Jakarta, 11 Desember 2021 – Indonesia for Global Justice (IGJ) bersama-sama Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) melakukan aksi serentak nasional pada hari ini (11/12) untuk menegaskan bahwa UU Cipta Kerja telah batal demi hukum sejak Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 pada 25 November 2021 lalu. Ini sekaligus menunjukkan Pemerintah dan DPR terbukti mengangkangi konstitusi serta melanggar hak-hak konstitusional rakyat dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.
Putusan MK No. 91 menegaskan bahwa metode omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak diakui dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta cacat formil dan bertentangan dengan konstitusi.
Rahmat Maulana Sidik, Koordinator Advokasi Indonesia for Global Justice mengatakan “putusan ini telah menjadi dasar hukum kuat bahwa UU Cipta Kerja telah cacat formil dan bertentangan dengan Konstitusi. Inilah kemenangan rakyat yang dapat membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR RI memang tidak menjalankan mandat Konstitusi”, kata Maulana.
Ditambah lagi, Hakim MK juga menyoroti persoalan minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukannya, semakin melengkapi bahwa Pemerintah dan DPR dalam mengesahkan UU Cipta Kerja ini mengabaikan kepentingan rakyat kecil, dan hanya mengakomodir kepentingan segelintir kelompok saja.
“Absennya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang, itu berarti Pemerintah dan DPR menghilangkan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang, padahal prinsip kedaulatan rakyat sebagai pilar utama dalam bernegara”, tegas Maulana.
Partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang itu bukan dimaknai hanya sekedar mengundang dan mendengarkan saja. Melainkan ada tiga prasyarat utama yang ditegaskan oleh Hakim MK melalui putusannya, yakni pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Herman Abdulrahman, Ketua Umum Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) dalam aksi tadi juga menyampaikan bahwa “aksi ini merupakan penolakan terhadap kebijakan politik upah murah yang ditetapkan oleh pemerintah Jokowi-Amin. Politik upah murah ini di langgengkan melalui UU Cipta Kerja serta peraturan turunannya yakni PP 36/2021”, ungkap Herman.
Akibat dari Politik Upah Murah telah menyebabkan menurunnya daya beli kaum buruh dan keluarganya. Yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya kualitas hidup kaum buruh apalagi ditambah saat ini sedang dalam kondisi Pandemi.
“Untuk itu kami menuntut agar pemerintah segera berlakukan Upah Layak Nasional bagi kaum buruh serta juga segera mencabut UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya karena telah terbukti inkonstitusional sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi”, tegas Herman.
Disamping itu, dalam aksi serentak nasional ini juga menegaskan bahwa Pemerintah dan DPR harus memulai pembahasan UU Cipta Kerja dari NOL. Dan bukan memaksakan untuk memasukkan metode omnibus law ke dalam UU 12/2011 karena itu terlihat Pemerintah dan DPR “ngotot” melegitimasi UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 untuk terus disahkan keberadaannya dengan cara apapun.
Pemerintah dan DPR jangan melakukan tafsir tunggal atas Putusan MK, dengan melakukan akrobatik hukum yang tidak dimuat dalam Putusan MK. Putusan MK secara tidak langsung sudah mengakui metode omnibus law, misalnya dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU 2/2011 tentang Partai Politik, kesemua UU itu mengadopsi metode omnibus law yang mengakomodasi dalam satu kesatuan UU. Namun, tidak mengakui metode omnibus law dalam UU Cipta Kerja yang mencampur-adukkan 79 UU lintas sektoral yang tidak jelas apakah UU Cipta Kerja ini adalah UU Perubahan, UU Pencabutan, atau UU Baru.
Konsekuensi hukum dari Putusan MK ini tentunya harus ditangguhkan segala tindakan/kebijakan strategis yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja dan tidak dibenarkan membuat peraturan pelaksana baru dari UU Cipta Kerja. Secara otomatis, UU Cipta Kerja ini “dibekukan” terlebih dahulu keberlakuannya, tambah Maulana.
Secara mutatis mutandis Peraturan Pelaksana dari UU Cipta Kerja yang telah ada sebelumnya, seperti PP 36/2021 tentang Pengupahan tidak berlaku sementara. Bila Pemerintah menyatakan substansi UU Cipta Kerja beserta peraturan turunan masih berlaku selama 2 tahun, maka Pemerintah dan DPR telah melakukan “pembangkangan konstitusional” dengan tidak menjalankan amanat sesuai dengan Putusan MK atas UU Cipta Kerja, tutup Maulana.
***
Informasi lebih lanjut, hubungi:
Rahmat Maulana Sidik, Koordinator Advokasi IGJ – +62 81210025135
Herman Abdulrohman, Ketua Umum FPBI – +62 82213426109