Di bulan Juni 2022, ketika para Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bertemu akan ada tekanan dan harapan yang kuat untuk hasil negosiasi terkait subsidi perikanan. Konferensi Tingkat Menteri (MC12) akan dilaksanakan pada waktu yang bergejolak dalam geopolitik global, perubahan iklim, pandemi COVID19 dan juga pemulihan ekonomi, namun draf teks negosiasi saat ini masih gagal memberikan dukungan baik terhadap ketahanan stok ikan, konservasi laut, atau pembangunan.
Telah diakui secara luas bahwa masalah keberlanjutan stok ikan global masih menghawatirkan. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) melaporkan bahwa hampir 60% dari seluruh stok yang dinilai telah dieksploitasi sepenuhnya dan 34% ditangkap dengan cara yang tidak berkelanjutan. Selanjutnya, tingkat subsidi global untuk sektor perikanan diperkirakan mencapai $3,4 miliar dimana subsidi tersebut justru telah berkontribusi pada penangkapan ikan yang berlebihan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor yang bervariasi tergantung pada ukuran dan seberapa cakupan penangkapan ikan yang tersubsidi dan siapa yang telah diuntungkan.
Terlepas dari masalah tersebut, negosiasi terkait subsidi perikanan di WTO telah diperbarui dari mandat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 14.6 yang bertujuan untuk “melarang segala kondisi tertentu dari subsidi perikanan yang berkontribusi pada kelebihan kapasitas dan penangkapan ikan, dan menghilangkan subsidi yang berkontribusi pada penangkapan ikan secara Illegal, Unreported, Unregulated (IUU), dan menahan diri dari memperkenalkan subsidi baru semacam itu. Selain itu, mengakui bahwa perlakuan khusus dan berbeda atau Special Differential Treatment (SDT) yang tepat dan efektif untuk negara berkembang dan kurang berkembang harus menjadi bagian integral dari negosiasi subsidi perikanan WTO”. Meskipun demikian, negosiasi tersebut justru berada di jalur yang tepat untuk menggagalkan mandat tersebut.
::Mereka yang paling bertanggung jawab tidak dimintai pertanggungjawaban::
Banyak perjanjian global pada isu lingkungan atau perubahan iklim mengikuti prinsip tanggung jawab bersama tetapi membawa tanggungan berbeda yang berarti bahwa mereka yang paling bertanggung jawab atas masalah tersebut mengambil tindakan terbesar untuk memperbaikinya. Dalam teks proposal saat ini tidak ada pengakuan tanggung jawab historis atas keadaan stok ikan global dan penangkapan ikan yang berlebihan. Selama beberapa dekade terakhir, subsidi dari negara-negara berkembang dengan industri perikanan dan armada tidak diperhitungkan khususnya untuk menolak hasil draf teks yang telah gagal menargetkan mereka yang bertanggung jawab atas penangkapan ikan berlebih secara terus-menerus dan yang telah membangun kapasitas armada mereka, atau kekayaan yang telah diperoleh dengan mengorbankan stok ikan dan pemegang sumber daya negara berkembang. Armada penangkapan ikan jarak jauh seringkali merupakan armada yang sama yang telah menangkap ikan secara berlebihan di perairan mereka dan memiliki kapasitas penangkapan ikan terbesar, namun armada tersebut tidak secara khusus ditargetkan dalam teks.
Sama seperti banyak perjanjian lingkungan atas isu perubahan iklim, seharusnya negosiasi tersebut dapat menargetkan mereka yang memiliki tanggung jawab historis atas penangkapan ikan yang berlebihan termasuk armada penangkapan ikan jarak jauh.
::Nelayan Skala Kecil terjebak dalam perjanjian::
Nelayan skala kecil merupakan komunitas yang paling rentan dalam sektor perikanan dan bergantung pada dukungan subsidi pemerintah untuk bertahan hidup (sering kali paling tidak bertanggung jawab atas keadaan stok ikan global).
Proposal saat ini yang berkaitan dengan aturan subsidi kaitannya dengan nelayan skala kecil juga diatur pada teks larangan bagi para nelayan yang harus dinilai jika memenuhi kriteria kumulatif sebagai “berpenghasilan rendah, miskin sumber daya”, dan mata pencahariandalam jarak 12 mil laut dari garis pantai. Bahkan untuk penangkapan ikan IUU dan penangkapan ikan berlebih, pengecualian terbatas ini hanya ditawarkan selama dua tahun.
Kenyataannya definisi ini juga dirancang hanya untuk digunakan oleh sebagian kecil nelayan berskala kecil karena banyaknya nelayan skala kecil yang melampaui wilayah 12 mil laut untuk musim ikan atau luasnya ikan di perairan nusantara. Jangka waktu dua tahun juga tidak cukup bagi banyak negara berkembang untuk menerapkan reformasi legislatif, regulasi, dan infrastruktur yang diperlukan.
Definisi ini dirancang hanya untuk menargetkan sebagian kecil nelayan skala kecil. Melihat pada perjanjian WTO sebelumnya (Perjanjian tentang Pertanian) telah memungkinkan masuknya pekerja artisanal menjadi lebih ekspansif (berpenghasilan rendah atau miskin sumber daya) tetapi hal itu belum meluas ke nelayan. Para nelayan yang tidak sesuai dengan definisi penangkapan ikan yang restriktif akan terjebak dalam larangan subsidi yang termasuk dalam perjanjian subsidi perikanan. Hal ini juga akan terjadi pada saat ada kenaikan harga pangan dan bahan bakar, peningkatan biaya hidup dan biaya penangkapan ikan baik untuk nelayan dan pekerja terkait yang sudah dalam kondisi genting.
Saat ini bukan waktunya untuk memotong subsidi bagi nelayan skala kecil dan kegiatan terkait penangkapan ikan karena jika reformasi (legislatif, regulasi, dan infrastruktur negara) tersebut tidak diberlakukan maka program subsidi yang diandalkan oleh banyak nelayan skala kecil dapat melanggar komitmen WTO dan dapat ditentang oleh negara anggota WTO lainnya.
Nelayan skala kecil harus dikecualikan secara permanen dari larangan apa pun dalam perjanjian.
::Fleksibilitas yang tidak memadai::
Mandat SDG14.6 menyerukan perlakuan khusus dan berbeda atau Special Differential Treatment (SDT) secara “tepat dan efektif” tetapi hal ini tidak tercermin dalam teks proposal saat ini.
Selain fleksibilitas yang sangat ketat diperuntukkan hanya bagi penangkapan ikan skala kecil seperti dijelaskan di atas, tidak adanya fleksibilitas yang diusulkan negara berkembang dalam komponen larangan ‘Overfishing and Overcapacity’ akan merusak prospek pembangunan untuk negara berkembang. Pada pertemuan khusus WTO tentang perikanan pada Juni 2021 setidaknya delapan puluh satu negara berkembang menyatakan bahwa ketentuan perlakuan khusus dan berbeda yang mencakup penangkapan ikan artisanal di perairan teritorial tidak mencukupi. Sebaliknya, ditekankan bahwa setiap fleksibilitas negara berkembang seharusnya tidak hanya terbatas pada nelayan skala kecil dalam jarak 12 mil laut tetapi menjadi permanen seperti fleksibilitas lainnya sebagai langkah-langkah keberlanjutan. Teks porposal saat ini hanya menawarkan kebijakan sementara untuk anggota ekslusif pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tetapi fleksibilitas jangka panjang terkait dengan tes ambang batas 0,7% dari penangkapan liar laut global atau hanya untuk pendapatan rendah dan sumber daya yang miskin dan penangkapan ikan untuk mata pencaharian dalam jarak 12 mil laut.
Yang terpenting, kemampuan negara berkembang untuk dapat mengakses fleksibilitas yang diberikan bergantung pada pemenuhan persyaratan pemberitahuan yang ditetapkan, hal ini melampaui persyaratan perjanjian subsidi yang ada. Masalah ini akan menghukum negara berkembang yang telah berjuang untuk memenuhi persyaratan “pelaporan” negara tersebut walaupun jika negara tersebut bahkan tidak berkontribusi pada penangkapan ikan berlebihan secara global.
Negara berkembang harus mempertahankan pengecualian permanen untuk penangkapan ikan di perairan berdaulat mereka sendiri.
::WTO memutuskan langkah-langkah pengelolaan perikanan::
Selain itu, di dalam teks proposal saat ini juga mengatur subsidi yang dilarang untuk ketersediaan stok ikan yang ditangkap yang termasuk pada penangkapan berlebih dan kapasitas berlebih diizinkan untuk dilanjutkan jika terbukti ada langkah-langkah keberlanjutan. Hal ini akan membentuk WTO, meskipun tidak memiliki keahlian di bidang tersebut, sebagai badan yang sekarang dapat menentukan apakah tindakan konservasi dan pengelolaan suatu negara untuk stok ikan mereka sesuai atau tidak. Hal ini juga merupakan prinsip SDT yang kenyataannya terbalik dan justru menawarkan jalan melalui klausul terhadap negara maju untuk dapat melarikan diri dari masalah yang dilakukan sebagai langkah yang berkelanjutan.
Persyaratan bagi anggota untuk melaporkan langkah-langkah manajemen yang mereka miliki akan memungkinkan negara anggota WTO lainnya untuk menantang kebijakan jika dirasa tidak cukup atau berpotensi menjadi ancaman komersial. Terdapat banyak contoh negara maju yang secara sepihak menentang langkah-langkah pengelolaan negara lain, membatasi akses pasar jika mereka tidak percaya bahwa mereka memenuhi standar. Hal ini sering menguntungkan armada dari negara maju yang sama yang sudah dapat memenuhi standar tersebut.
Kesepakatan tersebut hanya bertujuan untuk mengejar syarat subsidi dan bukan langkah-langkah manajemen diantara anggota. Terdapat forum lain yang lebih tepat yang sudah memiliki prosedur perselisihan untuk mengatasi masalah yang muncul dengan manajemen yang lebih baik. Hal melampaui mandat perjanjian dan kemungkinan besar akan membahayakan tindakan konservasi anggota, sehingga merusak pengelolaan stok ikan.
WTO tidak boleh mengganggu tindakan konservasi dan pengelolaan setiap negara anggota dengan keputusan yang dapat merugikan. Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional lebih baik ditempatkan untuk mengatasi masalah apapun dengan konservasi dan pengelolaan stok.
::Melemahkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut::
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut adalah perjanjian internasional yang memberikan kewajiban dan hak kepada negara-negara yang berkaitan dengan sumber daya alam hayati (termasuk ikan) di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), zona 200 mil laut dari garis lepas pantai. Perjanjian ini memberikan hak-hak ini kepada negara untuk mengelola dan mengeksploitasi sumber daya tersebut serta kewajiban untuk memastikan bahwa sumber daya tersebut dikelola secara berkelanjutan.
Sedangkan teks propoal saat ini melanggar hak kedaulatan negara untuk mengelola dan mengeksploitasi sumber daya perikanan mereka dengan mengharuskan negara untuk melaporkan langkah-langkah pengelolaan ke WTO untuk kemungkinan kepentingan kontestasi serta membatasi kemampuan negara untuk mendukung armada perikanan domestik. WTO akan merusak perjanjian laut internasional yang ada dan oleh karena itu melemahkan kapasitas negara-negara berkembang untuk mengelola stok ikan dan mencegah armada penangkap ikan di perairan jarak jauh dalam mengakses stok ikan.
Perjanjian internasional yang ada tidak boleh dirusak oleh perjanjian WTO dan sebaliknya harus memastikan bahwa hak-hak negara anggota yang telah ditetapkan berdasarkan UNCLOS tidak dikesampingkan oleh WTO yang menentukan tindakan dalam ZEE Anggota.
::Perjanjian Tidak Seimbang, Penghargaan pada Kapasitas::
Teks proposal yang ada saat ini akan sangat berguna hanya bagi sebagian negara terutama bagi negara-negara maju yang sudah memiliki kapasitas untuk mensubsidi armada mereka dan mengelola stok ikan mereka. Pengelolaan dan pengukuran stok perikanan sangat mahal bagi banyak negara berkembang, sehingga mempersulit mereka untuk mengelola semua stok ikan mereka serta melapor ke WTO untuk mengakses fleksibilitas dalam teks. Kemampuan untuk mensubsidi armada penangkapan ikan juga bergantung pada kapasitas fiskal yang dimiliki negara tersebut.
Seperti yang dilaporkan oleh South Centre, berdasarkan kepatuhan terhadap pemberitahuan perjanjian subsidi WTO saat ini, hanya 55 anggota (dengan Uni Eropa sebagai 1 anggota) yang akan dapat mematuhinya. Ditambah dengan sekitar 80 Negara Berkembang tidak membuat pemberitahuan seperti yang dipersyaratkan pada awal tahun 2021, yang jika diperluas ke teks perikanan akan membuat mereka tidak memenuhi syarat untuk fleksibilitas atau perlakuan khusus dan berbeda.
Sedangkan aturan tersebut dapat menghukum mereka yang memiliki kapasitas paling kecil untuk dapat mengelola, mensubsidi atau memberikan laporan tidak mampu dalam mengatasi keadaan stok ikan global yang mengerikan dan menghukum mereka yang paling tidak bertanggung jawab. Selanjutnya, usulan hanya kepada dana sukarela untuk pengembangan kapasitas dan bantuan teknis yang membuat negara-negara berkembang memiliki beban kewajiban tetapi tidak ada dukungan komitmen.
Hal ini bukanlah apa yang diharapkan para pemimpin ketika menyetujui SDG14.6. Membuat fleksibilitas untuk negara-negara berkembang yang hanya bergantung pada kewajiban atas laporan dan tidak membahas tujuan mandat seutuhnya hanya menghukum negara-negara tersebut dan karena itu harus dihapus dari teks. Negara-negara maju harus menyediakan dana pembangunan kapasitas dan bantuan teknis yang komprehensif.
Pada akhirnya, proses negosiasi tersebut harus demokratis, inklusif dan partisipatif. Kami belum melihat adanya upaya untuk melibatkan kelompok nelayan kecil dalam diskusi ini. Selain itu, proses negosiasi perlu memberi negara berkembang dan anggota negara kurang berkembang cukup kesempatan untuk dapat berpartisipasi dan menyuarakan pendapat mereka sampai akhir, dan jenis konsultasi konflik ruang hijau dengan pendekatan yang diinginkan.
Kami menyerukan kepada para Menteri untuk memastikan bahwa setiap hasil negosiasi subsidi perikanan menargetkan mereka yang memiliki tanggung jawab historis terbesar untuk penangkapan ikan yang berlebihan dan penipisan stok, mengecualikan semua nelayan skala kecil dari larangan subsidi apa pun, mencegah WTO memutuskan keabsahan konservasi dan langkah-langkah pengelolaan anggota, dan menjunjung tinggi hak berdaulat negara di bawah UNCLOS.
Global,
- Campaign of Campaigns
- Communaute de Nourriture Slow Food Tanganyika
- DAWN (Development Alternatives with Women for a New Era)
- Indigenous Peoples Global Forum for Sustainable Development
- Schola Campesina APS
- Sisters of Charity Federation
- Society for International Development
- Third World Network
- Transnational Institute
- World Forum of Fish Harvesters and Fish Workers ( WFF)
- World Public Health Nutrition Association
Regional,
- African Centre for Biodiversity
- Asia Pacific Network of Environment Defenders
- Asociación Mujeres Emprendedoras de Alta Verapaz
- Association For Promotion Sustainable Development
- Alliance for Food Sovereignty in Africa (AFSA)
- Confederation of Traditional Herders Organizations in Africa (CORET)
- EASTAFISH ( EAST AFRICA OF FISHERIES)
- FishNet Alliance
- Focus on the Global South
- Health of the Mother Earth Foundation
- ICENECDEV-International Centre for Environmental Education and Community Development
- Mer Conseils
- Nadi Ghati Morcha
- Pacific Conference of Churches
- Pacific Islands Association of Non Governmental Organisations
- Pacific Network on Globalisation
- Southeast Asia Regional Initiatives for Community Empowerment
- Spire
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Nasional,
- AbibiNsroma Foundation
- All Bangla Fishermen’s Association (ABFMA)
- Anne’s Christian Community Health School and Nursing Services
- APAC
- Association of Proper Internet Governance (Switzerland)
- Association pour l’Integration et le Developpement Durable au Burundi, AIDB
- Association pour la Conservation et la Protection des Ecosystèmes des Lacs et l’Agriculture Durable
- Attac Norway
- Australian Food Sovereignty Alliance
- Bangladesh Environmental Lawyers Association (BELA)
- Bangladesh Nari Progati Sangha (BNPS)
- Bolipara Nari Kalyan Somity (BNKS)
- Centro de Documentación en Derechos Humanos “Segundo Montes Mozo S.J.” (CSMM)
- COAST Foundation
- Collectif des Associations pour le Développement
- Collectif Pêche & développement
- Consumers’ Association of Penang (Malaysia)
- FIAN Sweden
- FIAN Uganda
- Food Sovereignty Alliance
- FORUM SOCIAL SENEGALAIS
- Freshwota Indigenous Council of Chiefs
- Gambia Fisher Folk Association
- Gaza Urban & Peri-urban Agriculture Platform (GUPAP)
- Gestos
- Global Justice Now
- Gramya Resource Centre for Women (India)
- Handelskampanjen
- Hope and Destiny Employment Agency
- Indonesia for Global Justice
- Initiative foe Health and Equity in Society
- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
- KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)
- Kikandwa Environmental Association (Uganda)
- Kilusan para sa Repormang Agraryo at Katarungang Panlipunan (KATARUNGAN)
- Malaysian Inshore Fishermen Association for Education and Welfare (JARING)
- Masifundise
- Mazingira Institute (Kenya)
- MEPA
- Nadi Ghati Morcha (India)
- National Fisheries Solidarity Movement (Sri Lanka)
- O Le Siosiomage Society Inc (Samoa)
- Pakistan Fisherfolk Forum
- RAPA
- Rural Area Development Programme (RADP)
- Sahabat Alam Malaysia (Friends of the Earth Malaysia)
- Serikat Petani Indonesia
- Sierra Leone Amalgamated Artisanal Fishermen’s Union
- SRHIN-RWANDA
- Vanuatu Environment Advocacy Network
- Vanuatu Human Rights Coalition
- Vanuatu Indigenous Land Defense Desk
- Vanuatu Young Women for Change