“Agenda WTO Pasca Bali & Kepentingan Indonesia”
Disusun oleh Rachmi Hertanti
Latarbelakang
Paska KTM 9 di Bali tahun 2013, Kesepakatan Paket Bali dianggap sebagai tahap awal penyelesaian Putaran Doha terhadap kesepakatan Doha Development Agenda (DDA). Ada 3 isu yang disepakati yaitu: Perjanjian Trade Facilitation, Perjanjian Pertanian, dan Paket untuk negara kurang berkembang (least developed countries/LDCs).
Kesepakatan Paket Bali bukanlah sebuah keberhasilan yang dicapai bagi negara berkembang dalam memperjuangkan kepentingan pertaniannya yang selama 14 tahun diperjuangkan pasca Putaran Doha tahun 2001. Tetapi karena praktik trade-off antara perjanjian trade facilitation yang didorong oleh kepentingan negara maju dengan perjanjian pertanian, khususnya proposal tentang public stockholding, yang merupakan kepentingan utama negara berkembang.
Atas praktik trade-off ini, proposal public stockholding gagal mendapatkan kesepakatan. Solusi permanen yang diminta terhadap perubahan aturan Agreement on Agriculture dalam Annex 2 Footnote 5 Paragraf 3, pada akhirnya diganti dengan kesepakatan ‘Peace Clause’ yang digagas oleh Amerika Serikat dan negara maju lainnya yang hanya memberikan pengecualian sementara (temporary waiver).
Mandat Deklarasi Bali
Pasca Bali tahun 2013, Deklarasi Bali telah memandatkan perundingan WTO ke depan untuk menyusun sebuah program kerja atau yang disebut dengan Post-Bali Work Programme. Ada dua tugas pokok yang harus dibahas oleh WTO pasca Bali, yakni pertama, implementasi Paket Bali; dan kedua, penyusunan program kerja untuk menyelesaikan DDA.
Dalam proses penetapan program kerja ini, tarik-menarik kepentingan antara Perjanjian Trade Facilitation dengan Proposal Public Stockholding kembali mengemuka. Kekecewaan kelompok negara berkembang terhadap negara maju atas tidak tercapainya solusi permanen tentang Proposal Public Stockholding kembali menolak untuk menyepakati Perjanjian Trade Facilitation untuk diadopsi ke dalam Annex 1 Perjanjian Marakesh WTO.
Negara-negara yang bergabung ke dalam G33, seperti India, Brazil, dan Indonesia, terus menolak untuk melakukan negosiasi terkait Perjanjian Trade Facilitation kecuali ada pencapaian solusi permanen dalam perundingan Proposal Public Stockholding. Namun, pendekatan ini ditolak oleh negara maju seperti AS dan EU. Bahkan mereka memandang jika G33 tetap bersikeras dengan posisinya maka tidak ada jalan lain bagi proses pengadopsian Perjanjian Trade Facilitation selain melakukan pendekatan non-multilateral atau dengan kata lain mereka mendorong agar perjanjian tersebut menjadi Perjanjian Pluriateral yang tidak membutuhkan kesepakatan seluruh negara anggota dan hanya mengikat kepada negara-negara yang ikut menyepakatinya saja.
Usulan AS dan EU ini secara otomatis menarik berbagai penolakan yang berasal tidak hanya dari G33 tetapi juga dari LDCs group dan African, Carribean, and Pacific Group (ACP Group). Mereka tetap mendorong agar Perjanjian Trade Facilitation tidak menjadi perjanjian yang berdiri sendiri diluar dari Perjanjian Multilateral WTO (Marrakesh Agreement). Karena hal tersebut dianggap menyalahi ketentuan dasar WTO.
Bahkan menaggapi kuatnya tarik-menarik kepentingan antara Perjanjian Trade Facilitation dengan Proposal Public Stockholding, ACP Group secara tegas mengingatkan bahwa kebuntuan antara dua kepentingan tersebut jangan sampai menjadikan Paket LDCs di Bali kembali menjadi tersandera dan dijadikan alat tawar untuk menyelesaikan kebuntuan. ACP Group dan LDCs Group meminta agar Paket LDCs di Bali harus diprioritaskan selain menyelesaikan kebuntuan antara Perjanjian Trade Facilitation dengan Proposal Public Stockholding.
Dalam upaya menyelesaikan perdebatan dalam menetapkan program kerja pasca bali (Post-Bali Work Programme), Dirjen WTO, Roberto Azevedo, mencoba melakukan pendekatan dengan membuat tawaran tiga skenario, yaitu: pertama, Menegosiasikan Perjanjian Plurilateral tentang Trade Facilitation jika tidak ada resolusi cepat atas Proposal Public Stockholding; Kedua, negara-negara akan terus melanjutkan proses negosiasi beberapa isu yang tersisa dari Paket Bali ataupun negosiasi yang berlangsung di rapat-rapat Komite WTO hingga solusi permanen Proposal Public Stockholding dicapai; dan Ketiga, melanjutkan konsultasi untuk solusi permanen Proposal Public Stockholding walaupun tinggal sedikit waktu yang tersisa untuk menyelesaikan seluruh Post-Bali Work Programme.
Namun, keinginan untuk mengadopsi Perjanjian Trade Facilitation terus menguat walaupun Dirjen WTO telah menawarkan tiga pilihan skenario. Misalnya saja EU yang menyatakan bahwa tidak ada pendekatan lain selain mengadopsi Perjanjian Trade Facilitation sambil terus merundingkan pekerjaan rumah pasca bali termasuk pencarian terhadap solusi permanen proposal public stockholding G33.
Post-Bali Work Programme
Dari perdebatan yang panjang, pada akhirnya dalam Rapat Khusus General Council WTO disepakati tiga draft kesepakatan yang akan menjadi rancangan Post-Bali Work Programme, yaitu pertama, penyelsaian Proposal Public Stockholding; kedua, pengadopsian Perjanjian Trade Facilitation ke dalam WTO Marakesh Agreement Annex 1; ketiga, Post-Bali Work Programe yang akan menyusun prioritas basis untuk menghasilkan Keputusan Bali Ministerial lainnya (LDCs package and development issues) yang mengikat secara hukum (legally binding).
Isi dari ketiga draft keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
- Proposal Public Stockholding
Dari Bali Ministerial Decision, disebutkan bahwa hingga permanen solusi dicapai dan diadopsi, maka negara anggota yang memberikan subsidi dalam rangka public stockholding untuk ketahanan pangan tidak akan digugat di mekanisme sengketa WTO. Dan apabila Permanen Solusi belum bisa dicapai hingga KTM ke-11 WTO, maka mekanisme itu akan terus berlaku hingga permanen solusi dicapai dan diadopsi.
Paska Bali, negosiasi permanen solusi terus berlanjut yang diadakan di sidang khusus komite pertanian WTO. Dalam proses negosiasi untuk mencapai solusi permanen, ada dua hal yang telah menjadi perhatian bersama seluruh negara, yakni: pertama, menghitung dampak atas intervensi pemerintah terhadap harga untuk petani yang dibolehkan dalam Green Box. Hal ini untuk memastikan bahwa tindakan ini tidak akan berpengaruh terhadap distorsi pasar atas komoditas pertanian. Kedua, menghitung konsekuensi yang tidak diinginkan atas penerapan program public stockholding di pasar domestik terhadap pasar ekspor dan agenda keamanan pangan dari negara lain.
Atas dua hal masalah tersebut diatas, kemudian AS mengeluarkan sebuah tawaran proposal mengenai dorongan untuk mengembangkan sebuah praktik terbaik untuk kebijakan public stockholing, yang secara khusus untuk: (1) mengidentifikasi praktek terbaik dalam melaksanakan program public stockholding guna mengatasi ketahanan pangan anggota dalam batasan aturan WTO. (2) Mengidentifikasi praktek terbaik mencapai ketahanan pangan dengan menerapkan nilai-nilai ekonomis, ditargetkan, dan efektif. (3)Mengidentifikasi praktek-praktek perdagangan yang tidak mendistorsi harga pangan, tidak mempengaruhi keamanan pangan anggota lain, dan menghindari konsekuesi yang tidak diinginkan; (4) meningkatkan sebuah prosedur terkait dengan mekanisme pemberitahuan dan transparasi.
Namun, tentu saja proposal AS ini mendapatkan banyak penolakan dari negara berkembang, khususnya yang tergabung dalam G33. Mereka tidak menginginkan adanya perluasan diskusi yang tidak menyangkut pencapaian solusi permanen. Sehingga mereka meminta agar ada mandat yang jelas dalam menemukan solusi permanen dari proposal public stockholding.
- Pengadopsian Perjanjian Trade Facilitation
Draft keputusan ini berisi mengenai penerapan protokol perubahan Perjanjian WTO yang akan menyisipkan Perjanjian Trade Facilitation ke dalam Annex 1A Perjanjian WTO. Protokol ini nantinya perlu diratifikasi oleh 2/3 dari seluruh anggota WTO (107 dari 160 anggota) untuk dapat berlaku. Namun, tidak ada batas waktu yang ditetapkan agar Protokol ini diratifikasi.
Pengadopsian ini belum tentu akan berjalan secara mulus, hal ini karena masih banyak perdebatan terkait dengan implementasi Perjanjian Trade Facilitation. Seperti yang disuarakan oleh LDCs, bahwa implementasi perjanjian ini masih memerlukan klarifikasi terkait dengan technical assistance dan capacity building yang diminta oleh negara berkembang dan LDCs countries.
India, sebagai salah satu bagian dari G33 mengingatkan kembali tentang perlunya ‘keseimbangan’ dalam mencapai kesepakatan, khususnya terkait dengan DDA. Pencapaian Perjanjian Trade Facilitation nanti harus tidak meninggalkan proposal public stockholding tanpa kesepakatan terkait solusi permanen. Ini akan menjadi tawar-menawar yang sulit bagi keberhasilan Perjanjian Trade Facilitation.
- Keputusan Bali Ministerial yang mengikat secara hukum
Dalam post-bali work programme, salah satu dorongannya adalah untuk mendapatkan status legally binding terhadap sembilan Kesepakatan Bali lainnya diluar Perjanjian Trade Facilitation dan Proposal Public Stockholding. Karena, hasil Bali masih bersifat keputusan yang tidak mengikat. Kesembilan kesepakatan itu adalah: Tarif-Rate quota administration, Export Competition, penghapusan subsidi kapas, Akses khusus untuk Services Suppliers dari LDCs Countries, duty-free dan market access untuk negara-negara LDCs.
Kesepakatan final atas tiga draft keputusan post-bali work programme ini akan ditetapkan pada July 2015 sebagaimana mandat dari Deklarasi Bali paragraf 1.11, termasuk juga untuk memperjelas penyelesaian isu DDA dalam rangka pencapaian perundingan Putaran Doha yang telah dimulai sejak tahun 2001 yang lalu.
Upaya Menyelesaikan Perundingan Putaran Doha Di KTM Ke-10 WTO
Dalam penyusunan post-Bali work programme, memastikan pelaksanaan mandat DDA, termasuk draft modalitas 2008, akan menjadi penentu pencapaian kesepakatan Putaran Doha. Hal ini karena, penyusunan post-Bali Work Programme akan menjadi dasar dalam menyimpulkan negosiasi DDA pada KTM Ke-10 di Nairobi, Kenya.
Paska ditetapkannya draft tiga kesepakatan menuju post-Bali work programme pada November 2014, konsultasi menuju July 2015 terus dilakukan secara intensif oleh Dirjen WTO. Berbagai momentum pertemuan internasional dijadikan ajang bagi Dirjen WTO sebagai ruang konsultasi dan negosiasi terpisah guna memastikan agenda post-Bali work Programme, seperti pertemuan menteri di Davos, APEC Ministers Responsible for Trade meeting di Filipina, dan Ministerial Meeting of OECD di Paris.
Hasil konsultasi yang dilakukan oleh Dirjen WTO cukup mengejutkan. Ada upaya untuk melemahkan kembali kepentingan negara berkembang atas sektor pertanian dari negara maju. Dirjen WTO melakukan pertemuan dengan G6 yang terdiri dari AS, EU, China, India, Brazil, dan Australia untuk membahas isu kritis terkait dengan subsidi domestik, dimana salah satunya AS dan EU enggan memberikan komitmennya terhadap program subsidi yang dapat mendistorsi perdagangan, khususnya terkait dengan undang-undang pertanian AS yang baru.
Dari proses konsultasi yang dilakukan oleh Dirjen WTO, berujung pada sebuah kesimpulan mengenai proses yang harus dilakukan dalam mencapai kesepakatan DDA, yaitu agar anggota WTO untuk melakukan pengujian ulang (re-calibration) terhadap proses negosiasi DDA nanti. Semua pihak diminta untuk menurunkan ambisinya dalam rangka mencapai DDA. Hal yang paling konkrit adalah dimana negara berkembang untuk menurunkan ambisinya atas isu pertanian dan negara maju menurunkan ambisinya untuk Perjanjian Trade Facilitation dengan mendorongnya menjadi Perjanjian Plurilateral. Ide re-calibration ini didorong oleh kepentingan AS, EU, dan negara maju lainnya.
Tentu saja pendekatan ini ditolak oleh negara-negara berkembang. Pengujian ulang terhadap mandat DDA hanya akan membawa kemunduran bagi proses negosiasi yang telah berlangsung selama ini. Bahkan negara berkembang menekankan, melakukan pendekatan yang berbeda terhadap penyelesaian DDA bukan berarti melakukan perubahan mandat DDA yang terangkum dalam Doha Ministerial Declaration and Work Programme, the 2004 July Framework agreement at the General Council, the 2005 Hong Kong Ministerial Declaration, dan the 2008 draft revised modalities texts.
China, India, Indonesia, Turkey, Venezuela dan Brazil, serta ACP Group, the African Group, the G-33, G-20 group, dan LDCs Group akan terus bersikeras agar the 2008 revised draft agriculture modalities text (Rev. 4), dan the 2008 Rev. 3 draft revised modalities dalam non-agricultural market access (NAMA) tetap menjadi dasar argumentasi dalam penyusunan post-Bali Work Programme.
G33 juga berpendapat, pendekatan re-calibration dalam penyelesaian DDA hendak merendahkan ketentuan special products (SP) dan special safeguard mechanism (SSM)dalam isu pertanian yang telah ditetapkan dalam 2008 revised dratf modalities text. Ketentuan ini merupakan mekanisme pengecualian bagi negara berkembang untuk mempertahankan kepentingan pertaniannya dari serbuan impor pertanian dari negara maju yang selama ini terus disubsidi oleh Negara, bahkan kian membesar jumlahnya.
Perkembangan saat ini yang menarik, bahwa terjadi strategi pecah belah yang dilakukan oleh DG bersama dengan AS untuk memastikan agenda post-bali work programme berjalan sesuai dengan proposal mereka. Perundingan pertanian yang didorong lebih banyak mendiskusikan market access ketimbang domestic support dan export subsidies. Hal ini dilakukan dalam rangka memecah kekuatan antara China dan India yang selama ini secara bersama-sama menyerang AS untuk urusan subsidi pertanian domestiknya.
Menajamnya kembali perdebatan mengenai isu pertanian di WTO yang berhasil menyandera proses negosiasi, maka terbukti bahwa kunci utama dalam memenangkan kepentingan nasional harus secara kuat mempertahankan isu pertanian yang berbasis pada kepentingan negara berkembang. Untuk itu, dalam menentukan posisi Indonesia di KTM ke-10 WTO di Nairobi, Kenya pada Desember 2015 mendatang harus didasari atas agenda penguatan pertanian nasional dan ketahanan pangan nasional.***
[1] Sumber bahan: SUNS Newsletter & WTO website
[2] Research & Knowledge Manager