Civil 20 Indonesia mengadakan C20 Kick Off Ceremony & Meeting, yang bertema Listening to the World di Bali, 7-9 Maret 2022 lalu. Acara diselenggarakan secara hybrid, dimana peserta hadir secara langsung dan secara daring.
Tema besar tersebut dipilih sebagai komitmen masyarakat sipil Indonesia untuk mendengar aspirasi masyarakat sipil selama Presidensi Indonesia di G20 tahun 2022.
(Negara-negara G20 terdiri dari Uni Eropa ditambah dengan 19 negara: Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat)
Acara tersebut diikuti oleh lebih dari 100 organisasi masyarakat sipil dari 30 negara. Serta diikuti oleh perwakilan CSOs dari negara-negara G20 lainnya, yang masuk ke dalam struktur C20, seperti dari C20 Italia dan C20 India.
C20 adalah kelompok masyarakat sipil yang menyediakan platform untuk kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia untuk menyampaikan aspirasi ke kelompok G20.
Beberapa isu yang dibahas di dalam acara C20 Kick-Off Ceremony & Meeting yaitu, Environment, Climate Justice & Energy Transition; Taxation & Sustainable Finance; Gender Equality; Sustainable Development Goals (SDGs) & Humanitarian; Education, Digitalisation & Civic Space; Anti-Corruption.
Acara tersebut dibuka dengan pidato dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Bapak Airlangga Hartarto, dan juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bapak Arifin Tasrif yang disampaikan melalui video. Serta pembicara dari berbagai kelompok masyarakat sipil dan juga wakil dari engagement group di G20.
Salah satu pidato pembuka dari kelompok masyarakat sipil disampaikan oleh Dr Dereje Alemayehu, Koordinator Eksekutif Global Alliance for Tax Justice (Aliansi Global untuk Keadilan Pajak).
Dalam pidatonya, yang disampaikan secara daring, Dereje Alamayehu menyebutkan beberapa hal yang perlu dikritisi dari G20. Pertama, seperti yang diketahui bersama PBB adalah satu-satunya organisasi / satu-satunya lembaga di dunia, dimana semua negara anggota didasari atas nilai kesetaraan. Jadi organisasi apapun yang mengambil legitimasi atau tanggung jawab dari sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak baik bagi dunia. Menurutnya, banyak upaya untuk memarginalisasi peran PBB, mengambil alih keputusan yang seharusnya dilakukan di PBB atau memilih forum yang lain, misalnya dalam hal ini peran yang dilakukan organisasi G20.
Kedua, Dereje menyebutkan, bahwa G20 adalah ciptaan dari G7, yaitu kelompok negara-negara maju[i] dimana G20 dirancang sebagai instrumen untuk memberi legitimasi keputusan G7. G7 ingin bergerak pada isu-isu yang mempengaruhi seluruh dunia di luar organisasi PBB melalui G20. Selanjutnya, Dereje mengingatkan bahwa negara-negara non-OECD[ii] dalam anggota G20[iii], antara lain Indonesia, Afrika Selatan, India, Brazil tidak diberi mandat untuk mewakili anggota non-OECD lainnya di wilayahnya masing-masing. Modus operandi dan susunan struktural G20 ini tidak memungkinkan anggota G20 non-OECD untuk memperjuangkan isu atau agenda apa pun yang tidak didorong atau dikehendaki oleh G7. Namun, mereka memiliki kemungkinan dan kekuatan untuk menolak keputusan atau tindakan yang merugikan di wilayahnya masing-masing. Sehingga G20 tidak memiliki mandat dan legitimasi untuk membuat atau mereformasi norma atau peraturan internasional.
Dereje juga memberikan contoh di mana G20 dapat merugikan negara berkembang dengan mendukung kepentingan dari G7. Misalnya dalam pertemuan pertemuan G7 di London[iv] yang memutuskan kesepakatan pajak yang dapat menguntungkan negara-negara kaya. Keputusan G7 ini dibawa ke dalam agenda G20 dan menimbulkan banyak kritik. Menteri Argentina secara eksplisit mengatakan bahwa kesepakatan itu buruk bagi negaranya tetapi mungkin akan lebih buruk jika tidak menyetujuinya. Walaupun adanya penilaian buruk tersebut, G20 terus mendukung dan mendorong keputusan tersebut. Hal ini berisiko untuk dapat menjadi standar global. Oleh karena itu, Dereje menegaskan ini bukan lagi pada negosiasi maupun konsultasi, melainkan tentang bagaimana pengambilan keputusan tersebut dapat berimplikasi atau berlaku di seluruh dunia. “Oleh karena itu kami sangat kritis terhadap G20 sebagai institusi terutama ketika mengambil keputusan yang merugikan negara berkembang,” kata Dereje.
Lebih lanjut Dereje menjelaskan kesepakatan pajak G7 oleh G20 sekarang berisiko untuk dapat diubah menjadi konvensi multilateral dan mungkin akan mengikat pada setiap negara di dunia. Kesepakatan ini tidak hanya akan mempromosikan kepentingan G7 tetapi juga merusak kepentingan jangka pendek dan jangka panjang negara-negara Selatan. Hal ini berarti dapat mengirimkan sebagian dari pendapatan pajak atas keuntungan global dan hak perpajakan tambahan dari negara-negara berkembang ke negara kaya, alih-alih menangani sistem pajak bertanggung jawab yang telah mengabaikan bagian pendapatan yang adil bagi negara-negara Selatan global selama beberapa dekade.Hal ini memungkinkan untuk melanjutkan transfer kekayaan global dari negara-negara Selatan ke negara-negara Utara atau negara maju.
Dereje menyebut pada kesepakatan di antara negara-negara G7 mengenai perpajakan misalnya pada proposal di Pilar Dua yang menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15 persen. Menurut Dereje, tarif minimum 15 persen masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan tarif pajak badan hukum di banyak negara di belahan dunia Selatan. Dereje merujuk pada ATAF (African Tax Administration forum) yang mencatat bahwa sebagian besar negara Afrika memiliki tarif antara 25% -35%, sehingga dengan usulan untuk menetapkan tarif minimum pajak 15 persen dapat mendorong “perlombaan tarif pajak minimum atau race to the minimum“. Lebih jauh, proposal tersebut juga memindahkan sebagian besar pendapatan baru dari tindakan ini ke markas besar negara-negara (OECD)- bukannya ke negara-negara berpenghasilan rendah yang justru kehilangan bagian tertinggi dari pendapatan pajak mereka karena kegagalan aturan saat ini.
Selanjutnya Dereje menjelaskan perjanjian pajak G7 yang terkait dengan Pilar Satu hanya akan berlaku untuk sekitar 100 perusahaan multinasional dan hanya untuk sebagian kecil dari keuntungan mereka, ketentuan yang mengikat untuk melarang tindakan sepihak untuk meningkatkan pendapatan domestik akan berlaku untuk semua perusahaan multinasional. Ini adalah risiko untuk mengunci negara berkembang ke dalam kesepakatan yang akan merugikan kepentingan masa depan tanpa keuntungan jangka pendek.
“Karena itu, anggota negara-negara Selatan G20 tidak boleh menjadi kaki tangan dari desain pemerintah negara G7, untuk menginjak-injak hak perpajakan negara-negara berkembang, dan untuk secara paksa mengambil alih pendapatan pajak yang harus dibayarkan kepada negara-negara Selatan”, tegas Dereje.
Alih-alih menjunjung tinggi kepentingan pajak G7, sudah saatnya negara-negara Selatan global G20 menunjukkan kepemimpinan dalam menerima atau usulan lama G77[v] yang menyerukan proses negosiasi pajak yang transparan dan inklusif di PBB. Saatnya memulai proses negosiasi berprinsip dalam forum dimana semua negara terwakili.
Yang terpenting, di PBB, negara-negara berkembang diorganisir dalam kelompok-kelompok negosiasi seperti G77 dan China (pengelompokan lebih dari 130 negara berkembang), Grup Afrika, Grup Arab, Grup Asia Pasifik, Grup Amerika Latin dan Karibia (GRULAC), Komunitas Karibia (CARICOM), Negara-negara Tertinggal (LDC), Negara-negara Berkembang yang Terkurung Daratan (LLDCs), Negara-negara Berkembang Pulau Kecil (SIDS), dll. Kelompok-kelompok ini telah dibangun selama beberapa decade untuk menginvestasikan sumber daya yang terbatas dalam memprioritaskan kerjasama internasional di dalam PBB. Pengelompokan negosiasi semacam itu memungkinkan negara-negara Selatan Global untuk menyatukan kapasitas negosiasi mereka dan mencoba menghindari kesulitan geopolitik dari keberanian sebagai negara individu selama negosiasi yang penuh dengan kekuasaan yang seimbang. Sebaliknya pada negara-negara G20 (dalam Kerangka Inklusif OECD, negara-negara tidak memungkinkan bernegosiasi dalam kelompok).
Mengakhiri pidatonya, Dereje menyerukan sudah saatnya G20, negara-negara Selatan global untuk menolak kesepakatan pajak (yang ditawarkan OECD) dan menjunjung tinggi kepentingan pajak G77 dan bukan dari G7.
)*Ditulis oleh : Audina Permana dan Lutfiyah Hanim
[i] Negara-negara G7 yang terdiri atas tujuh negara, yaitu Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat.
[ii] Economic Co-operation and Development (OECD) adalah organisasi internasional yang mempromosikan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat di seluruh dunia. Terdapat 38 anggota OECD yaitu, Austria, Australia, Belgia, Kanada, Chili, Kolombia, Kosta Rika, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Korea, Latvia, Lituania, Luksemburg, Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat.
[iii] Negara-negara OECD dalam anggota G20: Amerika Serikat, Australia, Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Meksiko, Perancis, Turki, dan Uni Eropa.
[iv] Inggris menjadi tuan rumah KTT G7 sebagai bagian dari Kepresidenan G7 2021. Pertemuan KTT G7 diadakan di Carbis Bay, Cornwall pada 11-13 Juni 2021.
[v] Di dalam G77 terdapat 77 anggota pendiri dan pada November 2013, organisasi tersebut berkembang menjadi 134 negara anggota (termasuk China).