Jakarta, Jumat (30/8) – Indonesia AIDS Coalition (IAC) dan Indonesia for Global Justice (IGJ), bersama Koalisi Obat Murah (KOM), mengkritik RUU Paten yang saat ini sedang menjalani pembahasan di DPR. Masyarakat sipil menilai bahwa RUU Paten tidak hanya memperpanjang masa monopoli paten atas obat, tetapi juga memperlemah mekanisme yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan akses masyarakat ke obat.
Hal ini terlihat dari penghapusan Pasal 93 mengenai lisensi wajib untuk produk farmasi. Sebelumnya, dalam UU No.13 tahun 2016 tentang Paten, lisensi wajib untuk produk farmasi dapat dikeluarkan oleh Menteri. Akan tetapi, perubahan di RUU Paten mengarahkan lisensi wajib pada penggunaan paten oleh pemerintah. Padahal, lisensi wajib untuk produk farmasi adalah safeguard, atau perlindungan negara, dari praktik monopoli oleh segelintir perusahaan farmasi. Terdapat banyak kasus saat perusahaan farmasi mendaftarkan paten hanya untuk mencegah pihak lain memanfaatkan paten tersebut. Sementara, di sisi lain, perusahaan farmasi pemegang paten tidak kunjung melaksanakan paten. Praktik ini dikenal dengan istilah patent blocking, yang merugikan masyarakat.
Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana, memperjelas “Ketentuan lisensi wajib ini adalah semacam safeguard dari praktik monopoli oleh perusahaan farmasi. Jika perusahaan farmasi melakukan blocking, maka produsen lokal dapat mengajukan lisensi wajib terhadap paten tersebut. Lisensi wajib juga dapat digunakan sebagai bargaining chip oleh negara karena perusahaan pemegang paten seringkali memberikan lisensi sukarela demi mencegah lisensi wajib oleh suatu negara.”
IAC menilai bahwa penghapusan lisensi wajib untuk produk farmasi dengan tujuan memperluas dan reposisi ke penggunaan paten oleh pemerintah sebagai langkah yang tidak tepat. “Meskipun belum pernah dilakukan, bukan berarti lisensi wajib tidak perlu ada ataupun perlu direposisi ke penggunaan paten oleh pemerintah. Sebab, keduanya merupakan hal yang berbeda. Lisensi wajib untuk produk farmasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 93 UU Paten penting untuk tetap ada demi melengkapi upaya-upaya lain yang dapat ditempuh demi mendorong akses ke obat,” tegas Aditya di Jakarta, Jumat (30/8).
Senada dengan pernyataan tersebut, Peneliti Senior IGJ, Lutfiyah Hanim menambahkan bahwa RUU tidak hanya menghambat akses ke obat, tetapi juga memasukkan ketentuan-ketentuan yang tidak perlu. Ketentuan tersebut salah satunya penambahan frasa baru terkait paten metode. “Indonesia menyusun UU terkait Hak Kekayaan Intelektual, termasuk UU Paten, dengan merujuk kepada perjanjian TRIPS sebagai implikasi dari keanggotaan di WTO. TRIPS menetapkan standar minimum sehingga tidak ada urgensi bagi negara anggota WTO, terutama negara berkembang, untuk menambah kategori paten. Paten metode yang diatur dalam Pasal 19 Ayat 1 huruf c RUU Paten ini tidak dikenal dalam TRIPS, sehingga pada dasarnya tidak dibutuhkan untuk diatur di regulasi nasional. Lebih celakanya, klausul mengenai paten metode ini telah dimasukkan sedari dulu melalui UU Cipta Kerja yang prosesnya inkonstitusional dan tanpa keterlibatan dari masyarakat sipil.”
Selain memberatkan masyarakat, masyarakat sipil juga menilai bahwa RUU Paten akan memberatkan pemerintah karena beban ekonomi seiring dengan menguatnya monopoli obat, yang berpengaruh pada anggaran kesehatan. “Pemerintah dan DPR harus melihat bahwa terdapat kepentingan kuat dari perusahaan farmasi di dalam RUU ini. Hal ini akan menjadi beban ekonomi bagi masyarakat, juga negara yang harus menanggung mahalnya harga obat di sistem kesehatan nasional,” ujar Agung Prakoso, anggota KOM sekaligus Koordinator Program Isu Kesehatan IGJ di Jakarta, Jumat (30/8).
Harga merupakan isu yang penting. Salah satu upaya advokasi yang pernah dilakukan oleh IAC terbukti mendorong penghematan anggaran negara. Yakni, penurunan harga obat HIV, atau ARV, jenis TLE dari US$ 28 per botol (Rp. 453.000) pada tahun 2016 menjadi US$ 15 (Rp. 242.680) pada tahun 2020, melalui dorongan untuk membuka kompetisi generik. Penurunan hingga 48% ini menghemat anggaran negara sebesar US$ 8 juta per tahun. Implikasinya adalah semakin banyak Orang dengan HIV (ODHIV) yang dapat mengakses pengobatan, yang pada akhirnya berkontribusi pada target kesehatan Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri AIDS di tahun 2030.
KOM menyayangkan proses penyusunan RUU Paten yang terkesan dilakukan secara tertutup dan terburu-buru, juga tidak melibatkan kelompok masyarakat sipil, sehingga terdapat sejumlah pasal yang justru merugikan kesehatan publik. ”Pembahasan RUU Paten ini tidak hanya dilakukan secara tertutup tetapi juga terburu-buru tanpa adanya partisipasi bermakna dari kelompok masyarakat sipil. Akibatnya adalah RUU yang mengedepankan kepentingan bisnis dari pemegang paten dan mengabaikan hak-hak pasien. Hal ini amat kami sayangkan,” tutup Agung di Jakarta, Jumat (30/8).
Narahubung:
Agung Prakoso, Program Officer, Indonesia for Global Justice
E: agung.prakoso@igj.or.id
P: +6285788730007
Budi Larasati, Project Officer, Indonesia AIDS Coalition
E: blarasati@iac.or.id
P: +6287777494801
Tentang Indonesia for Global Justice:
Indonesia for Global Justice adalah OMS yang berfokus pada isu perdagangan bebas dan dampaknya kepada masyarakat, termasuk pada sektor kesehatan. Selengkapnya di: igj.or.id
Tentang Indonesia AIDS Coalition:
Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah organisasi berbasis komunitas yang berkontribusi pada upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam program penanggulangan HIV-AIDS nasional melalui kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Selengkapnya di: iac.or.id/id
Siaran Pers lengkap dapat diakses melalui: