Jakarta, 26 Januari 2025. Saat kita memasuki tahun 2025, 54 negara mengalami krisis utang, terpaksa memangkas pengeluaran mereka untuk layanan publik dasar dan aksi iklim untuk membayar utang luar negeri. Merujuk pada laporan ActionAid yang berjudul “Who Owes Who?”, poin kritis dapat dilihat pada permasalahan arsitektur utang global saat ini.
Negara-negara kaya sering kali terhindar dari konsekuensi utang yang berat, sementara negara-negara berpenghasilan rendah menghadapi langkah-langkah penghematan yang berat yang diberlakukan oleh lembaga-lembaga seperti IMF. Sistem ini secara tidak proporsional memengaruhi perempuan dan kelompok berpenghasilan rendah di negara-negara ini, yang menanggung beban pemotongan layanan publik.
Menurut laporan ActionAid tersebut, argumen penting yang perlu digaris bawahi adalah utang historis negara-negara kaya, termasuk ganti rugi atas perdagangan transatlantik dan eksploitasi kolonial, jauh lebih besar daripada utang luar negeri negara-negara miskin.
Dokumen tersebut menyerukan reformasi besar dalam sistem keuangan global yang akan memprioritaskan hak asasi manusia, keadilan iklim, dan penyelesaian utang yang adil. Dokumen tersebut mendesak agar negara-negara kaya membayar “utang historis”, “utang iklim” dan ganti rugi lainnya, sebagai upaya untuk mengubah sistem keuangan internasional yang dapat memberikan manfaat untuk Negara-negara Selatan.
Berikut fakta-fakta menarik lainnya dalam laporan:
- 54 negara mengalami krisis utang, menghabiskan lebih banyak uang untuk pembayaran utang daripada untuk layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan.
- Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah berutang utang luar negeri sebesar US$ 1,45 triliun.
- Perempuan dan kelompok berpenghasilan rendah paling menderita akibat pemotongan ini, dengan pekerjaan perawatan yang tidak dibayar meningkat.
- Pada tahun 2023, negara-negara ini membayar US$ 138 miliar untuk pembayaran utang, yang lebih besar dari pengeluaran mereka untuk layanan publik yang penting.
- Kesenjangan dalam akses pendanaan. Negara-negara berpendapatan rendah membayar suku bunga yang lebih tinggi atas pinjaman yang mereka ambil dibandingkan dengan negara-negara kaya. Terdapat perpecahan geografis yang jelas dan ekstrem. Misalnya: Jerman dapat secara rutin meminjam uang dan hanya dikenakan bunga 0,8% karena dianggap sebagai investasi yang aman. Negara-negara di Asia akhirnya dikenakan biaya hampir tujuh kali lebih banyak yaitu 5,3%, sementara negara-negara di Amerika Latin dikenakan biaya lebih dari delapan kali lebih banyak yaitu 6,8%, dan Afrika mengalami nasib terburuk dengan bunga rata-rata 9,8% – lebih dari dua belas kali lebih besar daripada Jerman.
Utang iklim Negara-Negara Kaya
- Gagalnya komitmen formal oleh negara-negara kaya untuk membayar US$ 100 miliar setahun dalam keuangan iklim ke negara-negara di Global Selatan disetujui berdasarkan Perjanjian Paris pada tahun 2015.
- Sementara pada tahun 2024 target keuangan iklim ini ditingkatkan pada COP29 menjadi US$ 300 miliar setahun masih gagal untuk menentukan bahwa ini harus dalam bentuk hibah bukan pinjaman.
- Sementara, perkiraan ilmiah konservatif melihat kebutuhan untuk mengatasi krisis iklim sekitar lebih dari satu triliun dolar setahun, sementara aktivis iklim menuntut US$ 5 triliun setahun dalam bentuk hibah.
- Berdasarkan studi dalam laporan tersebut, utang iklim yang harus dibayar oleh negara-negara kaya “pencemar” kepada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah adalah US$ 107 triliun. Jumlah ini 70 kali lebih besar dari total utang luar negeri sebesar US$ 1,45 triliun yang menjadi tanggungan kolektif negara-negara tersebut.
Utang Historis Negara-negara Kaya:
Negara-negara kaya berhutang ganti rugi atas perdagangan transatlantik dan eksploitasi kolonial. Misalnya, India kehilangan triliunan sumber daya selama pemerintahan kolonial Inggris. Utang-utang bersejarah ini sering diabaikan, tetapi seruan untuk ganti rugi semakin gencar.
Illicit Financial Flows:
- Negara-negara kaya terus mengekstraksi sumber daya dari negara-negara miskin melalui surga pajak dan arus keuangan terlarang, dengan perkiraan US$ 242 triliun terkuras antara tahun 1990 dan 2005.
- Perusahaan-perusahaan mengalihkan lebih dari US$ 1 triliun per tahun ke surga pajak, yang memperburuk ketimpangan global.
Kegagalan dalam Komitmen Bantuan:
Target bantuan PBB sebesar 0,7% dari PDB tidak pernah sepenuhnya terpenuhi, dengan hanya US$ 223,7 miliar yang dimobilisasi pada tahun 2023, kurang dari US$ 193 miliar.
Bantuan sering kali salah arah atau gagal menjangkau negara-negara yang paling membutuhkan, terutama organisasi-organisasi hak-hak perempuan.
Perlunya Reformasi Struktural:
Sistem utang global dipandang sebagai bentuk kolonialisme modern, yang menguntungkan negara-negara kaya dan perusahaan-perusahaan. Laporan tersebut menganjurkan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Utang Negara dan reformasi lain untuk mengalihkan kekuasaan dari lembaga era kolonial seperti IMF ke badan yang lebih inklusif dan representatif. Dokumen tersebut juga diakhiri dengan seruan untuk solidaritas global dan perubahan sistemik, menuntut penghapusan utang atau debt cancellation, keadilan iklim, dan struktur keuangan global yang lebih adil, terutama mengingat tahun Jubilee 2025 yang akan datang, yang melambangkan kesempatan untuk pengampunan dan reformasi utang.
Organisasi Masyarakat Sipil memiliki kesempatan dalam untuk mengubah arsitektur keuangan internasional dengan Konferensi Pendanaan Pembangunan PBB ke-4 (4th UN Financing for Development Conference) di Seville pada bulan Juni-Juli 2025. Kita dapat dan harus memenangkan kesepakatan untuk Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Utang Negara (UN Framework Convention on Sovereign Debt) dan banyak reformasi mendasar lainnya sebagaimana digariskan oleh organisasi yang terlibat dalam Mekanisme Pendanaan Pembangunan Masyarakat Sipil (Civil Society Financing for Development Mechanism).
BACA LAPORAN SELENGKAPNYA PADA :https://actionaid.org/publications/2025/who-owes-who#downloads
Ditulis oleh:
Komang Audina Permana Putri
Program Officer Isu Keuangan Berkelanjutan dan Utang,
Indonesia for Global Justice