Jakarta, 7 Juni 2022
Kepada Yth:
Bapak Ir. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Bapak Luhut Binsar Panjaitan
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Republik Indonesia
Bapak Sakti Wahyu Trenggono
Menteri Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia
Bapak Muhammad Lutfi
Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Ibu Retno L. Marsudi
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Bapak Dandy Satria Iswara
Duta Besar Indonesia untuk WTO di Jenewa
Dengan hormat,
Kami menulis surat ini kepada Bapak/Ibu sekalian menjelang rencana untuk kesepakatan (atau mungkin ketidaksepakatan) aturan yang mengikat untuk menghilangkan subsidi perikanan dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) ke-12.
Kami, para organisasi nelayan dan kelompok masyarakat sipil yang konsern pada isu pangan-perikanan memiliki kepedulian pada kehidupan perikanan tangkap serta sangat prihatin dengan mata pencaharian nelayan kecil maupun tradisional. Karena Perjanjian ini bertujuan untuk menghilangkan subsidi untuk sektor perikanan yang kami andalkan untuk mata pencaharian kami.
Perikanan merupakan sektor penting bagi mata pencaharian di Indonesia. Menurut data FAO tahun 2017, Indonesia memiliki 2,6 juta nelayan yang setara dengan 6,44% nelayan yang beroperasi secara global.
Perjanjian yang sedang dinegosiasikan didasarkan atas mandat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan poin 14.6 dan untuk memenuhi tujuan keberlanjutan konservasi laut. Nelayan skala kecil di Indonesia beroperasi jauh lebih berkelanjutan daripada sektor perikanan negara-negara maju dan negara-negara nelayan yang beroperasi di perairan jauh. Namun, kami sangat khawatir bahwa Indonesia diharuskan menghapus semua subsidi di bawah 3 pilar negosiasi; Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) fishing, overfished stock (OS) dan overcapacity and overfishing (OCOF).
Berkaitan dengan hal tersebut, kami ingin menyampaikan poin-poin spesifik di bawah ini dari teks terbaru yang tersedia untuk umum kepada Bapak/Ibu sekalian:
- Keprihatinan kami adalah bahwa pengecualian untuk “kegiatan perikanan dan penangkapan ikan yang berpenghasilan rendah dan miskin sumber daya” sangat terbatas. Berdasarkan ketiga pilar negosiasi, pengecualian nelayan dibatasi yang beroperasi dalam 12 Mil Laut (NTM) atau perairan teritorial, tetapi tidak berlaku jika mereka menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Nelayan kecil sering melintasi batas 12 NTM ini, bahkan terkadang tanpa diketahui. Perjanjian WTO seperti itu berarti mereka tidak bisa mendapatkan subsidi lagi. Selain itu, di bawah pilar IUU dan penangkapan ikan berlebih, pengecualian dibatasi hingga 2 tahun dan bahkan dapat dikurangi selama negosiasi. Kami berpandangan ini benar-benar tidak adil dan tidak realistis mengingat nelayan kecil akan terus tetap rentan dan terpinggirkan bahkan setelah beberapa dekade. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan geografis seperti itu akan membuat para nelayan skala kecil dalam kesulitan besar dan oleh karena itu harus ditolak oleh pemerintah. Negara kita Indonesia, harus memiliki fleksibilitas penuh untuk memberikan subsidi bagi nelayan dan kegiatan penangkapan ikan hingga ZEE dan zona kontinental untuk selama-lamanya.
- Bahkan Konferensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) mengakui bahwa negara-negara memiliki hak penuh atas ZEE dan hingga 250 NM di zona kontinental. Kita tidak bisa membiarkan WTO menolak hak ini dan memaksakan yurisdiksi dan aturannya pada hak kedaulatan negara kita.
- Definisi FAO tentang IUU itu sendiri bermasalah. Ada banyak nelayan kecil yang tidak dapat mengakses mekanisme formal pendaftaran dan formalisasi status mereka dan termasuk dalam kategori tidak dilaporkan dan tidak diatur, juga karena mekanisme pemerintah seperti itu lemah di banyak bidang. Itulah sebabnya kemampuan mereka untuk memanfaatkan dukungan pemerintah tertentu sudah dikompromikan. Mencabut akses para nelayan kecil ke subsidi atas dasar kategorisasi yang salah seperti itu bahkan lebih tidak adil dan tidak dapat diterima.
- Selain itu, ada tekanan berat pada negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk menerima perlakuan khusus dan diferensial (S&D) yang lemah. Sebenarnya, pengecualian untuk nelayan skala kecil tidak boleh berada di bawah S&D, karena ini bukan masalah tingkat negara tetapi khusus untuk skala penangkapan ikan. Sebagai bagian dari S&D, Indonesia harus meminta pembebasan penuh dari semua kewajiban berdasarkan Paragraf 5.4.a setidaknya selama 25 tahun.
- Di bawah pilar kelebihan kapasitas dan penangkapan ikan yang berlebihan, Indonesia juga telah dikecualikan dari perlakuan khusus dan berbeda berdasarkan Paragraf 5.4.b.i yang terbatas pada negara-negara yang berkontribusi kurang dari 0,7% dari penangkapan laut global tahunan. Kekhawatiran yang lebih besar bagi kami adalah bahwa Catatan Kaki (Footnote) 12 melarang negara mana pun yang memiliki pangsa 10% atau lebih dari penangkapan laut global untuk menggunakan S&D apa pun yang digariskan untuk OCOF. Karena pangsa Indonesia saat ini sekitar 8,6%, Indonesia dapat kehilangan haknya untuk menggunakan S&D apa pun jika pangsanya meningkat bahkan sedikit. Bahkan itu bisa terjadi bahkan jika presentase negara lain turun karena suatu alasan (misalnya karena aturan yang diusulkan ini) tanpa kita menangkap lebih banyak ikan. Ini akan menempatkan nelayan Indonesia pada risiko besar karena pengecualian untuk nelayan berpenghasilan rendah dan miskin sumber daya terkait dengan S&D. Ambang batas 10% ini tidak dapat diterima dan harus ditolak.
- Kami bahkan lebih terkejut melihat bahwa berdasarkan Pasal 5.1.1, Para Anggota yang benar-benar terlibat dalam industri dan penangkapan ikan di perairan jauh yang telah merusak dan menghabiskan sumber daya laut, mendapatkan bon kosong untuk terus memberikan subsidi secara gratis. Ada persyaratan yang mudah untuk penangkapan ikan di perairan jauh dan mereka yang memiliki mekanisme pengelolaan dan pemantauan yang canggih. Kami ingin menunjukkan bahwa hanya negara-negara kaya yang mampu melembagakan mekanisme seperti itu dengan menggunakan subsidi besar-besaran selama beberapa dekade. Ini tidak lain adalah membalikkan perlakuan khusus dan diferensial. Seharusnya, Negara-negara maju ini harus menanggung bagian yang lebih tinggi dari komitmen karena mereka secara historis bertanggung jawab untuk menciptakan keadaan lautan kita yang rusak saat ini. Tetapi negosiasi saat ini belum memperhitungkan hal ini.
- Negosiasi juga tidak memperhitungkan fakta bahwa banyak negara berkembang seperti Indonesia memiliki populasi nelayan yang besar dan memberikan subsidi yang sangat kecil per nelayan. Bahkan menurut perkiraan OECD untuk subsidi (berdasarkan data FAO tentang jumlah nelayan), Indonesia memberikan subsidi sekitar 92 USD per nelayan sedangkan AS memberikan subsidi sebesar 4956 USD, Jepang memberikan 8385 USD dan Kanada memberikan subsidi sebesar 31800 USD. per nelayan. Perbandingannya harus berdasarkan per nelayan dan tidak secara absolut.
Melihat negosiasi saat ini, jelas bahwa hasilnya akan sangat tidak seimbang melawan nelayan skala kecil di negara-negara berkembang dan mendukung negara-negara kaya dengan industri dan perikanan perairan jauh.
Setiap Perjanjian yang disepakati oleh MC12 hanya akan menegaskan kembali hak negara-negara kuat untuk secara tidak adil mensubsidi perusahaan perikanan mereka dan mengkonsolidasikan kekuatan pasar yang tidak adil atas jutaan nelayan yang berjuang untuk mencari nafkah di Indonesia. Kami sangat khawatir nelayan Indonesia, terutama nelayan skala kecil, akan rugi besar. Penting juga untuk dicatat bahwa dalam situasi saat ini di mana harga bahan bakar begitu tinggi, pengurangan dan penghentian subsidi akan menempatkan kita dalam bahaya besar sekarang. Kami juga tidak yakin bagaimana Perjanjian ini akan memungkinkan fleksibilitas untuk menangani krisis semacam itu di masa depan.
Oleh karena itu:
- Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak menyetujui teks subsidi perikanan saat ini karena akan membahayakan mata pencaharian dan ketahanan pangan para nelayan dan sektor perikanan secara keseluruhan. Lebih baik tidak ada kesepakatan daripada kesepakatan yang buruk, yang akan merugikan rakyat Indonesia.
Organisasi yang turut bertandatangan :
- Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN)
- Indonesia for Global Justice (IGJ)
- Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHCS)
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
- Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
- Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
- Perkumpulan INISIATIF
- Serikat Petani Indonesia (SPI)
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) / Friend of The Earth (FoE) Indonesia