• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • GENI
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • GENI
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

SURAT TERBUKA RAKYAT INDONESIAKEPADA PRESIDEN JOKO WIDODO

Juli 22, 2024
in Uncategorized @id
Home Uncategorized @id
964
SHARES
2.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Kami, jaringan masyarakat sipil Indonesia yang terdiri dari organisasi petani, nelayan, perempuan, kesehatan, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), pegiat lingkungan, buruh, dan mahasiswa mendesak Presiden Joko Widodo untuk menghentikan perundingan Indonesia – European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA). 

Adapun desakan ini didasarkan pada beberapa hal berikut: 

Pertama, proses negosiasi mencerminkan krisis demokrasi dan pelanggaran konstitusi karena berjalan secara tertutup, tanpa melibatkan publik dan tidak ada dokumen yang dapat diakses meski dampak dari Perjanjian akan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dalam setiap aspek kehidupan. Bahkan hingga ronde perundingan ke-19, pada tanggal 1-5 Juli 2024, dilakukan, tidak ada informasi yang disampaikan kepada publik, terutama sehubungan dengan substansi yang dinegosiasikan. Padahal, Konstitusi mengharuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan penilaian dampak ekonomi, sosial, dan HAM dari perjanjian internasional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 tentang UU No. 24 Tahun 2000. 

Setidaknya 10 orang Pelapor Khusus PBB menyatakan bahwa semua negosiasi perjanjian dagang dan investasi, baik bilateral maupun multilateral, yang sedang berlangsung harus dilakukan secara transparan melalui konsultasi dan partisipasi dari semua pihak yang berkepentingan. Tidak hanya itu, semua rancangan teks perjanjian harus dipublikasikan sehingga anggota Dewan dan masyarakat sipil memiliki waktu yang cukup untuk meninjau dan mempertimbangkan pro dan kontra secara demokratis. Hal ini disebabkan oleh potensi dampak buruk perjanjian perdagangan bebas bagi lingkungan, kondisi sosial-ekonomi, serta HAM. 

Kedua, masa pemerintahan Presiden Joko Widodo akan usai dalam waktu kurang dari tiga bulan dan digantikan dengan pemerintahan baru hasil Pemilihan Umum 2024. Semestinya pemerintahan transisi tidak membuat keputusan besar, termasuk menandatangani perjanjian internasional yang akan menimbulkan beban bagi pemerintahan selanjutnya. Singkatnya, waktu tidak memungkinkan bagi anggota Dewan untuk meninjau dan menyetujui atau tidak menyetujui ratifikasi perjanjian. Hal ini dipraktikkan di beberapa negara, seperti di India dan bahkan Uni Eropa sendiri. 

Ketiga, kami menduga adanya permufakatan jahat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan akan merugikan rakyat Indonesia, sehingga informasi tersebut dengan sengaja tidak disampaikan. Apabila Perjanjian yang hendak disepakati adalah untuk kepentingan rakyat, maka seharusnya proses perundingan dilakukan secara terbuka. 

Obat semakin mahal dan sulit diakses 

Mahalnya harga obat bukan semata karena persoalan pajak, distribusi, atau tata kelola. Melainkan juga karena monopoli paten atas obat-obatan oleh korporasi besar. Proposal Uni 

1

Eropa dalam bab Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di I-EU CEPA mengajukan klausul tentang perpanjangan masa perlindungan paten, eksklusivitas data dan pasar, serta pembatasan impor paralel. Obat yang dilindungi oleh paten harganya sangat mahal, sedangkan obat yang sama dalam versi generik di negara lain tidak bisa masuk ke Indonesia karena versi originator-nya masih dipatenkan. Melalui I-EU CEPA, Uni Eropa memperjuangkan kepentingan korporasi untuk memonopoli akses terhadap obat, terutama untuk penyakit seperti HIV, TB, dan kanker, yang akan menyulitkan kelompok pasien sekaligus menambah beban anggaran negara. 

Big Tech mudah memonopoli data dan informasi, sementara negara tidak berdaya Saat menegosiasikan perjanjian internasional, Uni Eropa menggunakan strategi kolonialis dalam memburu dan mengekstrak data dari negara-negara Selatan demi memposisikan korporasinya sendiri dalam rantai nilai sibernetik global yang baru. Demi kepentingan Big Tech, Uni Eropa berusaha untuk memaksakan agar tidak ada larangan monopoli terhadap penguasaan data dan informasi publik maupun personal, juga tidak ada pembatasan dan kendali melalui pengawasan terhadap perusahaan pengumpul dan pengolah data hingga menghasilkan kuasa yang besar bagi BigTech. Proteksi source code menjadikan algoritma pengelola data dapat menggunakan data dan informasi pribadi secara leluasa. Ini akan mengancam hak-hak rakyat atas privasi, mengganggu layanan publik, akuntabilitas pemerintah, bahkan hingga kualitas demokrasi. Terlebih dalam kurun waktu belakangan, perkembangan Artificial Intelligence meluas hingga pada sektor pekerjaan, pendidikan dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Tragedi terkait peretasan data publik telah menunjukan kapasitas yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia hari ini, jika disandingkan dengan kekuatan Big Tech. 

Perlindungan investasi di atas perlindungan bagi hak rakyat 

Perjanjian internasional kini bukan sekadar regulasi ekspor dan impor, melainkan membangun kerangka hukum yang menguntungkan investasi dan korporasi besar. Salah satunya adalah perlindungan maksimal terhadap investasi melalui mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian I-EU CEPA. Mekanisme yang dikenal sebagai Investment Court System (ICS) yang diklaim sebagai bentuk ‘kebaruan’ namun pada dasarnya memiliki prinsip yang sama, yakni perlindungan investasi di atas perlindungan hak rakyat. Hal ini memungkinkan investor dari Uni Eropa untuk menggugat Pemerintah Indonesia dalam tribunal internasional apabila mereka meyakini bahwa kebijakan pemerintah akan/telah merugikan investasi mereka. Sistem ini memprioritaskan kepentingan korporasi di atas kedaulatan nasional dan proses pengambilan keputusan yang demokratis. Selama ini, gugatan ISDS menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan perlindungan lingkungan, kesehatan masyarakat, ataupun kesejahteraan sosial karena hal tersebut dapat digugat oleh perusahaan asing yang bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan. Selain itu, peradilan ISDS juga beroperasi dengan prosedur yang tidak transparan di luar sistem hukum nasional, yang cenderung menguntungkan korporasi multinasional yang memiliki sumber daya dan keahlian hukum yang lebih besar. Meskipun kelihatan berbeda, namun pada dasarnya tetaplah sama. 

Dalih transisi energi sebagai jebakan perang dagang menghasilkan kerusakan lingkungan yang semakin parah 

Transisi energi hijau telah meningkatkan permintaan terhadap mineral penting di dunia sekaligus menghasilkan perang dagang untuk memastikan pasokan bahan mineral penting. 

2

Perundingan I-EU CEPA menjadi strategi bagi Uni Eropa untuk mendesak agenda Green New Deal. Kepentingan EU dalam mendapatkan akses mineral Indonesia melalui Bab Energi dan Mineral Mentah dalam I-EU CEPA hanya akan memperdalam dan memperluas eksploitasi sumber-sumber ekstraktif, memperparah kerusakan lingkungan serta menambah deretan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh masyarakat terdampak di sekitar area industri. Selain itu, ketentuan mineral penting dan energi akan digunakan oleh EU untuk menghadang pembatasan ekspor mineral mentah yang diterapkan oleh Indonesia. 

Ancaman kedaulatan pangan karena monopoli benih oleh korporasi Uni Eropa menggunakan I-EU CEPA untuk memaksa agar Indonesia untuk meratifikasi keanggotaan UPOV 1991. Apabila Indonesia tergabung dalam UPOV 1991, maka kemerdekaan petani dalam menyimpan, menukar, dan mendistribusikan benih akan hilang. Semua pengetahuan dan praktik tersebut harus mendapat izin dari otoritas pejabat yang berwenang. UPOV 1991 tidak hanya mengancam sistem benih tradisional yang dimiliki turun temurun, bahkan petani rentan dikriminalisasi karena dituduh melakukan peniruan teknik pemuliaan, pencurian benih induk, distribusi benih ilegal, dan lainnya. 

UPOV 1991 akan menghambat pemberlakuan Ratifikasi UU No. 4 Tahun 2006 tentang Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (ITPGRFA), khususnya terhadap Pasal 9 yang melindungi dan menghormati hak-hak petani. Lebih jauh, UPOV 1991 telah jelas bertentangan dengan UN General Assembly tentang Resolusi UNDROP (United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas). Jelas dan tegas dalam Pasal 19 Deklarasi UNDROP ini mengakui delapan hak fundamental petani dan orang yang bekerja di pedesaan atas pertanian mereka. Mulai dari hak untuk memelihara, mengontrol, melindungi dan mengembangkan benih serta pengetahuan tradisional mereka sendiri. Hingga mendorong negara untuk melindungi kepentingan petani yang dimuat dalam kebijakan nasional. Apabila petani yang notabene adalah penyedia pangan dihilangkan kedaulatannya atas benih, maka bukan hanya petani menjadi miskin tapi bahaya kelaparan juga akan mengancam kita. 

Greenwashing dengan dalih pembangunan berkelanjutan 

Tidak seperti perjanjian perdagangan lainnya, I-EU CEPA berusaha untuk mengelabui potensi dampak seperti yang dijelaskan sebelumnya melalui Bab Perdagangan dan Pembangunan Berkelanjutan (Trade and Sustainable Development). Di dalam bab tersebut EU berusaha menunjukkan bahwa mereka sadar dan peduli dengan berbagai isu pembangunan khususnya tentang ketenagakerjaan dan lingkungan serta krisis iklim. Bab ini merupakan bentuk greenwashing sementara bab-bab lainnya seperti IP dan mekanisme perlindungan investasi justru sifatnya lebih mengikat negara secara hukum. Penerapan prinsip perlindungan lingkungan juga seringkali dilakukan dengan standar ganda–di satu sisi EU mengecam deforestasi akibat perkebunan sawit, namun di sisi lainnya mereka sangat gencar untuk mengakses mineral mentah yang diekstraksi dengan merusak alam. EU juga merasa bahwa bab TSD telah cukup untuk meningkatkan standar perlindungan terhadap buruh. Nampak jelas bahwa hal ini hanya basa-basi jika mengingat pemerintah Indonesia telah menerapkan Omnibus Law Cipta Kerja yang menurunkan standar pemenuhan dan perlindungan hak ketenagakerjaan hingga merosot tajam. Pengarusutamaan gender dalam kebijakan perdagangan EU pun masih dilakukan dengan sekadar berusaha menarik representasi perempuan dalam perdagangan bebas, alih-alih melihat keterkaitan dampaknya terhadap perempuan di berbagai sektor dan tidak nampak komitmennya 

3

sepanjang I-EU CEPA ini dinegosiasikan. Nampaknya pemerintah Indonesia pun tidak melihat gender sebagai aspek yang penting untuk diperjuangkan, meskipun perempuan memiliki kontribusi yang besar dan tidak boleh ditinggalkan dalam komitmen pembangunan berkelanjutan dan CEDAW yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. 

Penutup 

Perjanjian perdagangan sering diklaim Pemerintah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan ekonomi Indonesia sehingga dapat mensejahterakan rakyat. Namun potensi persoalan di atas justru menunjukkan dampak buruk yang akan memperparah penderitaan rakyat. Sekali lagi, kalau Indonesia-EU CEPA ditandatangani untuk kesejahteraan rakyat, mengapa prosesnya harus ditutup-tutupi? 

Organisasi Penandatangan: 

1. AMAR Law Firm & Public Interest Law Office 

2. Bina Desa 

3. Ekologi Maritim Indonesia 

4. Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi 

5. FIAN Indonesia 

6. FIELD Indonesia 

7. FSP FARKES REFORMASI 

8. Gemapetani 

9. IHCS 

10. Indonesia AIDS Coalition 

11. Indonesia for Global Justice 

12. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) 

13. JPIC OFM Indonesia 

14. Kesatuan Perjuangan Rakyat 

15. KIBAR Kediri 

16. Koalisi Buruh Sawit 

17. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air 

18. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) 

19. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) 

20. Koperasi Indonesia Baru 

21. Program Magister Lingkungan dan Perkotaan, Soegijapranata Catholic University 22. Puanifesto 

23. Rhizoma Indonesia 

24. Sahita Institute 

25. Sanggar Puan 

26. Sawit Watch 

27. Serikat Pekerja PT PLN (Persero) Indonesia 

28. Serikat Petani Indonesia 

29. Solidaritas Perempuan 

30. Solidaritas Perempuan Palu 

31. The Institute for Ecosoc Rights 

32. Trend Asia 

33. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 

34. Yayasan ALIFA 

35. Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI) 

4

36. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) 

37. Yayasan Tananua Flores 

Individu Penandatangan: 

1. A Mahmudi 

2. AD Eridani 

3. Aching 

4. Andy Wijaya 

5. Arif 

6. B Widyarti 

7. Beni 

8. Dian Pratiwi Pribadi 

9. Dinda Yura 

10. Fajar Reza 

11. Gita Gartika Masrilawati 

12. Herlina Kurniawati 

13. Herman Abdul Rohman 

14. Irwan Furida 

15. Iwan Mizthohizzaman 

16. Leony Lidya 

17. M. Alwi Kurniawan 

18. Muh Ismail 

19. Muhammad 

20. Muhammad Febri 

21. Nova Scorviana H 

22. Nurdin 

23. Okki Satrio Djati 

24. Prathiwi Putri 

25. Rizki Estrada 

26. Salsa Nofelia Franisa 

27. Siti Zulaika 

28. Toni Hartono 

29. Tuslam Ghani 

Previous Post

Siaran Pers: Tanggapan Masyarakat Sipil terkait Pengesahan Amandemen Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) dan Penundaan Pandemic Treaty

Next Post

Potensi Dampak UPOV pada Pertanian dan Implementasi ITPGRFA bagi Petani di Indonesia

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655