Utang publik global – yang terdiri dari utang dalam negeri dan luar negeri pemerintah umum – mencapai rekor USD 92 triliun pada tahun 2022, dengan negara-negara berkembang berutang hampir 30 persen dari total, demikian menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Menurut laporan PBB tersebut, saat ini terdapat 3,3 miliar orang yang tinggal di negara-negara dimana kebijakan belanja negara lebih banyak pada pembayaran bunga utang daripada untuk pendidikan atau kesehatan. Lebih tepatnya laporan mengatakan bahwa negara-negara berkembang yang membayar lebih banyak untuk pinjaman negara mereka dibandingkan negara-negara maju.
Mengutip dari hasil laporan yaitu, “Negara-negara di Afrika rata-rata meminjam dengan tarif empat kali lebih tinggi daripada Amerika Serikat dan bahkan delapan kali lebih tinggi daripada Jerman”.
Laporan itu berjudul “Dunia Penuh Utang: Beban Yang Semakin Besar Untuk Kemakmuran Global” dirancang oleh Kelompok Tanggap Krisis Global PBB yang didirikan pada Maret 2022 oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), dan lima Komisi Ekonomi Regional PBB yaitu : Komisi Ekonomi untuk Afrika, Komisi Ekonomi untuk Eropa, Komisi Ekonomi untuk Amerika Latin dan Karibia, Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik, dan Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia Barat.
A. HUTANG PUBLIK PADA TINGKAT KOLOSAL
Laporan melihat utang publik menjadi sangat vital untuk pembangunan, dengan utang pemerintah dapat menggunakannya untuk membiayai pengeluaran mereka, seperti melindungi dan berinvestasi untuk rakyat mereka, dan untuk membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik.
“Namun, itu juga bisa menjadi beban berat, ketika utang publik tumbuh terlalu banyak atau terlalu cepat,”katanya.
Laporan itu mengatakan inilah yang terjadi hari ini di seluruh dunia berkembang, menambahkan bahwa utang publik telah mencapai tingkat yang sangat besar, sebagian besar disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
- Kebutuhan pembiayaan melonjak dengan upaya negara-negara untuk menangkis dampak krisis yang berjatuhan pada pembangunan yang mencakup pandemi COVID-19, krisis biaya hidup, dan perubahan iklim.
- Arsitektur keuangan internasional yang tidak setara membuat akses pembiayaan negara-negara berkembang menjadi tidak memadai dan mahal.
Utang telah diterjemahkan menjadi beban besar bagi negara-negara berkembang karena terbatasnya akses ke pembiayaan, kenaikan biaya pinjaman, devaluasi mata uang dan pertumbuhan yang lamban, kata laporan itu.
“Faktor-faktor ini telah mengkompromikan kemampuan negara-negara untuk dapat bereaksi terhadap keadaan darurat, mengatasi perubahan iklim dan berinvestasi pada orang-orang dan masa depan mereka.” Utang publik di seluruh dunia telah meningkat selama beberapa dekade terakhir. Krisis bertingkat dalam beberapa tahun terakhir memicu percepatan tajam dari tren ini, catat laporan tersebut.
“Akibatnya, utang publik global telah meningkat lebih dari lima kali lipat sejak tahun 2000, jelas melampaui tingkat PDB global, yang meningkat tiga kali lipat dalam waktu yang sama.”
Laporan tersebut juga mencatat pada tahun 2022, utang publik global – yang terdiri dari utang dalam negeri dan luar negeri pemerintah umum – mencapai rekor USD 92 triliun. “Negara-negara berkembang berutang hampir 30 persen dari total utang, yang kira-kira 70 persen berasal dari China, India, dan Brasil,” tambahnya.
Namun, utang publik meningkat lebih cepat di negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara-negara maju selama dekade terakhir. Laporan itu mengatakan kenaikan utang di negara berkembang terutama disebabkan meningkatnya kebutuhan pembiayaan pembangunan yang diperburuk oleh pandemi COVID-19, krisis biaya hidup, dan perubahan iklim. Ditambah lagi oleh terbatasnya sumber pembiayaan alternatif.
“Akibatnya, jumlah negara yang menghadapi tingkat utang tinggi meningkat tajam dari hanya 22 negara pada 2011 menjadi 59 negara pada 2022”, tambahnya.
B. TIMPANGNYA ARSITEKTUR KEUANGAN INTERNATIONAL
Kondisi negara-negara berkembang yang berurusan dengan arsitektur keuangan internasional telah memperburuk dampak negatif dari krisis terhadap pembangunan berkelanjutan saat ini, kata laporan tersebut.
“Beban utang pada pembangunan diperparah oleh sistem yang membatasi akses negara-negara berkembang ke keuangan pembangunan dan mendorong mereka untuk meminjam dari sumber yang lebih mahal, meningkatkan kerentanan mereka dan mempersulit penyelesaian krisis utang.”
Laporan mencatat nilai total utang publik negara-negara berkembang meningkat dari 35 persen PDB pada 2010 menjadi 60 persen pada 2021. Demikian pula, utang publik eksternal, bagian dari utang pemerintah kepada kreditor asing, meningkat dari 19 persen PDB (pada 2010) menjadi 29 persen PDB pada 2021.
Laporan tersebut juga menekankan bahwa, “jika membandingkan tingkat utang dengan kemampuan negara-negara berkembang untuk menghasilkan devisa melalui tingkat ekspor telah menunjukkan memburuknya kemampuan mereka untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri tersebut”.
Dimana, porsi utang publik luar negeri terhadap ekspor meningkat dari 71 persen pada 2010 menjadi 112 persen pada 2021. Selama periode yang sama, layanan utang publik luar negeri sebagai bagian ekspor meningkat dari 3,9 persen menjadi 7,4 persen.
Negara-negara berkembang menghadapi tantangan besar tambahan karena tingginya tingkat utang publik eksternal, yang membuat mereka lebih rentan terhadap guncangan eksternal, kata laporan tersebut. Ketika kondisi keuangan global berubah atau investor internasional menjadi lebih menghindari risiko, biaya pinjaman dapat melonjak tiba-tiba, tambahnya.
Demikian pula, ketika mata uang suatu negara mengalami devaluasi, pembayaran utang dalam mata uang asing dapat meroket, menyisakan sedikit uang untuk pembiayaan pembangunan.
Kreditur swasta, seperti pemegang obligasi, bank, dan pemberi pinjaman lainnya, menawarkan pembiayaan dengan persyaratan komersial. Dalam sepuluh tahun terakhir, porsi utang publik eksternal kepada kreditur swasta telah meningkat di semua wilayah, terhitung 62 persen dari total utang publik luar negeri negara berkembang pada 2021, kata laporan itu.
Ditunjukkan bahwa meningkatnya porsi utang publik kepada kreditur swasta menimbulkan dua tantangan.
Pertama, biaya peminjaman dari sumber swasta lebih mahal daripada pembiayaan lunak dari sumber multilateral dan bilateral. Kedua, semakin kompleksnya basis kreditur membuat semakin sulit untuk berhasil menyelesaikan restrukturisasi utang bila diperlukan. Penundaan dan ketidakpastian meningkatkan biaya penyelesaian krisis utang.
Lebih lanjut, laporan itu mengatakan ketika negara berkembang meminjam uang, mereka harus membayar tingkat bunga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju, bahkan tanpa mempertimbangkan biaya fluktuasi nilai tukar.
Negara-negara di Afrika meminjam rata-rata dengan tarif empat kali lebih tinggi daripada Amerika Serikat dan bahkan delapan kali lebih tinggi daripada Jerman, catatnya. “Biaya pinjaman yang tinggi mempersulit negara-negara berkembang untuk mendanai investasi penting, yang pada gilirannya semakin merusak kesinambungan utang dan kemajuan menuju pembangunan berkelanjutan.”
C.MELAYANI UTANG ATAU MELAYANI RAKYAT?
Laporan bersama itu juga mengatakan tren utang negara-negara berkembang telah menyebabkan peningkatan pesat dalam total pembayaran kepentingan publik relatif terhadap ukuran ekonomi dan pendapatan pemerintah mereka. Saat ini, setengah dari negara berkembang mencurahkan lebih dari 1,5 persen dari PDB mereka dan 6,9 persen dari pendapatan pemerintah mereka untuk pembayaran bunga yang meningkat tajam selama dekade terakhir.
Meningkatnya pembayaran bunga adalah masalah yang meluas, katanya, menambahkan bahwa jumlah negara di mana pengeluaran bunga mewakili 10 persen atau lebih dari pendapatan publik meningkat dari 29 pada 2010 menjadi 55 pada 2020.
Laporan itu mengatakan bahwa pembayaran bunga di negara-negara berkembang tumbuh lebih cepat daripada pengeluaran publik untuk kesehatan, pendidikan dan investasi selama dekade terakhir, menambahkan bahwa peningkatan pesat pembayaran bunga menekan pengeluaran di bidang-bidang utama ini.
Misalnya di Afrika, jumlah yang dihabiskan untuk pembayaran bunga lebih tinggi daripada pengeluaran untuk pendidikan atau kesehatan. Negara-negara berkembang di Asia dan Oseania (kecuali China) mengalokasikan lebih banyak dana untuk pembayaran bunga daripada untuk kesehatan, tambahnya. Demikian pula, dikatakan di Amerika Latin dan Karibia, negara-negara berkembang mencurahkan lebih banyak uang untuk pembayaran bunga daripada untuk investasi.
“Di seluruh dunia, meningkatnya beban utang menghalangi negara-negara untuk berinvestasi dalam pembangunan berkelanjutan.”
Semakin banyak negara menemukan diri mereka terjebak dalam situasi di mana pembangunan dan kemampuan mereka untuk mengelola utang dikompromikan, kata laporan itu.
Saat ini, setidaknya 19 negara berkembang membelanjakan lebih banyak untuk bunga daripada untuk pendidikan dan 45 negara membelanjakan lebih banyak untuk bunga daripada untuk kesehatan, catatnya.
“Secara total, 48 negara adalah rumah bagi 3,3 miliar orang, yang hidupnya secara langsung dipengaruhi oleh kurangnya investasi di bidang pendidikan atau kesehatan karena beban pembayaran bunga yang besar.”
D. ROADMAP UNTUK MENGATASI TANTANGAN UTANG
Menurut laporan tersebut, PBB memiliki peta jalan tindakan multilateral untuk mengatasi beban utang global dan mencapai pembangunan berkelanjutan, yaitu:
- Membuat sistem lebih inklusif, meningkatkan partisipasi nyata dan efektif negara-negara berkembang dalam tata kelola arsitektur keuangan internasional.
- Menyediakan likuiditas yang lebih besar pada saat krisis untuk memperluas keuangan darurat, sehingga negara-negara tidak dipaksa berhutang sebagai upaya terakhir, termasuk melalui penguatan penggunaan SDR IMF/Hak Penarikan Khusus, penangguhan sementara biaya tambahan IMF, dan peningkatan jendela akses kuota ke IMF pembiayaan darurat.
- Mengatasi tingginya biaya utang dan meningkatnya risiko kesulitan utang dan menciptakan mekanisme penyelesaian utang untuk mengatasi lambatnya kemajuan Kerangka Kerja Bersama G20 untuk Perlakuan Utang karena tantangan koordinasi kreditur dan kurangnya klausul penangguhan layanan utang otomatis ke negara-negara peserta.
- Pembiayaan yang lebih banyak dan lebih baik secara besar-besaran meningkatkan pembiayaan jangka panjang yang terjangkau.
Diterjemahkan dari :
UN: Global public debt hits an all-time high of $92 trillion oleh Kanaga Raja. Dipublikasikan oleh SUNS #9823 tanggal 17 Juli 2023
TWN Info Service on Finance and Sustainable Development
17 July 2023
Third World Network
www.twn.my
Diterjemahkan oleh:
Komang Audina Permana Putri
Program Officer on Debt Issue
Indonesia for Global Justice