Jakarta, 4 Oktober – Indonesia AIDS Coalition (IAC), organisasi berbasis komunitas yang bekerja di isu HIV, bersama dengan para mitra, telah mengajukan banding ke Komisi Banding Paten, Kementerian Hukum dan HAM RI, untuk membatalkan paten yang diberikan kepada Gilead Sciences, sebuah perusahaan farmasi multinasional, untuk obat HIV Lenacapavir. Proses ini telah berlangsung sejak awal tahun 2024, dengan agenda sidang selanjutnya dijadwalkan untuk hari Selasa (08/10) di Jakarta.
Banding paten ini amat penting untuk memastikan akses ke pengobatan yang optimal bagi Orang dengan HIV (ODHIV), termasuk melalui produksi generik lokal, juga untuk keberlanjutan dari program HIV-AIDS nasional di Indonesia.
Pengumuman dari Gilead mengenai lisensi sukarela yang diberikan kepada enam perusahaan untuk memproduksi Lenacapavir versi generik masih belum cukup untuk memastikan akses yang memadai. Lisensi tersebut mengecualikan produsen generik di Indonesia dan mencantumkan beberapa persyaratan anti-persaingan yang ketat, yang memungkinkan Gilead untuk mempertahankan monopoli dan memastikan agar harga tetap mahal. Jika paten ini ditolak, maka akan dibuka ruang bagi kompetisi generik yang secara signifikan dapat menurunkan harga Lenacapavir.
Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif IAC, mengatakan bahwa langkah ini diambil untuk memastikan akses terjangkau bagi ODHIV di Indonesia, karena paten yang diajukan banding adalah paten sekunder. Aditya menekankan bahwa salah satu kunci demi mencapai target global 95-95-95 dan mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030 adalah obat-obatan generasi baru yang lebih efektif, efisien, dan minim efek samping.
Lenacapavir adalah obat antiretroviral (ARV) long-acting yang diproduksi oleh perusahaan farmasi Amerika Serikat, Gilead Sciences. Long-acting berarti jenis ARV ini tidak perlu diminum setiap hari, yang mana Lenacapavir diberikan dalam bentuk dua kali suntikan per tahun. “Akses pada pengobatan adalah kunci, dan Lenacapavir, sebagaimana yang disampaikan oleh UNAIDS, memiliki potensi untuk membantu mengakhiri epidemi AIDS.”
Sementara itu, Lutfiyah Hanim, Peneliti Senior Indonesia for Global Justice (IGJ), menyoroti bahwa perusahaan farmasi besar seringkali mengajukan beberapa paten untuk komponen yang sama. Hal ini dikenal sebagai praktik patent evergreening, yang memperpanjang perlindungan paten melampaui jangka waktu standar 20 tahun. Paten Lenacapavir berakhir pada tahun 2034 di Indonesia, tetapi jika paten sekunder disetujui, monopoli akan diperpanjang hingga 2037. “Karena itu, upaya banding paten yang dilakukan oleh komunitas HIV ini menjadi penting untuk menghentikan monopoli,” jelas Hanim.
Di Indonesia, Gilead telah mengajukan empat paten untuk Lenacapavir, dua di antaranya telah diberikan. Salah satu aplikasi paten mengklaim struktur kimia umum (Markush claim), dan tiga aplikasi paten lainnya (termasuk satu yang telah diberikan) mengklaim senyawa Lenacapavir dan bentuk injeksinya. Dalam proses banding, IAC berpendapat bahwa paten Gilead tidak memiliki kebaruan dan langkah inventif, yang menjadi syarat pemberian paten dalam UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.
Monopoli paten menyebabkan harga obat menjadi mahal karena tidak ada persaingan. Saat ini, Lenacapavir dijual dengan harga $42.250 per orang per tahun (PPY), atau sekitar 640 juta rupiah. Harga yang amat mahal ini membuat Lenacapavir tidak terjangkau bagi jutaan ODHIV di dunia, termasuk Indonesia. Padahal, telah terdapat studi dari Universitas Liverpool yang memperkirakan bahwa Lenacapavir versi generik dapat diproduksi secara massal dengan harga $63-$93 PPY dan bahkan bisa turun menjadi $26-$40 PPY, atau 1/1000 dari harga yang dijual saat ini.
Saat ini, program HIV-AIDS nasional, yang mencakup 503.261 ODHIV, disubsidi penuh oleh Pemerintah Indonesia. Namun, pemerintah tidak dapat mengakomodir pengadaan ARV dengan harga yang mencapai ratusan juta per orang.
Konsumsi obat ARV secara rutin amat penting bagi ODHIV, tidak hanya untuk menjaga kesehatan mereka tetapi juga untuk mencegah penularan. “Terapi ARV membuat saya bisa kembali ke masyarakat dan memberikan manfaat bagi sesama. Jika ada jenis ARV yang lebih efisien, praktis, dan terjangkau, maka hidup dengan HIV tidak lagi membatasi saya untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik,” ujar Ayu Oktariani, Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), sekaligus perempuan yang hidup dengan HIV, di Jakarta.
“Lenacapavir memiliki banyak keunggulan, untuk itu kita harus memastikan agar Lenacapavir dapat diakses oleh semua orang tanpa terkecuali. Monopoli paten yang dilakukan oleh Gilead membatasi kompetisi generik dan menghambat akses ke obat-obatan yang terjangkau di Indonesia,“ ungkap Ferry Norila, Communication, Campaign, and Advocacy Coordinator IAC.
Banding paten yang dilakukan oleh IAC merupakan bagian dari upaya advokasi untuk menentang monopoli paten oleh perusahaan-perusahaan farmasi besar yang menghambat akses ke pengobatan esensial di negara-negara berkembang. Melalui Konsorsium Make Medicines Affordable yang dipimpin oleh ITPC, berbagai organisasi berbasis komunitas di India, Argentina, Indonesia, Vietnam, dan Thailand telah mengajukan sembilan permohonan banding paten atas Lenacapavir. Organisasi-organisasi tersebut adalah Thai Network of People living with HIV (TNP+), Delhi Network of Positive People (DNP+), Fundación Grupo Efecto Positivo, Vietnam Network of People living with HIV (VNP+), dan Indonesia AIDS Coalition (IAC).
Latar Belakang
Obat ARV Lenacapavir
Terlepas dari upaya global untuk menanggulangi HIV-AIDS, epidemi ini terus berlanjut dengan 1,3 juta infeksi baru pada tahun 2023. Jika tersedia secara terjangkau, Lenacapavir dapat mendukung upaya global untuk menanggulangi HIV, terutama di negara-negara dengan tingkat infeksi tinggi. Saat ini, jumlah infeksi terus meningkat di kelompok populasi kunci di negara-negara berpendapatan menengah-rendah (LMIC).
Lenacapavir adalah ARV jenis long-acting, yang hanya perlu diberikan dua kali setahun dalam bentuk injeksi. Jenis ini dianggap lebih praktis, fleksibel, dan cocok digunakan oleh ODHIV yang tidak mau ataupun terkendala untuk meminum obat setiap hari. Saat ini, Lenacapavir sedang diselidiki penggunaannya untuk PrEP, atau pencegahan HIV. Karena potensinya, UNAIDS menyatakan bahwa Lenacapavir menjadi harapan dunia untuk mengakhiri AIDS, dengan catatan bahwa akses dibuka bagi semua, tanpa terkecuali.
Akses ke Lenacapavir saat ini masih terhalang oleh harga yang amat mahal, yang mencapai $42.250 PPY.
Hasil uji klinis CAPELLA menemukan bahwa Lenacapavir, bersama dengan terapi ARV lain, menunjukkan hasil yang baik untuk supresi VL bagi ODHIV resisten obat. Hasil yang baik juga ditunjukkan untuk uji klinis PURPOSE 1, yang menunjukkan tingkat efikasi 100% dari Lencapavir untuk pencegahan HIV bagi perempuan cis dan muda di Afrika Sub Sahara. Keberhasilan ini dilanjutkan oleh uji klinis PURPOSE 2, yang mana efikasi mencapai 96% bagi laki-laki cis dan kelompok ragam gender dan seksualitas di negara-negara Amerika Latin, Asia, dan Afrika Selatan.
Amat disayangkan ketika Lenacapavir, dengan segala keunggulannya, tidak dapat diakses oleh jutaan orang yang membutuhkan karena harga yang teramat mahal.
Tentang Indonesia AIDS Coalition:
Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah organisasi berbasis komunitas yang berkontribusi pada upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam program penanggulangan HIV-AIDS nasional melalui kolaborasi dengan para pemangku kepentingan. Selengkapnya di: iac.or.id/id
Tentang Indonesia for Global Justice:
Indonesia for Global Justice adalah OMS yang berfokus pada isu perdagangan bebas dan dampaknya kepada masyarakat, termasuk pada sektor kesehatan. Selengkapnya di: igj.or.id
Contact
Budi Larasati, Project Officer, Indonesia AIDS Coalition
E: blarasati@iac.or.id
P: +62 877 7749 4801
Agung Prakoso, Program Officer, Indonesia for Global Justice
E: agung.prakoso@igj.or.id
P: +6285788730007