Nairobi, 16 Desember 2015. Sesi Pembukaan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-10 Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) pada hari Selasa, 15 Desember 2015 kemarin, mendatangkan kekhawatiran yang sangat besar pada masyarakat dunia. Bahkan, KTM10 ini mungkin akan lebih berbahaya daripada kegagalan KTM9, Bali.
Ambassador Amina Mohammed yang mengambil posisi sebagai pimpinan jalannya konferensi sekaligus tuan rumah dari KTM10 berulangkali menekankan urgensi akan pentingnya menghasilkan credible outcome di Nairobi dan terlibat secara inklusif ke dalam sistem perdagangan multilateral. Terlebih karena potensi Afrika yang sangat besar. Tetapi tidak hanya untuk Afrika, mengulas bahwa minggu ini Kenya telah menjadi negara anggota ke-57 yang meratifikasi kesepakatan Trade Facilitation, Ambassador Amina mengundang seluruh anggota untuk meratifikasinya secepat mungkin. “It is the oil that moves the wheel,” ucap Ambasador Amina.
Direktur Jendral WTO, Roberto Azevedo, tidak menunjukkan bahwa arah jalannya KTM10 akan berjalan menuju perkembangan yang mendukung kepentingan negara berkembang dan negara kurang berkembang (Least Developing Countries/LDCs). “Trade is helping Africa realized its potential,” begitu pembuka yang diberikan Dirjen Azevedo dalam melihat potensi dari Afrika. Dan karena KTM10 di tanah Afrika diumpamakan sebagai “homecoming” bagi WTO yang dibentuk dari hasil kesepakatan Marrakesh, KTM10 ini harus berhasil. Untuk dapat berhasil, yang ditekankan kemudian adalah komitmen inklusif dan fleksibilitas dari negara anggota WTO.
Dorongan kuat untuk menghasilkan sesuatu di KTM10 ini mewarnai seluruh sesi pembuka, sayangnya, kelanjutan proposal Public Stockholding for Food Security yang dimandatkan di Bali untuk mencapai solusi permanen pada KTM10 tidak mendapatkan cahayanya.
“Progress in some areas proved to be impossible, but I am hopeful in other areas,” ucap Dirjen Azevedo. Artinya terdapat indikasi sangat besar bahwa hasil yang didorong sebegitu kuat untuk dicapai di KTM10 bukanlah isu yang ‘sulit disepakati bersama’ (baca: proposal cadangan pangan) dan kemungkinan untuk dimasukkannya isu baru ke dalam meja perundingan WTO.
Hal ini membahayakan kepentingan negara berkembang yang mayoritas rakyatnya tergantung pada sektor pertanian.
Indonesia, sebagai ketua koordinator kelompok negara berkembang (G-33), lantas memikul beban besar untuk menyuarakan ketegasannya mendorong kepentingan pangan negara berkembang.
Namun, masyarakat sipil dunia dikecewakan oleh statement yang diberikan Menteri Perdagangan Indonesia, Tom Lembong, di Nairobi hari ini, Rabu, 16 Desember 2015.
Pak Tom mengaitkan bahaya jatuhnya nilai tukar rupiah dan posisinya di mata internasional jika tidak tercapainya kesepakatan di KTM10. Lebih lanjut, Pak Tom tidak menyebutkan apapun terkait pertanian dan Putaran Doha. Satu-satunya hal yang ditekankan Pak Tom adalah bahwa small package yang terkecil akan lebih baik daripada tidak tercapainya hasil di KTM10. Indonesia lantas berada dalam posisi yang sangat terbuka dan berkomitmen untuk mengerjakan “workable package” di KTM10.
Kepentingan negara-negara berkembang untuk melindungi petani dan hak atas pangan, khususnya kepentingan Indonesia untuk menjalankan amanat konstitusi dan mewuudkancita-cita swasembada pangan seperti poin prioritas Nawa Cita dalam pemerintahan Jokowi-JK hilang dalam perkembangan KTM10 hari ini.
Hal ini memalukan mengingat Indonesia adalah ketua koordinator G-33. Indonesia sepertinya telah siap untuk menjadikan kawan sebagai lawan dengan tidak menyadari betapa krusialnya isu pertanian diposisikan sebagai kepentingan nasional.
Kegagalan KTM9 di Bali yang hanya menghasilkan kesepakatan pada Trade Facilitation membuktikan bahwa pada hal ini, tidak diraihnya kesepakatan pada meja perundingan WTO adalah capaian yang baik. Hal ini berlaku pula atas Deklarasi Ministerial yang hanya akan membawa petaka dengan pilihan bahasa yang menjebak.