Pada acara side event G20 Finance Minister Central Bank Governor (FMCBG) di Nusa Dua Bali, lembaga riset INDEF menyelenggarakan seminar dan mengundang beberapa pemangku kebijakan, praktisi, peneliti dan para ahli mengenai salah satu isu penting dalam mengatur arsitektur keuangan global yaitu isu penanganan utang.
Seminar berjudul “Advancing Debt and Economic Justice Through G20 Dialogue” dihadari beberapa pembicara secara secara langsung dan juga online seperti Dian Triansyah Djani, Co-Sherpa untuk G20 Indonesia Presidensi; Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF; Stephanie Blankenburg, Kepala pengurus utang dan keuangan pembangunan UNCTAD dan masih banyak lagi. Tema penanganan utang ini diangkat ditengah maraknya dampak krisis Srilanka yang mengalami kebangkuratan dan gagal bayar atas utang luar negerinya.
Banyaknya negara-negara yang mengalami kesulitan utang dan didorong dengan adanya situasi Pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir mendorong adanya diskusi yang lebih serius terhadap isu utang ini, khususnya pada forum G20.
Dibawah kelompok kerja Finance Track, International Finance Architecture Working Group (IFA WG) G20, Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia, Profesor Suahasil Nazara di dalam pidato pembuka mengatakan “saat ini di dalam forum G20 sedang membahas mengenai Common Framework untuk penanganan utang di tingkat dunia dan akan terus didorong ke dalam koridor diskusi dalam konteks isu utang global ini”.
Dalam hal ini peneliti dari Organisasi Masyarakat Sipil, Third World Network, Bhumika Muchala juga menekankan selain Common Framework G20, salah satu sarana untuk mendukung penanganan utang yang dapat dikatakan efektif untuk memperluas ruang fiskal yaitu dengan Special Drawing Rights (SDR).Melihat pengalaman Hak Penarikan Khusus/SDR ini telah dilakukan di tahun 2021, Bhumika memberikan gambaran bagaimana SDR ini penting membantu keuangan negara berpenghasilan rendah dalam penanganan krisis.
Selain Bhumika Muchala, salah satu Organisasi Masyarakat Sipil yang juga turut memberikan suara di dalam diskusi dengan tema tranpasaransi utang global yaitu ketua Direktur APMDD, Mae Bhuanaventura menekankan dua poin penting. Pertama, bahwa inklusifitas diperlukan di dalam proses transparansi utang setiap negara tidak hanya pada proses data utang negara namun di dalam diskusi-diskusi proses diputuskannya kebijakan terkait utang juga harus merangkul semua stakeholders. Yang kedua, Direktur APMDD juga menegaskan adanya definisi utang berkelanjutan yang lebih konkrit untuk mempermudah adanya klasifikasi nilai dan cakupan utang.
Diskusi mengenai utang ini sangat diperlukan dimana negara-negara sedang di dalam guncangan kondisi keuangan dan ekonomi yang sangat volatile. Beberapa kali pada pertemuan FMCBG sebelumnya juga membahas bagaimana arsitektur keuangan global yang sangat kompleks mendorong keharusan adanya peran dan juga komitmen dari setiap negara agar dapat menjaga stabilitas keuangan dan ekonomi global.
Terlepas dari masih adanya tantangan yang sulit dalam penanganan kesulitan utang di setiap negara yang sangat dipengaruhi oleh politik suatu negara dan kebijakan dalam negeri, peneliti Bhumika Muchala sekali lagi menekankan bahwa komitmen pemberi pinjaman untuk memberikan pengurangan utang, mempercepat adanya restrukturisasi utang dan memberikan ruang fiskal lebih melalui penyaluran SDR dari negara maju juga dapat membantu negara yang berada dalam kesulitan utang untuk terhindar dari adanya krisis sosial dan ekonomi yang semakin terpuruk.