Jakarta, Selasa (27/2) – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (MKE) menggelar aksi di depan gedung Kementerian Perdagangan pada hari Selasa (27/2) untuk menyuarakan tuntutan terkait Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (KTM WTO) ke-13 yang sedang berlangsung di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab pada tanggal 26–29 Februari 2024.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa selama ini WTO dengan agenda utama untuk meliberalisasi perdagangan telah membawa dampak buruk pada masyarakat, terutama masyarakat kecil seperti petani dan nelayan. Selain itu, WTO dinilai terlalu banyak mengedepankan kepentingan negara maju sehingga memperparah kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang. Beragam isu yang disuarakan oleh masyarakat sipil di antaranya adalah pertanian, subsidi perikanan, akses kesehatan dan kesiapan pandemi, perempuan dan perdagangan, liberalisasi investasi hingga perdagangan digital.
Koalisi Masyarakat Sipil mengingatkan pentingnya mengutamakan kepentingan rakyat kecil dan kedaulatan mereka. Dalam perkembangannya, justru negara maju tidak ingin adanya kemajuan dalam pembahasan mengenai beberapa isu yang membahas kepentingan rakyat di negara-negara berkembang dan kurang berkembang.
Dalam negosiasi terkini di KTM ke-13 WTO, ada upaya untuk semakin melebarkan liberalisasi dari jalur pintu belakang, dengan mengadakan perundingan Investment Facilitation for Development (IFD). “Judulnya saja ‘for Development” tapi isinya jauh dari kata ‘development’. Ini adalah perundingan ‘ilegal’ liberalisasi investasi di forum multilateral, WTO. Banyak penelitian menunjukkan perjanjian investasi tidak mendatangkan investor asing, ungkap Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ).
Indonesia tidak perlu mengikatkan diri dalam perjanjian investasi (IFD) di WTO. Justru seharusnya merevisi upaya yang sudah ada di dalam negeri. Misalnya liberalisasi investasi yang telah dilakukan Indonesia “Perizinan investasi dalam OSS yang pengaturannya berada di bawah Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja yang kontroversial dengan prosedur pembentukan yang tidak demokratis, tegas Maulana.
Kemudahan perizinan investasi ini justru merampas ruang hidup rakyat Indonesia baik terkait dengan ancaman kerusakan lingkungan dan ancaman hilangnya ruang hidup rakyat di darat, perairan, pesisir, dan laut. Sayangnya, Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 tidak menghasilkan perubahan mendasar atas kebijakan diplomasi ekonomi Indonesia yang terus memfasilitasi kepentingan korporasi multinasional dan didukung penuh baik oleh aktor eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Perwakilan dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Afgan Fadilla menyatakan bahwa WTO selama ini telah menyengsarakan petani kecil. “Mekanisme perdagangan bebas di WTO telah membuat negara berkembang kehilangan kedaulatan mengatur kebijakan terkait pertanian, salah satunya terkait dilarangnya pembatasan impor terhadap pangan yang membatasi kesejahteraan para petani. Selain itu, diskusi yang sedang dibahas adalah terkait larangan bagi negara berkembang untuk mensubsidi pertanian mereka sekaligus juga melarang kebijakan terkait pengaturan cadangan dan distribusi pangan atau yang disebut sebagai ‘public stockholding.’ WTO memaksa semua urusan pertanian diserahkan pada mekanisme pasar dan akan lebih berpihak pada korporasi-korporasi pertanian besar ketimbang petani kecil.”
Selain itu, WTO juga sedang berupaya untuk menghapus subsidi di sektor perikanan yang akan berdampak kepada nelayan kecil di negara berkembang. “Melalui perjanjian subsidi perikanan, WTO beserta negara berkembang berupaya untuk menghapus praktik subsidi di sektor perikanan. Terdapat delapan subsidi yang tidak boleh lagi ada di sektor perikanan termasuk di dalamnya larangan subsidi BBM, larangan bantuan kapal, hingga jaminan sosial. Padahal subsidi ini dibutuhkan oleh nelayan Indonesia yang mayoritas adalah nelayan kecil. Sementara negara-negara maju yang banyak melakukan praktik illegal fishing di perairan besar justru lebih banyak mendapat subsidi dari negara mereka,” tegas Fikerman dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
WTO juga berdampak buruk pada persoalan akses obat-obatan serta tes diagnostik, dan alat kesehatan, misalnya pada masa pandemi COVID-19. Namun, hal tersebut justru terkendala sebagai akibat dari perlindungan HKI/hak kekayaan intelektual yang mencakup paten, hak cipta, rahasia dagang, dan lain sebagainya. “Aturan di WTO mengenai HKI telah membatasi hak masyarakat atas obat-obatan. Harga obat menjadi mahal karena korporasi farmasi bisa memonopoli dan mengatur sendiri harga produknya melalui hak paten. Pada masa pandemi COVID-19 praktik ini tetap terjadi. Bahkan setelah India dan Afrika Selatan mengajukan proposal mengenai pengabaian sementara atas pengaturan mengenai perlindungan HKI atau TRIPS waiver, WTO beserta negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris Raya, Uni Eropa, dan Swiss terus menolak proposal tersebut. Ini adalah kegagalan WTO dan negara-negara maju yang memalukan dalam merespons isu pandemi, membiarkan pasien tanpa akses pada kebutuhan kesehatan,” ujar Agung Prakoso dari IGJ (Indonesia for Global Justice).
Kontak:
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif IGJ, +6281210025135
Afgan Fadhila, Serikat Petani Indonesia (SPI), +62 813-6151-2131
Fikerman Saragih, KIARA, +62 823-6596-7999