggal.
Pemerintah harus mengejar pembangunan pengaturan aktifitas digital yang memadai dalam memberikan perlindungan masyarakat atas penggunaan atau pemanfaatan digital yang semain berkembang. Tanpa adanya proteksi dalam aktifitas data, khususnya yang berkaitan dalam peersaingan teknologi, berpotensi dapat menyisihkan kekuatan dan kedaulatan ekonomi nasional. Perlindungan data pribadi saja tidak cukup, perlindungan data masyarakat secara umum tetap harus dilakukan, termasuk data secara umum di Indonesia. Pertimbangan matang dalam melihat bab perdagangan digital IEU CEPA harus dilakukan sebelum komitmen perdagangan digital ditandatangani.