Oleh: Anang Isal – Program Officer Bisnis dan HAM IGJ
Pengaruh Amerika Serikat (AS) kian hari semakin merosot. Kemerosotan ini dapat terlihat di berbagai tempat, dimana Arab Saudi yang padahal merupakan sekutu AS secara terbuka menentang Washington. Pada tanggal tanggal 6 Juni 2023, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berkunjung ke Arab Saudi. Kunjungan tersebut tidak mendapat sambutan yang baik dari Arab Saudi, karena tidak ada Konferensi Pers, pengibaran bendera AS sebagai negara tamu dan foto kegiatan pertemuan.
Sehari setelah kunjungan Blinken, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman menelepon Vladimir Putin (Presiden Rusia) dan sepakat meningkatkan kerjasama Arab-Rusia. Hal ini menjadi tamparan keras bagi AS, karena selama ini AS telah berusaha keras mengisolasi dan mengembargo Rusia sebab konflik Ukraina.
Pada tanggal 24 Agustus 2023 Rusia memprakarsai koalisi yang diinisiasi oleh beberapa negara berkembang, koalisi ini bernama “BRICS” yang merupakan singkatan dari nama anggota koalisi tersebut diantaranya: Brazil, Russia, India, China and South Africa. BRICS didirikan untuk menentang dominasi politik AS dan sekutu barat lainnya. Hubungan diplomatik negara rival AS (Rusia dan Tiongkok) semakin kuat tatkala bergabungnya Arab Saudi kedalam Koalisi BRICS tersebut disusul Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran dan Uni Emirat Arab (UEA). selain daripada itu, terdapat 40 negara yang berminat untuk bergabung dengan Koalisi BRICS diantaranya juga Indonesia. Keberadaan BRICS sangat mengancam bagi “status quo” negara barat karena BRICS menawarkan alternatif ekonomi baru, yaitu meninggalkan dollar AS dan menggunakan transaksi mata uang dimana negara melangsungkan transaksi.
Pengaruh AS terhadap negara berkembang kian melemah, tidak hanya pada wilayah Arab Saudi semata, rupanya pengaruh AS di kawasan ASEAN juga kian melemah. Pengaruh AS di kawasan Asia Tenggara, saat ini hanyalah meliputi dua negara saja yakni: Singapura dan Filipina, selain itu pasca Donald Trump menarik diri pada kemitraan Trans-Pacific Partnership (TPP) 2017 lalu, mengakibatkan merosotnya kredibilitas dan pengaruh AS tidak hanya di Asia Tenggara saja melainkan juga di dunia.
Demi memperkuat keterlibatan ekonomi politik dan strategi AS di kawasan Indo Pasifik, AS menyusun kerangka kerjasama ekonomi dengan negara kawasan Indo-Pasifik yang diberi nama Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Melalui inisatif AS diharapkan bahwa IPEF dapat mempromosikan perdagangan yang adil dan terbuka, meningkatkan kerja sama ekonomi, dan memperkuat hubungan dengan negara-negara di kawasan tersebut. Melalui IPEF, AS berupaya untuk menetapkan standar tinggi dalam perdagangan dan investasi, serta mengatasi tantangan ekonomi global seperti perubahan iklim, rantai pasokan yang aman, dan ekonomi digital.
Mengenal IPEF
IPEF merupakan kerangka kerja sama yang di inisiasi oleh AS dengan negara anggota di kawasan Indo-Pasifik dengan tujuan untuk memperkuat hubungan perdagangan negara-negara anggota. Presiden Biden meluncurkan IPEF pada bulan mei 2022 lalu, negara lain yang berpartisipasi dalam negosiasi IPEF terdiri dari Australia, Brunei, Fiji, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, New Zeland, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Thailand dan Vietnam.
Dalam perundingan IPEF terdiri dari 4 pilar pembahasan yaitu diantaranya pilar I: Perdagangan (Trade), Pilar II: Rantai Pasokan (Supply Chain), Pilar III Ekonomi Hijau/Bersih (Clean Economy) dan Pilar IV: Ekonomi Berkeadilan dan Anti Korupsi (Fair Economy). IPEF sebenarnya bukanlah perjanjian perdagangan bebas seperti Free Trade Agreements (FTAs) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melakukan negosiasi dan mengajukan proposal secara terbuka kepada negara anggota dan masyarakat sipil, melainkan IPEF merupakan perjanjian tertutup (less open) dan sangat rahasia yang informasinya sangat sulit diketahui untuk umum.
Melalui IPEF AS berharap dapat memperkuat aliansi dan kemitraan dengan negara anggota, serta mempromosikan nilai-nilai seperti transparansi, tata kelola yang baik, dan standar tenaga kerja dan lingkungan yang tinggi, namun IPEF tidak dirancang sebagai perjanjian perdagangan tradisional dengan akses pasar yang luas, tetapi lebih sebagai kerangka kerja untuk kerja sama ekonomi yang lebih luas yang mencakup berbagai isu seperti standar perdagangan, rantai pasokan, infrastruktur, dan energi bersih.
Disisi lain IPEF mencerminkan bagaimana AS secara sepihak berusaha melakukan standarisasi regulasi terhadap berbagai pilar, AS mencanangkan proses sertifikasi untuk memastikan bahwa negara-negara lain mengubah hukum dan kebijakan domestik mereka agar dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh IPEF, yang pada dasarnya sejalan dengan kepentingan dan seringkali menguntungkan korporasi AS.
Hingga saat ini Indonesia telah menandatangani Pilar II IPEF karena dipercaya dapat menjadi bagian yang dianggap reliable, standar yang setara dan aman untuk masuk ke dalam supply chain global, Selain itu Menko Airlangga Hartanto mendorong komitmen IPEF dalam melanjutkan Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGGII), dimana Indonesia sudah diberikan prioritas dari tujuh negara yang akan memperoleh fasilitasi mengenai semikonduktor.
Pada tanggal 16 november 2023 Presiden Joko Widodo dalam pidatonya saat menghadiri forum IPEF di San Fransisco menekankan bahwa perjanjian kerjasama IPEF harus saling menguntungkan setiap negara serta saling memahami kebutuhan nasional dan kepentingan negara berkembang, namun apakah IPEF merupakan kerjasama yang “saling menguntungkan” antar negara? Pada kenyataannya IPEF bukanlah kerangka kerjasama untuk “saling menguntungkan”, melainkan merupakan aksi penyelamatan AS untuk membendung serangan ekonomi yang dilancarkan negara kawasan BRICS. AS sebenarnya tidak bersungguh-sungguh untuk mengurangi emisi karbon dan menegakkan regulasi anti korupsi, melainkan hanya sekedar untuk menyaingi pengaruh Tiongkok.
Yang Disembunyikan dalam IPEF
Terlepas dari tujuan mulia untuk mewujudkan green economy atau ekonomi berkeadilan, IPEF pada dasarnya adalah kerjasama yang diinisiasi oleh amerika untuk melawan ekonomi Tiongkok yang semakin hari memperkuat taringnya. IPEF bukanlah perjanjian liberalisasi perdagangan untuk mengurangi hambatan dagang tiap negara anggota seperti dalam kerjasama RCEP, namun IPEF ternyata lebih buruk dari sekedar “liberalisasi”. Sertifikasi dalam standar IPEF pada dasarnya hanya menguntungkan AS semata, melalui standarisasi regulasi IPEF berusaha untuk melakukan neokolonialisme terhadap negara berkembang.
Melalui IPEF AS memiliki kemampuan untuk mengkolonialisasi negara-negara berkembang dan melemahkan kerjasama negara regional khususnya asia tenggara yang memiliki Outlook Asean mengenai Indo-Pasifik. Negara kawasan ASEAN sebenarnya sudah lama memiliki aspirasi untuk kerjasama dan kolaborasi kawasan Indo-Pasifik, namun dengan adanya IPEF justru akan mengakibatkan kerjasama regional tunduk dan bergantung pada AS dan negara-negara kolonial lainnya untuk mendominasi negara berkembang. Negara berkembang hanya dijadikan sapi perah untuk dieksploitasi bahan mentah dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang murah.
Persyaratan “transparansi” dan “praktik regulasi yang baik” yang diusulkan untuk IPEF dapat meningkatkan pengaruh AS dan perusahaan multinasionalnya, serta efek mengerikan dari ancaman untuk membalas secara unilateral atau dengan membawa sengketa perdagangan jika tindakan yang ditargetkan dilanjutkan. Ini dapat membatasi kemampuan negara-negara anggota IPEF untuk membuat kebijakan domestik mereka sendiri.
Selain daripada itu komitmen IPEF adalah melanjutkan kerjasama JETP yang akan sangat mengkhawatirkan karena dapat memupuk utang di negara berkembang. Skema mekanisme kerjasama JETP adalah memobilisasi pendanaan sebesar 21,6 Miliar Dollar AS atau sekitar 336 Triliun rupiah, dari angka tersebut dana hibahnya hanya sekitar 1,37% yakni 295 Juta Dollar (Rp. 4,6 Trilian) dan sisanya berupa utang. Dengan dalih “green economy” AS berusaha menciptakan beban finansial baru untuk mengontrol perekonomian negara berkembang.
Selain dianggap dapat merugikan negara anggota IPEF juga ternyata dikhawatirkan dapat mengancam hak tenaga kerja dan semakin memperkuat kekuatan kapitalisme AS. Terutama dalam agenda digital trade (perdagangan digital) yang secara sepihak akan menguntungkan AS, dimana digital trade akan dimonopoli oleh big tech AS seperti Amazon, Apple, Google dan Meta. Melalui IPEF perusahaan Big Tech akan menggunakan perjanjian ini sebagai jalan belakang untuk menghalangi dan mengakali peraturan dalam negeri dan penegakan hukum anti monopoli. Melalui kekuatan kapital dan lobi politik perusahaan-perusahaan big tech mencoba untuk membajak perundingan IPEF dan mengancam keberlanjutan hidup tenaga pekerja, konsumen dan pengusaha kecil. Mereka (big tech) menginginkan peraturan yang mengikat untuk memborgol Kongres, lembaga-lembaga AS dan pemerintah negara anggota untuk meninggalkan kebijakan yang mengakhiri pelanggaran perusahaan big tech terhadap pekerja, pelanggaran privasi dan data pribadi konsumen dan hak-hak sipil, serta penyalahgunaan usah kecil.
Alih-alih “menguntungkan” IPEF justru akan semakin “membuntungkan” negara anggota dan memperkaya segelintir pihak, membatasi kebijakan dan kedaulatan negara berkembang dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi hanya untuk melawan pengaruh ekonomi Tiongkok pada kawasan Indo-Pasifik. AS rupanya tidak serius dalam meningkatkan kerjasama untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan kesejahteraan ekonomi, sebaliknya IPEF justru menjadi batu loncatan AS untuk melakukan kolonialisasi terhadap negara berkembang demi melawan pengaruh China dan negara kompetitor lainnya.
Informasi lebih lanjut:
M. Aryanang Isal
Program Officer Bisnis dan Hak Asasi Manusia
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Email: anangisal@igj.or.id
Alamat:
Rengas Besar No. 35C, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Website: www.igj.or.id
Email: igj@igj.or.id