• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Tunduk Pada WTO, Omnibus Law Ancam Kedaulatan Pangan

Maret 12, 2020
in Siaran Pers
Home Media Siaran Pers
997
SHARES
2.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Siaran Pers

Jakarta, 12 Maret 2020 – Omnibus Law “melucuti” empat undang-undang penting sektor pangan yaitu UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura sebagai jawaban atas Putusan   World  Trade  Organization  (WTO)  akibat  kekalahan   Indonesia  dari  gugatan Amerika Serikat, Selandia Baru dan Brazil terkait kebijakan impor pangan.

Amerika Serikat, Selandia Baru dan Brazil menganggap keempat UU tersebut menghambat produk ekspor mereka ke Indonesia. Aturan impor di Indonesia masih d ibatasi pada saat panen raya dan saat kebutuhan pangan dalam negeri masih terpenuhi oleh produksi dan cadangan pangan nasional. Bagi negara-negara tersebut hal ini dianggap bertentangan dengan ketentuan WTO yang mengharuskan Indonesia lebih longgar terhadap kebijakan impor pangannya.

Melalui panel Dispute Settelment Body (DSB) WTO negara-negara tersebut menuntut agar Indonesia  menghapus  frasa  “dalam  negeri”  pada sejumlah  pasal  di  keempat  materi  UU tersebut. Padahal frasa tersebut merujuk dan bertujuan melindungi kepentingan ekonomi nasional yang tak lain merupakan pelaksanaan mandat konstitusi.

Dalam  konferensi  pers  bersama  Bina  Desa  Sadajiwa,  Indonesia  for  Global  Justice  (IGJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), FIAN Indonesia, Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan (JKSP), Jaringan Perempuan Pedesaan Nusantara (JPP Nusantara), Kamis (12/3).

Ketua Pengurus Bina Desa, Dwi Astuti mengatakan “Pembangunan pertanian-pangan yang bertumpu pada kekuatan investasi asing dan impor akan memperburuk kondisi kemiskinan pada masyarakat yang sudah miskin, kelaparan, kurang gizi serta berbagai persoalan lain yang berhubungan dengan pangan yang pada umumnya diderita oleh perempuan dan anak. Selain akses dan kontrol perempuan dihilangkan, kelembagaan perempuan serta pengalaman yang beragam, baik pribadi maupun bersama dengan perempuan lainnya dalam mengelola keanekaragaman hayati dan kekayaan alam, juga ikut dilucuti”. 

Revisi atas keempat UU tersebut sebagaimana dalam Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) terbukti akan melonggarkan aturan impor pangan. Dalam UU Pangan, pada pasal 1 nomor 7 tentang definisi Ketersediaan Pangan, secara tegas menyebut adanya syarat dan kondisi bagi impor, yakni dapat dilakukan apabila pangan dari hasil Produksi Dalam Negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi. Sementara dalam Omnibus Law syarat dan kondisi tersebut dihilangkan. Sehingga kedudukan pangan hasil impor menjadi sederajat dengan pangan hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional.

Selain definisi seluruh pasal terkait yakni pasal 14, 15, 36, 39 dan seterusnya, yang secara substansi semuanya menganulir semangat perlindungan dan pengutamaan produksi dalam negeri. RUU Cipta Kerja juga mengubah sejumlah pasal dalam UU Perlintan, bahkan menghapus pasal 101 tentang ancaman pidana bagi pelaku usaha yang mengimpor produk pertanian pada saat kebutuhan konsumsi dalam negeri tercukupi. Hal ini berdampak pada kejatuhan  harga  di  dalam  negeri  yang  memicu  kelesuan  ekonomi.  Pelucutan  perlindungan pangan nasional juga meniadakan pasal 36 di UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Padahal pasal  ini  krusial  mengatur  dukungan pemerintah  bagi  tumbuhnya  usaha  peternakan dalam negeri dan jaminan konsumsi protein hewani untuk masyarakat. Pasal 36A yang menyatakan syarat dan kondisi ekspor ternak harus berdasarkan ketercukupan dalam negeri juga dihapus. Sedangkan  pasal  36B  dipertahankan  dengan  perubahan  signifikan  sebagaimana dalam  UU Pangan, yakni tak adanya keharusan bagi kondisi ketercukupan produksi dan pasokan Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri bagi aktivitas impor.

Selain itu, UU Hortikultura juga diubah. Pasal 15 tidak memprioritaskan pemanfaatan sumber daya manusia dari dalam negeri. Tidak ada tafsir lain selain bahwa tenaga kerja sektor hortikultura yang berasal dari dalam negeri setara dengan luar negeri. Hal ini diperparah dengan perubahan pasal 100 tentang penanaman modal asing yang sudah tidak lagi dibatasi, dari sebelumnya maksimal 30%. Hal ini membuktikan bahwa Omnibus Law telah mengadopsi rezim pasar bebas baik itu ketetapan yang dibuat oleh WTO maupun dalam perjanjian perdagangan bebas. Rezim pasar bebas menuntut agar liberalisasi pangan di Indonesia dibuka seluas-luasnya dan diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.

Menurut  Presiden  FIAN  Indonesia,  Iwan Nurdin,  “Pangan  adalah  hak  asasi  yang  harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Kewajiban melindungi ini berarti negara harus mengeluarkan peraturan atau instrumen hukum berkaitan pemenuhan hak atas pangan warganya yang berwawasan pada kepentingan masyarakat secara umum, bukan hanya menguntungkan individu, investor atau importir, serta melaksanakannya dengan konsisten. Omnibuslaw menghapus ini semua. Negara abai terhadap pemenuhan hak atas pangan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar”.

Seiring impor pangan yang semakin dibuka lebar, ketentuan mengenai keamanan pangan impor juga akan dihapuskan. Pasal 87 RUU Cipta Kerja akan merevisi Pasal 87 UU Pangan, menghapus ketentuan pangan harus lulus uji laboratorium sebelum diedarkan. Akibatnya, pangan yang akan dikonsumsi masyarakat semakin tidak terjamin keamanan dan mutunya. Upaya pelonggaran impor akan menjadi ancaman serius bagi kedaulatan pangan nasional serta dapat meminggirkan para produsen lokal, terutama para petani kecil karena tidak ada kepastian jaminan perlindungan Negara atas petani.

Menurut  data  sensus  pertanian  tahun  2018  (BPS),  total  jumlah  rumah  tangga  petani  di Indonesia adalah 27, 682, 117. Berdasarkan golongan luas lahan yang dikuasai (dalam hektar), jumlah petani yang menguasai 0,5 Ha adalah 16,257430. Selanjutnya yang menguasai 0.50-1 Ha adalah  4,498.332;  yang menguasai  1-2 Ha adalah  3,905,819;  yang menguasai  2-3 Ha adalah 1,627,602;  yang menguasai 3-4 Ha adalah 607,908; yang menguasai 4-5 Ha adalah 323,695; yang menguasai 5-10 Ha adalah 374,272 dan yang menguasa lebih dari 10 Ha adalah 87,059. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional (khususnya beras), 96 persen disupply petani kecil dengan penguasaan lahan > 0,5 – 1 Ha.

Menurut Koordinator Departemen Penataan Produksi API, M. Rifai, peran petani sangat penting  dalam  menjaga  keberlanjutan  pangan nasional  dan  menyediakan  bahan  baku industri pengolahan serta menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat pedesaan dan pemuda. Petani menginvestasikan nilai yang besar bagi pangan, yakni 485,85 trilyun/tahun untuk menanam padi; 98.99 trilyun untuk tanaman produk hortikultura; dan 50 trilyun untuk tanaman jagung. Belum lagi bagi produk-produk perkebunan.

Untuk itu, perlu diluruskan sesat pikir yang menyatakan investasi harus berarti modal asing yang  masuk ke  Indonesia  bagi  sektor pertanian. Para  petani  kecil  yang  sebagian  besar tinggal di pedesaan dengan segala kekayaan budaya dan pengetahuan yang dimilikinya, hingga kini terus berusaha bangkit memutus ketergantungan dalam rantai produksi, membangun kesetaraan dan kerjasama seimbang antara laki-laki dan perempuan dengan keberpihakan terhadap perlindungan ekologis – ekosistem pertanian adalah sebenar-benar Investor pangan.

“Adanya Omnibus Law akan sangat mengancam kedaulatan petani dan pangan di Indonesia. Kedaulatan pangan sejatinya menempatkan petani sebagai “subyek” pembangunan pertanian dan pangan. Omnibus Law justru mengukuhkan petani sebagai obyek semata, sementara pemilik modal menjadi tuannya. Jika undang-undang ini disahkan maka rezim ini sudah mengingkari cita-cita proklamasi, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk petani didalamnya”, demikian pernyataan Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah.

Bila   Pemerintah   dan   DPR   memaksakan   Omnibus   Law   yang   mengatur   kebijakan pelonggaran  impor  pangan  diteruskan,  maka  hal tersebut  akan  berdampak  serius  bagi inflasi pangan dan nilai tukar rupiah. Tercatat, bahwa Negara importir pangan akan sulit mengendalikan  inflasi dan  nilai tukar rupiah (ADB,  2018).  Sebaliknya, negara eksportir lebih  mampu  mengendalikan  inflasi  dan  nilai  tukar mata  uangnya.  Sehingga,  solusi membuka keran bagi kebijakan impor pangan dalam Omnibus Law menjadi sangat berbahaya baik bagi keberlanjutan petani dan visi pangan nasional, maupun bagi nilai tukar Rupiah di masa mendatang.

Koordinator Riset dan Advokasi IGJ, Rahmat Maulana Sidik, menegaskan, “Omnibus Law jelas mengadopsi rezim pasar bebas yang ditetapkan oleh WTO. Terbukti dalam RUU Cipta Kerja membuka liberalisasi impor pangan seluas -luasnya menyerahkannya pada mekanisme pasar. Tentu ini membawa ancaman serius bagi keberlanjutan petani dan pangan nasional. Sementara,  Negara tidak peduli dengan keberlanjutan nasib  petani dan pangan nasional. Tidak hanya itu, membuka keran impor pangan membawa dampak serius pada inflasi pangan dan nilai tukar rupiah yang tidak stabil. Negara importir pangan akan sulit mengendalikan inflasi dan nilai tukar rupiahnya”.

——————————————————————————————————————————

Bina Desa Sadajiwa, Indonesia for Global Justice (IGJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), FIAN Indonesia, Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan (JKSP), Jaringan Perempuan Pedesaan Nusantara (JPP Nusantara)

——————————————————————————————————————————

Kontak Media

Rayhana Anwarie

Telepon             : +62 857-7233-7244

Email                  : hanna.anwarie@gmail.com

Download >>> Siaran Pers Koalisi Pangan_WTO-OmnibusLaw_Final (1)

Tags: Perjanjian Perdagangan & Investasi
Previous Post

GUGATAN UNI EROPA TERHADAP LARANGAN EKSPOR KONSENTRAT NIKEL OLEH INDONESIA DI WTO

Next Post

Rakyat Indonesia mendesak DPR RI menghentikan fungsi legislasi, fokus laksanakan fungsi anggaran dan pengawasan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655