• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Izin Pertambangan I Freeport Inginkan Perjanjian Tertulis soal Stabilitas Fiskal dan Hukum

Agustus 10, 2017
in Berita IGJ, Uncategorized @id
Home Media Berita IGJ
943
SHARES
2.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Pemerintah Tolak Tawaran Freeport

Jaminan investasi bagi perusahaan tam­bang, termasuk Freeport, telah diakomodir dalam Peraturan Pemerintah (PP)

JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mine­ral (ESDM) menolak usulan PT Freeport terkait perjanjian tertulis soal stabilitas inves­tasi. Pemerintah menegaskan hal tersebut tidak termuat da­lam produk hukum RI, tetapi jaminan investasi itu telah dia­komodir dalam peraturan pe­merintah (PP).

“Kami sampaikan ke Free­port bahwa itu tidak ada dalam sistem hukum kita, jaminan investasi ada dalam skema PP yang dibuat oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” ung­kap Sekretaris Jenderal Kemen­terian ESDM, Teguh Pamudji, ketika ditanyakan soal respons pemerintah tentang permin­taan perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut, di Ja­karta, Senin (7/8).

Lebih lanjut, Teguh me­nyampaikan, selama negosiasi berlangsung hingga Oktober lalu, pemerintah bersama Freeport sudah tidak mem­bahas lagi soal Kontrak Karya (KK), melainkan semuanya berbentuk Izin Usaha Pertam­bangan Khusus (IUPK). Kemu­dian, lanjutnya, dalam format yang disampaikan pemerintah terhadap Freeport, tak ada per­janjian tertulis, yang ada ialah IUPK, PP, serta beberapa re­gulasi setingkat Permen ESDM yang bisa diubah jika diperlu­kan.

ESDM menyampaikan PP yang dibuat itu untuk menja­min investasi jangka panjang perusahaan tambang peme­gang IUPK. Pemegang IUPK diminta tak perlu khawatir de­ngan potensi kerugian akibat adanya pajak-pajak baru dari pemerintah ke depannya.

Regulasi itu nantinya akan membagi secara rinci soal pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pemda), lalu pajak yang bisa dikenakan untuk IUPK. Aturan itu nantinya menjadi pijakan hukum pemerintah pusat dan daerah dalam memungut pa­jak sehingga tak ada pungutan pajak yang di luar ketetapan.

Seperti diketahui, Freeport menghendaki adanya perjanji­an tertulis soal stabilitas fiskal dan hukum yang berkekuat­an sama dengan KK. Freeport setuju mengubah KK ke IUPK bila pemerintah bersedia me­lakukan perjanjian tertulis itu.

Juru Bicara Freeport, Riza Pratama, mengatakan perusa­haan yang berinduk di AS ter­sebut menghendaki adanya aturan terkait stabilitas yang bisa diterima secara internasio­nal. Sebab, PP bisa saja diubah lagi oleh regulator.

“Stabilitas investasi ini pen­ting karena perusahaan telah berinvestasi hingga tujuh mi­liar dollar AS untuk tambang,” ungkapnya.

Harus Konsisten

Direktur Eksekutif Indo­nesia for Flobal Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menegaskan pemerintah harus secara tegas menolak permintaan Freeport untuk membuat perjanjian kerja sama secara terpisah. Se­bab, hal itu tidak diatur di da­lam Undang-Undang (UU).

“Kan sudah ada IUPK, yaitu penetapan dari Menteri yang dijamin oleh UU. Pemerintah harus konsisten dengan bentuk hukum yang telah disepakati dan diatur di dalam undang-undang. Kalau konteksnya cuma perjanjian perlindungan investasi, opsi P4M antarne­gara sudah cukup itu,” tegas Rachmi.

Menurut Rachmi, perjanji­an kerja sama secara terpisah hanya akan menempatkan pe­merintah Indonesia di bawah kendali Freeport. Apalagi, se­cara logika hukum perjanjian, kesepakatan itu akan mengikat pemerintah Indonesia secara perdata. Sebagai konsekuensi logis, lanjutnya, Freeport akan menentukan sendiri meka­nisme penyelesaian sengketa, biasanya lebih memilih arbi­trase internasional.

“Di dalam Pasal 7 Permen ESDM No 15/ 2017 sudah je­las, bahwa Menteri memberi­kan penetapan terhadap IUPK. Sehingga konsekuensi hukum dari penetapan bersifat admi­nistratif dan bersifat konkret, individual, dan final,” pungkas­nya.  ers/E-10

Previous Post

Tinjauan Kritis Atas UU No. 24/2000 Tentang Perjanjian Internasional dan UU No 7/2014 tentang Perdagangan

Next Post

HUMAN RIGHTS AS A KEY ISSUE IN THE INDONESIA- EU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655

  • Indonesia