Jakarta, 20 Juni 2022 – Indonesia for Global Justice menyampaikan kekecewaan atas keputusan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (KTM WTO) ke-12 yang berlangsung pada 13-17 Juni 2022 lalu di Jenewa, Swiss. Terutama terkait dengan keputusan atas perundingan terkait Penangguhan sementara aturan Kekayaan Intelektual (TRIPS Waiver).
Setelah lebih dari 20 bulan sejak India dan Afrika Selatan mengajukan Proposal TRIPS Waiver yang bertujuan mengabaikan hambatan kekayaan intelektual untuk meningkatkan produksi vaksin, pengobatan dan tes dianostik di negara-negara anggota WTO. 1 tindakan yang diambil oleh WTO dan negara-negara kaya dunia meliputi Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, dan Swiss, justru tidak mengarah pada niat untuk mengatasi pandemi. Padahal proposal TRIPS Waiver didukung oleh Organisasi Masyarakat Sipil, Akademisi, Organisasi Internasional, Pemenang Nobel dan hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Proposal ini seharusnya dapat menjadi jalan keluar untuk keluar dari pandemi dengan menangguhkan semua aturan kekayaan intelektual sehingga negara-negara di dunia dapat meningkatkan produksi pada semua kebutuhan terkait Covid-19 termasuk Vaksin, Diagnostik, dan Terapeutik.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, Rahmat Maulana Sidik, menyampaikan, “Organisasi Masyarakat Sipil dari seluruh dunia sudah mendesak negara kaya untuk menyetujui Proposal TRIPS Waiver, bahkan langsung di WTO saat pertemuan berlangsung. Tapi mereka malah negara-negara maju justru bertindak sebaliknya, mengabaikan ketimpangan akses vaksin dan kematian COVID-19 yang masih ada dan terus meningkat. Keputusan ini menurut kami lebih ke arah teknokratik supaya negara-negara maju ini dianggap bertanggung jawab. Padahal keputusan ini jangankan mengarah pada Proposal TRIPS Waiver, mirip pun tidak.”
Kritik pada Putusan Menteri WTO pada Perjanjian TRIPS
Pasca KTM WTO ke-12, WTO mengeluarkan Keputusan Menteri pada Perjanjian TRIPS2. Namun keputusan ini mendapat banyak catatan dari Organisasi Masyarakat Sipil. Diantaranya, keputusan ini hanya ditujukan menangguhkan paten untuk Vaksin. Sedangkan kebutuhan untuk mengatasi pandemi COVID-19 yang juga tercantum dalam Proposal TRIPS Waiver meliputi kebutuhan penanganan, pengobatan dan pencegahan, yang artinya meliputi Vaksin, Obat-obatan, Diagnostik dan peralatan medis.
Selain itu keputusan ini hanya berlaku untuk menangguhkan paten sebagai salah satu bagian dari aturan kekayaan intelektual. Padahal banyak kebutuhan COVID-19 yang justru dilindungi oleh aturan kekayaan intelektual lainnya, seperti rahasia dagang. Penangguhan hanya pada
paten tidak akan mengatasi isu know-how dan transfer pengetahuan dan teknologi yang juga membatasi akses pada kebutuhan COVID-19.
“Putusan ini sangat terlambat, terlalu sedikit, dan terlalu terbatas. Karena hanya mencakup Paten dan hanya untuk Vaksin. Padahal yang kebutuhan global melebihi dari pada itu. Dan kebutuhan tersebut sudah dicakup dalam Proposal asli TRIPS Waiver” ujar Lutfiyah Hanim, Peneliti Senior Indonesia for Global Justice” Third World Network
Pemberlakuan keputusan ini juga sangat terbatas, keputusan WTO hanya berlaku selama 5 tahun. Padahal pandemi COVID-19 tidak dapat diprediksi terlebih masih terbatasnya akses vaksin di negara-negara Afrika dan masih banyaknya ancaman mutasi virus yang dikhawatikan akan resisten pada Vaksin yang sudah tersedia. Aturan ini juga dianggap diskriminatif di mana negara yang dianggap manufaktur yang cukup justru didorong untuk tidak menggunakan putusan ini.
Dampak Putusan pada G20
Pada Presidensi G20, melalui Health Working Group, Indonesia berupaya untuk mengangkat isu Peningkatan Kapasitas Hub Manufaktur dan Riset pada Vaksin, Diangnostik, dan Terapeutik. Keputusan WTO yang sangat terbatas ini dikhawatirkan tidak akan berdampak banyak pada inisiatif Indonesia di G20. Program Officer untuk Isu Kesehatan IGJ, Agung Prakoso, mengungkap alasannya karena salah satu tantangan terbesar dalam membangun manufaktur pada Vaksin, Diagnostik, dan Terapeutik adalah hambatan kekayaan intelektual dan transfer teknologi.
“Dengan TRIPS Waiver seharusnya isu prioritas HWG G20 untuk peningkatan kapasitas manufaktur pada Vaksin, Diagnostik, dan Terapeutik ini akan berjalan sangat lancar. Karena salah satu masalah terbesar pada manufaktur adalah hambatan kekayaan intelektual dan transfer teknologi. Putusan ini kami nilai tidak akan berdampak banyak.”
Agung menambahkan jika negara-negara G20 ingin berdampak, maka Negara-negara G20 harus berkomitmen untuk tidak menggunakan mekanisme gugatan apapun jika ada negara yang berupaya untuk memproduksi atau menggunakan teknologi medis terkait COVID-19. Bila diperlukan hal ini harus didorong dalam Leaders Declaration agar komitmennya semakin kuat.
“Jika Pemerintah Indonesia ingin memanfaatkan momentum G20 untuk meningkatkan akses Vaksin, Diagnostik, dan Terapeutik, terlebih melalui peningkatan manufaktur, maka G20 harus didorong agar berkomitmen untuk tidak menghalangi negara-negara berkembang yang ingin meningkatkan produksi VDT di negaranya, termasuk di dalamnya menggunakan mekanisme gugatan ataupun jalur lainnya. Fleksibilitas TRIPS meskipun juga sangat terbatas, tetap harus digunakan semaksimal mungkin,” tambahnya.
- Proposal berjudul lengkap WAIVER FROM CERTAIN PROVISIONS OF THE TRIPS AGREEMENT FOR THE PREVENTION, CONTAINMENT ANDTREATMENT OF COVID-19 dapat diakses di https://docs.wto.org/dol2fe/Pages/SS/directdoc.aspx?filename=q:/IP/C/W669R1.pdf&Open=True
- https://docs.wto.org/dol2fe/Pages/SS/directdoc.aspx?filename=q:/WT/MIN22/W15R2.pdf&Open=True
Informasi lebih lanjut
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif IGJ, +62 812-1002-5135
Agung Prakoso, Program Officer Isu Kesehatan IGJ, +62 857-8873-0007