• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Siaran Pers: “Pembahasan Terselubung Amandemen UU Paten Berpotensi Berdampak pada Akses  ke Obat dan Sarat Kepentingan Bisnis” 

Agustus 5, 2024
in Uncategorized @id
Home Uncategorized @id
954
SHARES
2.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Jakarta, Senin 15 Juli 2024 – Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) menyayangkan sikap  Pemerintah Indonesia yang tidak transparan dalam melakukan pembahasan Amandemen UU  No. 13 Tahun 2016, atau UU Paten.  

Pembahasan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi ini menimbulkan kekhawatiran  mengenai krisis demokrasi. Lebih lanjut, RUU Paten ini juga berdampak pada mahalnya harga  obat, karena menghambat produksi generik dan lisensi wajib. Indonesia AIDS Coalition (IAC),  bersama para mitra, mendorong pemerintah untuk membuka informasi seluas-luasnya dan  memberikan ruang bagi partisipasi publik yang bermakna. Poin yang ditekankan adalah RUU  Paten harus berpihak pada kesehatan publik, bukan korporasi.  

Amandemen UU No. 13 Tahun 2016, atau UU Paten telah diajukan oleh Pemerintah Indonesia  sejak tahun 2018. Usulan Amandemen tersebut kini telah masuk ke dalam Prolegnas tahun  2024 dan berada pada tahap Pembahasan Tingkat 1 di DPR. Sehubungan dengan hal tersebut,  OMS menilai bahwa pembahasan RUU Paten digelar secara terselubung atau sembunyi 

sembunyi oleh pemerintah. Pasalnya, hingga kini draf RUU Paten tidak pernah dibuka ke  publik, bahkan poin-poin yang akan dibahas dalam RUU tersebut juga tidak pernah  diinformasikan secara jelas. Padahal, RUU Paten akan berdampak signifikan pada kehidupan  masyarakat, termasuk akses terjangkau ke obat-obatan. Hal ini disebabkan RUU akan mengatur  mengenai perlindungan paten atas produk, termasuk obat-obatan. Selain perlindungan, RUU  juga akan mengatur mengenai pelaksanaan paten, lisensi wajib, penggunaan paten oleh  pemerintah, dst. yang merupakan dasar hukum penting bagi produksi generik ataupun  pengadaan obat secara cepat pada kondisi darurat, seperti misalnya pandemi COVID-19.  

Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana, menyampaikan bahwa  Amandemen UU Paten harus berpihak pada kelompok pasien dengan memastikan akses terjangkau ke obat-obatan. Bukan kepada kepentingan segelintir korporasi. Selain  penghematan dari segi biaya yang dikeluarkan oleh individu untuk berobat, turunnya harga  obat juga akan berdampak pada penghematan anggaran negara. Sebagai contoh, IAC pernah mengadvokasikan penurunan harga obat HIV, atau ARV, jenis TLE sebesar 48%, dari US$ 28  per botol (IDR 453,000) di tahun 2016 menjadi US$ 15 (IDR 242,680) di tahun 2020 sebagai  akibat dari kompetisi generik. Dari penurunan harga tersebut, diprediksi akan terdapat  penghematan anggaran negara sebesar US $ 8 juta per tahun, yang dapat menambah jumlah  Orang dengan HIV (ODHIV) yang mengakses TLE sebesar 45,482, atau 92.8%. Penurunan  harga meningkatkan jumlah ODHIV yang dapat mengakses pengobatan. Selain itu,  penghematan juga dapat memberikan tambahan ruang fiskal bagi pembiayaan beberapa  komponen lain seperti pencegahan dan promosi kesehatan. 

“RUU Paten ini akan berdampak pada akses ke obat di Indonesia. Terlebih jika secara substansi  RUU tersebut tidak berpihak pada kepentingan pasien, tetapi justru kepada perusahaan farmasi  sebagai pemilik paten. Lebih jauh, hal ini akan berdampak pada beban ekonomi masyarakat  sekaligus negara yang harus menanggung mahalnya harga obat di sistem JKN. Karenanya,  masyarakat sipil menyampaikan keprihatinan sekaligus kekhawatiran sebab pembahasan RUU  Paten ini sedari sejak awal dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan masyarakat sipil.  Bahkan sejauh ini belum ada draf yang dibuka ke publik,” ujar Aditya Wardhana. 

Pembahasan yang dilakukan secara tertutup ini menjadi perhatian dari OMS, terlebih dalam  beberapa tahun belakangan telah terjadi krisis demokrasi yang mana beragam UU disusun  dengan cara yang tidak transparan dan minim partisipasi, salah satunya adalah UU No. 6 Tahun  2023, atau UU Cipta Kerja. Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat  Maulana Sidik, menyampaikan bahwa salah satu isi dari UU Cipta Kerja adalah merevisi pasal  penting dari UU Paten, yakni Pasal 20 mengenai prinsip local working.  

“Wacana Amandemen UU Paten tanpa pelibatan dari masyarakat sipil ini semakin  memperkeruh krisis demokrasi. Belakangan banyak UU dibahas secara kilat tanpa melibatkan  partisipasi publik dan secara substansi justru berpihak kepada para pemilik modal. UU Cipta  Kerja yang di dalamnya juga merevisi Pasal 20 UU Paten sudah sempat diputus  inkonstitusional oleh MK. Karenanya, kami mendesak agar pembahasan RUU Paten ini  dilakukan secara transparan dan memberikan ruang bagi partisipasi publik yang bermakna,”  ujar Rahmat Maulana Sidik. 

Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa RUU Paten ditujukan untuk mengakomodir  kepentingan liberalisasi perdagangan. Indonesia sebagai negara yang tergabung di dalam  Organisasi Perdagangan Dunia, atau WTO, terikat dalam standar aturan mengenai Hak  Kekayaan Intelektual (HKI) yang diatur dalam Perjanjian TRIPS. Saat ini, Pemerintah 

Indonesia sedang banyak mendorong perjanjian perdagangan bebas di tingkat bilateral ataupun  regional yang mendorong standar perlindungan HKI yang lebih ketat.  

Koordinator Program Kesehatan IGJ, Agung Prakoso, menyampaikan bahwa saat ini beberapa  perjanjian perdagangan bebas yang sedang dinegosiasikan mendesak agar Indonesia  menetapkan standar perlindungan HKI yang lebih tinggi, seperti pada Perjanjian Kemitraan  Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa atau I-EU CEPA. Saat ini, desakan tersebut tidak  diterima karena dianggap bertentangan dengan UU nasional.  

“Uni Eropa melalui I-EU CEPA mendesak agar Indonesia menerapkan standar perlindungan  paten yang lebih tinggi, seperti perpanjangan masa perlindungan paten melebihi 20 tahun dan  menghalangi pemanfaatan fleksibilitas TRIPS yang dapat mendorong obat-obatan generik.  Pemerintah memang menyampaikan hal itu tidak dapat diterima karena bertentangan dengan  UU Paten. Namun terdapat kekhawatiran revisi UU Paten diarahkan untuk hal tersebut terlebih  dengan tidak adanya draf yang dibuka ke publik, spekulasi ini sangat wajar untuk muncul,”  tambah Agung Prakoso.

“Kami mendesak agar Pemerintah Indonesia tidak terburu-buru dalam melakukan Amandemen  UU Paten tanpa sebelumnya memastikan bahwa hal tersebut berpihak pada kesehatan publik.  Yaitu, menetapkan standar patentabilitas yang tinggi sehingga mendorong pendaftaran paten  yang berkualitas; mencegah patent evergreening dan perpanjangan masa perlindungan paten  secara tidak semestinya melalui second medical use; memaksimalkan pemanfaatan lisensi  wajib; menyederhanakan prosedur penggunaan paten oleh pemerintah, serta mendukung  produksi obat generik dalam negeri melalui ketentuan local working. Kami juga meminta  pemerintah agar membuka ke publik informasi terkait dengan Amandemen UU Paten, baik itu  draf Amandemen, DIM, maupun risalah rapat. Juga membuka ruang bagi keterlibatan publik  melalui RDPU,” tutup Aditya. 

Narahubung: 

Agung Prakoso, Program Officer, Indonesia for Global Justice 

E: agung.prakoso@igj.or.id 

P: +6285788730007 

Budi Larasati, Project Officer, Indonesia AIDS Coalition 

E: blarasati@iac.or.id 

P: +6287777494801 

Tentang Indonesia for Global Justice: 

Indonesia for Global Justice adalah organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu  perdagangan bebas dan dampaknya kepada masyarakat, termasuk pada sektor kesehatan.  Selengkapnya di: igj.or.id 

Tentang Indonesia AIDS Coalition: 

Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah organisasi berbasis komunitas yang berkontribusi pada  upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam  program penanggulangan HIV-AIDS nasional melalui kolaborasi dengan para pemangku  kepentingan.  

Berdiri sejak tahun 2011, IAC memiliki pengalaman pengelolaan dana hibah yang ekstensif  dan menjalin kemitraan dengan sejumlah K/L dan lembaga internasional seperti Komisi 9 DPR,  Kementerian Kesehatan, Kantor Staf Presiden, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian  Dalam Negeri, Komnas HAM, Komnas Perempuan, UNAIDS, UNFPA, UN Women, UNDP,  kelompok pasien, serta jaringan nasional populasi kunci. Selengkapnya di: iac.or.id/id

Download File
Previous Post

Siaran Pers: Panitia People’s Water Forum (PWF) Mendesak kepada Institusi Negara dan Aparat Hukum Polri dan TNI untuk Mengusut Tuntas, Memeriksa dan Menjatuhkan Sanksi Hukum kepada Oknum-oknum Sipil dan Aparat (Polisi dan TNI) yang Diduga Terlibat Dalam Peristiwa Pencegahan, Penyerangan, Pembubaran Paksa, Pemblokadean dan Penyanderaan terhadap Panitia, Peserta dan Pembicara pada Acara Diskusi PWF di Denpasar, Bali.

Next Post

Siaran Pers: Koalisi Obat Murah: RUU Paten Menghambat Akses ke Obat dan Menambah Beban Biaya Kesehatan

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655

  • Indonesia