Prof. Emeritus Brook K. Baker, Northeastern U. School of Law
30 September 2024
Artikel ini telah dimuat sebelumnya di situs infojustice.org dan dapat diakses melalui tautan berikut: https://infojustice.org/archives/45957
Dengan minimnya kesempatan bagi masyarakat sipil dan pihak-pihak terkait untuk memberikan masukan, Pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan berbagai amandemen besar terhadap Undang-Undang Paten No. 13 Tahun 2016. Beberapa di antaranya akan memperpanjang monopoli paten dan menguntungkan perusahaan obat multinasional, namun merugikan pemerintah, pasien, dan pihak lain yang membayar biaya kesehatan. Walaupun beberapa perubahan yang diusulkan mungkin bermanfaat, ada yang jelas tidak demikian. Saya, yang sebelumnya pernah berkonsultasi dengan pemerintah terkait amandemen tahun 2016, merasa sangat khawatir dengan perubahan yang diusulkan yang akan memudahkan pemegang paten biofarmasi untuk mendapatkan perlindungan paten tambahan selama 20 tahun untuk paten sekunder atau paten “evergreening,” yaitu paten yang didasarkan pada penemuan yang rutin atau perubahan kecil terhadap zat medis yang sudah dikenal yang tidak memberikan manfaat terapi yang signifikan.
Undang-Undang Paten Indonesia saat ini dengan bijaksana mengecualikan perlindungan paten sekunder untuk “penggunaan baru dari produk yang sudah ada atau yang sudah diketahui” (Pasal 4(f)(1)) dan “bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan khasiat yang meningkat secara signifikan dan mengandung struktur kimia yang berbeda dari senyawa yang sudah diketahui” (Pasal 4(f)(2)). Walaupun deskripsi ini mungkin terdengar rumit, sebenarnya cukup mudah dipahami.
Paten seharusnya hanya diberikan untuk penemuan yang benar-benar baru, inovatif, dan dapat diterapkan secara industri. Penelitian dan pengembangan ilmiah yang memakan waktu dan biaya untuk menghasilkan bahan aktif baru yang memiliki manfaat medis praktis adalah contoh paten yang layak. Namun, ketika paten diberikan, itu sudah didasarkan pada kegunaan medis tertentu, dan penemunya mendapatkan hak selama 20 tahun untuk melarang pesaing masuk—yang pada banyak kasus menjadi monopoli. Paten ini memungkinkan pemegang paten untuk memaksimalkan keuntungan dan menetapkan harga sesuai dengan kemampuan pasar, terutama pasar sektor swasta yang lebih kaya.
Namun, kita tahu bahwa banyak obat memiliki lebih dari satu kegunaan—satu obat dapat digunakan untuk mengobati beberapa penyakit. Penelitian untuk menemukan kegunaan baru ini secara rutin dilakukan oleh perusahaan biofarmasi karena penggunaan baru yang disetujui akan memperluas penjualan dan meningkatkan keuntungan. Selain itu, penelitian untuk kegunaan baru umumnya lebih murah dan tidak memakan waktu lama karena bahan aktifnya sudah terbukti aman. Perjanjian WTO tentang Aspek Terkait Hak Kekayaan Intelektual (TRIPS) yang mengatur standar internasional tidak mengharuskan Indonesia atau negara lain memberikan paten untuk kegunaan terapi baru. Bahkan, TRIPS secara eksplisit menyatakan bahwa anggota WTO dapat mengecualikan “metode terapeutik untuk pengobatan manusia” dari kelayakan paten (Pasal 27(3)(a) TRIPS).
Selain itu, perusahaan obat sering “memanfaatkan” sistem paten dengan menunda penelitian pada kegunaan baru agar mereka bisa mengajukan permohonan paten penggunaan baru menjelang akhir masa paten 20 tahun, sehingga mereka bisa mendapatkan perlindungan paten tambahan selama 20 tahun lagi. Ironisnya, ini tidak hanya memperpanjang masa monopoli dan harga tinggi, tetapi juga mengurangi insentif perusahaan untuk melakukan penelitian pada kegunaan baru yang penting lebih awal. Dengan mengadopsi aturan larangan paten untuk kegunaan baru pada tahun 2016, Indonesia, seperti India dan beberapa negara lainnya, menolak tuntutan industri untuk perlindungan paten “evergreening”. Keputusan Indonesia ini tidak berdampak negatif pada penelitian yang dilakukan oleh perusahaan multinasional besar, dan justru dapat menghemat biaya sistem kesehatan karena masuknya produsen obat generik dan biosimilar lebih awal.
Contoh yang terkenal tentang obat dengan banyak kegunaan adalah Humira milik AbbVie (nama generik adalimumab), yang digunakan untuk mengobati sebelas kondisi, termasuk rheumatoid arthritis, Crohn’s disease, colitis ulseratif, dan lainnya. AbbVie mengajukan 311 permohonan paten untuk Humira di AS, 165 di antaranya disetujui, termasuk banyak paten untuk kegunaan baru. Paten kegunaan baru dan paten sekunder lainnya menambahkan lebih dari 19 tahun ke masa monopoli Humira. Humira menjadi obat terlaris dalam sejarah, dengan penjualan global sebesar USD 208 miliar antara tahun 2002 dan 2022, USD 114 miliar di antaranya diperoleh selama periode evergreening.
Indonesia juga dengan bijak memilih untuk mengecualikan paten baru pada bentuk baru (variasi kecil) dari struktur kimia senyawa medis yang sudah dikenal jika variasi tersebut tidak menghasilkan manfaat terapi yang lebih baik secara signifikan. Kepentingan perusahaan biofarmasi hampir selalu terletak pada terus mengoptimalkan senyawa mereka melalui penjelajahan yang sudah dikenal terhadap garam, ester, dan substitusi/variasi lainnya. Contoh terkenal dari obat variasi senyawa yang mendapatkan perlindungan paten eksklusif baru yang sangat menguntungkan di banyak negara adalah Glivec, obat kanker dari Novartis. Obat ini didasarkan pada variasi kecil dari senyawa dasar, imatinib. Mahkamah Agung India, yang menerapkan aturan larangan paten yang sama, memutuskan bahwa bentuk kristal beta dari imatinib yang dipilih tidak dapat dipatenkan karena tidak menunjukkan efektivitas yang meningkat secara signifikan. Sekali lagi, ketentuan ini mencegah perlindungan paten yang diperpanjang atau diperbaharui untuk modifikasi yang rutin dan sepele, dan pada akhirnya menghemat biaya kesehatan publik maupun swasta.
Satu kekurangan terakhir dalam amandemen kriteria paten yang diusulkan adalah adanya ketentuan yang ambigu tentang paten “metode, sistem, dan penggunaan” (Pasal 19(1)(c) yang diusulkan). Paten ini tidak hanya tidak didefinisikan, tetapi juga menimbulkan ambiguitas yang tidak perlu mengenai kelayakan paten untuk “metode bisnis” dan paten penggunaan medis/terapeutik, yang seharusnya dikecualikan dari perlindungan paten. Untuk diingat kembali, Perjanjian TRIPS tidak mengharuskan perlindungan untuk paten semacam ini.
Masih ada kekurangan lain dalam amandemen yang diusulkan, dan beberapa perubahan yang bermanfaat bisa ditingkatkan lebih lanjut. Indonesia sebaiknya memperlambat proses reformasi paten dan mempertimbangkan analisis kritis yang akan mempertahankan dan memperkuat kemampuannya untuk melindungi populasi dari risiko perlindungan paten yang tidak perlu dan merugikan. Khususnya, Indonesia seharusnya mempertahankan ketentuan yang ada yang mencegah perpanjangan monopoli paten yang merugikan pada obat-obatan.