• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • GENI
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • GENI
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Kebijakan PSBB Diterapkan, Negara Abai Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat

September 9, 2020
in Artikel
Home Media Artikel
1k
SHARES
2.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Ditulis oleh:

Rahmat Maulana Sidik Koordinator Advokasi

Indonesia for Global Justice (IGJ) Email: rmaulanasidik55@gmail.com

Cerita rakyat banyak disuarakan ditengah pandemi ini. Semua cerita itu disampaikan dan dikeluhkan dalam serial diskusi suara dari pelosok negeri yang diadakan oleh Indonesia for Global Justice (IGJ) bekerjasama dengan Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) pada 24 April hingga 20 Mei 2020. Dalam diskusi itu, masyarakat  dari  berbagai  wilayah  banyak  mengeluhkan  respon  pemerintah dalam menangani pandemi yang tidak memperhatikan pemenuhan hak-hak masyarakat. Khususnya, terkait kebijakan PSBB yang diterapkan Pemerintah Daerah masing-masing yang berjalan tidak sesuai dengan pemenuhan hak-hak masyarakat. Bisa dibayangkan ketika kebijakan PSBB diterapkan, masyarakat diminta untuk tetap dirumah saja. Sementara tidak ada jaminan bagi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lalu bagaimana nasib mereka melewati pandemic covid19 ini.

Tentunya, Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditengah pandemi covid19 ini menambah kegelisahan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Banyak cerita memilukan yang disampaikan oleh saudara-saudara dari berbagai daerah dalam serial diskusi suara dari pelosok negeri. Termasuk keluhan   soal   lesunya   ekonomi   masyarakat   karena   adanya   kebijakan pembatasan  sosial.  Masyarakat  tidak  bisa  melakukan  aktivitasnya  dengan normal karena ada aturan-aturan pembatasan yang sangat ketat untuk pencegahan virus corona. Sementara, pemerintah tidak cepat tanggap dalam menjawab keresahan yang terjadi di masyarakat bahkan strategi pemerintah belum cukup matang dalam menghadapi  pandemi covid19 ini.

Sulawesi Selatan: Kebijakan PSBB Merusak Rantai Ekonomi Masyarakat

Di  Sulawesi,  kebijakan  pembatasan  sosial  berdampak  membuat  masyarakat was-was, dikarenakan tidak bisa menjual hasil produksi pertaniannya. Seperti jagung yang biasanya dijual untuk kebutuhan pakan ternak, sekarang kesulitan untuk menjualnya. Kemudian, sapi yang biasanya dijual ke masyarakat yang akan mengadakan pesta/resepsi pernikahan kini tidak ada yang menampung sapi mereka[1]. Tentu saja, karena mengadakan pesta/resepsi pernikahan sudah dilarang  sejak  pandemi  covid19.  Sehingga,  akibat  dari  adanya  pembatasan sosial ini membuat hancur rantai ekonomi hasil pertanian dan peternakan masyarakat Sulawesi.

Mirisnya, Pemerintah di daerah Sulawesi hanya membuat seruan/himbauan kepada Kepala Desa agar mengalihkan dana desa untuk memberikan bansos kepada  masyarakat.  Namun,  tidak  jelas  skema  kebijakan  yang  digunakan bahkan tidak ada upaya konkrit untuk memulihkan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor pangan.

Selain itu, kebijakan PSBB dikeluhkan oleh Mahasiswa perantau di Sulawesi Selatan. Mereka tidak bisa pulang ke kampung mereka, dan harus tetap melaksanakan kegiatan  perkuliahan  secara  online.  Dilematisnya  disampaikan oleh kawan-kawan Kesatuan Perjuangan Rakyat bahwa mahasiswa kesulitan dana  untuk  membeli paket  internet  selama  kuliah  online  berlangsung.  Biaya untuk membeli kuota sangat besar ditambah dengan uang kebutuhan mereka sehari-hari   (seperti:   makan,   minum,   dll).   Sementara,   orang   tua   mereka dikampung  juga  kesulitan  ekonomi  ditengah  pandemi  ini.  Yang  dikeluhkan adalah  tidak  ada  sedikitpun  insentif  kuota  internet  untuk  mahasiswa  yang diberikan oleh pihak kampus ataupun pemerintah daerah di Sulawesi.[2]

Sulawesi Utara: Kebijakan PSBB Tidak Diterapkan

Kebijakan PSBB di Sulawesi Utara tidak ada. LBH Manado menyampaikan ceritanya dalam diskusi suara dari pelosok negeri bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara tidak menerapkan PSBB karena APBD di Provinsi tidak bisa membiayai atau menanggung kebutuhan masyarakat mulai dari pemberian sembako dan bantuan lainnya. Selain tidak adanya kebijakan PSBB, di Manado juga masih memperbolehkan masyarakat yang mau mudik. Namun dengan catatan harus dikarantina di kampungnya selama 14 hari.

Disamping itu, LBH Manado[3] membuka posko pengaduan atau konsultasi online melalui media social (facebook) LBH Manado untuk buruh/pekerja yang dirumahkan atau masyarakat yang membutuhkan pendampingan kasus ditengah pandemi covid19 ini. Setidaknya setelah mereka membuka posko pengaduan tersebut, ada 13 kasus yang sudah masuk dalam kanal pengaduan, diantaranya kasus buruh yang dirumahkan, PHK dan bahkan tidak digaji oleh perusahaan. Kemudian LBH Manado turut membantu kasus-kasus pengaduan masyarakat itu dengan meneruskan kepada Pemerintah agar menghadirkan solusi bagi masyarakat yang menghadapi masalah ditengah pandemi ini.

Bali: Tidak Menetapkan PSBB Tapi Pembatasan Sosial Sangat Luar Biasa

Berdasarkan cerita dari kawan-kawan Yayasan Manikaya Kauci[4], bahwa di Bali tidak mau mengusulkan kebijakan PSBB ke Kementerian Kesehatan. Tetapi pembatasan-pembatasan aktivitas sosial-masyarakat sangat luar biasa. Sehingga, kawan-kawan Manikaya Kauci menganggap Pemerintah Provinsi Bali hingga Pemkot/Pemkab di Bali ingin masyarakatnya taat untuk tetap dirumah namun jaminan kebutuhan hidup masyarakatnya tidak mau dipenuhi. Untuk menjalankannya, Pemprov Bali menggunakan peran desa adat guna mengatur pembatasan aktivitas masyarakat. Desa Adat ini kemudian membentuk satgas covid19 bernama “gotong royong” yang diisi oleh Polisi Adat Bali untuk mengawasi segala aktivitas sosial masyarakat agar tidak berkerumun.

Jawa  Tengah:  Kebijakan  PSBB  Harusnya  Bisa  Memberi  Solusi  Bagi Anjloknya Harga Komoditas Petani

Kebijakan PSBB di Jawa Tengah tidak berjalan efektif. Walau sudah ada himbauan untuk melakukan pembatasan sosial, tetapi masyarakat masih ramai dan berkumpul seperti dalam situasi normal. Masyarakat Jawa Tengah mengalami dilematis tersendiri dari adanya kebijakan pembatasan sosial. Dikarenakan bila mendengarkan anjuran Pemprov Jateng dengan tetap dirumah saja, maka bagaimana mereka menghidupi keluarganya.

Padahal anggaran jaring pengaman sosial untuk penanganan covid19 di Jawa Tengah sebesar Rp.1,3 Triliun. Angka yang cukup fantastis bila digunakan untuk membeli hasil pertanian langsung dari petani. Sebab sejak pandemik ini, harga hasil pertanian anjlok drastis, seperti jambu biji merah di Jawa Tengah biasanya dijual ke tengkulak dengan harga Rp.5.000,- kini anjlok menjadi Rp.750,-. Begitu juga dengan harga komoditas lain yang juga turut anjlok seperti cabe, sayuran dan ikan. Yang disayangkan justru Gubernur Jawa Tengah tidak fokus untuk memberikan   solusi   bagi   anjloknya   harga   komoditas   petani   malah   sibuk mengurus polemik parkir di Pantura. Sehingga, Pemprov Jawa Tengah tidak punya navigator untuk mengatasi ancaman krisis pangan yang akan terjadi ditengah pandemi.

Jawa Timur: Membangun Lumbung Pangan Saat PSBB

Sedikit berbeda dengan provinsi lain, kebijakan PSBB di Jawa Timur tetap diterapkan. Pemerintah Provinsi Jatim menyerukan kepada masyarakat agar segala  aktivitas  diluar  rumah  wajib  menggunakan  masker  dan  handsanitizer serta  menghindari  kerumunan  dalam  jumlah  massa  lebih  dari  empat  orang. Tentu saja, dari adanya pembatasan sosial tersebut masyarakat mengeluhkan akses sembako yang sulit dicari di pasar umum. Hal ini dikarenakan adanya pembatasan aktivitas jual-beli ditempat yang ramai. Kondisi ini dikeluhkan oleh masyarakat yang biasa berdagang maupun konsumen yang membeli di pasar umum. Namun, Pemerintah Provinsi Jatim melakukan inisiasi dengan membangun lumbung pangan Jatim Expo, yang didalamnya terdapat berbagai kebutuhan  pokok  pangan  masyarakat.  Jadi  lumbung  pangan  ini  dibangun sebagai stok kebutuhan pangan dan bisa diakses oleh seluruh masyarakat Jawa Timur[5]. Kebijakan membuat lumbung pangan Jatim Expo juga untuk menutup akses pasar umum yang biasa digunakan masyarakat untuk belanja kebutuhan sembako, dengan pertimbangan kesehatan ditengah pandemi dibuat satu lumbung pangan yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat.

Sumatera Selatan: Kebijakan PSBB Telat Diterapkan, Daya Beli Masyarakat Menurun

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menetapkan status PSBB pada 7 Mei 2020 sementara sudah banyak masyarakat di Kota Palembang yang terpapar covid19.  Dalam  hal  ini  LBH  Palembang  sangat  menyayangkan  kelambanan Pemprov  dalam  merespon  pandemi  khususnya  penetapan  kebijakan  PSBB. Menurutnya banyak kelompok-kelompok rentan terpapar covid19 dan harus dilindungi, seperti masyarakat miskin kota.

Selain itu, beliau menilai bila kebijakan pembatasan social yang diterapkan tidak memperhatikan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Maka, akan banyak masyarakat Sumsel yang akan jatuh ke jurang kemiskinan. Beliau sampaikan data BPS terdapat sekitar 1,6 juta masyarakat yang rentan miskin, bila tidak ada perlindungan serius dari pemerintah maka akan menambah jumlah angka masyarakat miskin setelah pandemi.

Kebijakan  pembatasan  juga  menurunkan  daya  beli  masyarakat  di  Sumsel, karena usaha-usaha banyak ditutup termasuk banyak pekerja/buruh di PHK dan dirumahkan. Termasuk permintaan konsumen pada pedagang-pedagang juga semakin menurun. Kebijakan PSBB di Sumsel yang meliburkan sekolah-sekolah juga membawa dampak buruk bagi pelajar, selain aktivitas belajar mengajar yang terganggu juga para pelajar cenderung malas belajar di rumah.

Lampung: Kebijakan PSBB Dimanfaatkan Pengusaha Untuk Mengebiri Hak- Hak Pekerja

Di Lampung, kebijakan PSBB diterapkan namun aktivitas masyarakat berjalan dengan normal. Hanya beberapa aktivitas yang ditutup aksesnya sementara, seperti sekolah-sekolah diliburkan, dan masjid ditutup. Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) Lampung menceritakan kebijakan PSBB ini justru dimanfaatkan oleh  pengusaha untuk  mem-PHK  dan  merumahkan  pekerja/buruh.  Dari  data yang dihimpun oleh KPR per April 2020 terdapat sekitar 1.600 pekerja yang di PHK, bila digabungkan dengan pekerja yang dirumahkan maka angkanya bisa mencapai  2000-an  pekerja.  Selain  itu,  KPR  menyampaikan  juga  kondisi kebijakan PSBB di Lampung tidak meringankan pembayaran uang kuliah bagi mahasiswa yang aktivitas kampusnya dilakukan secara daring. Kuliah menggunakan daring banyak dikeluhkan mahasiswa Lampung karena memakan biaya yang tidak sedikit. Kampus juga tidak membuat aturan keringanan pembayaran UKT justru menagih pembayaran seperti dalam keadaan normal.

Indramayu: Hasil Pertanian Tidak Terserap Karena PSBB

Disampaikan oleh Kepala Desa Kalensari, Indramayu dalam diskusi suara dari pelosok negeri, bahwa di Indramayu diterapkan kebijakan PSBB berbarengan dengan   musim   panen   petani.   Tetapi,   beliau   sampaikan   petani   tetap diperbolehkan keluar untuk memanen hasil dari pertanian mereka. Yang menjadi kekhawatiran para petani di Indramayu kemana harus menjual hasil pertanian mereka,  karena  semua  akses  transportasi  ditutup.  Kabarnya  gabah  tidak terserap oleh pasar. Karena kekhawatiran hasil pertanian yang tidak terserap oleh pasar, Kepala Desa Kalensari membuat kebijakan dalam skala lokal terkait strategi serapan gabah. Strategi lokal yang dibuat agar hasil pertanian seperti beras terjual dengan memasarkan kepada relawan covid19, rata-rata relawan itu membeli beras petani desa kalensari dengan harga Rp9.700.

Selain  membuat  kebijakan  itu,  hasil  petani  di  desa  ini  kebanyakan  yang disimpan. Di desa Kalensari ini ada sekitar 385 Kepala Keluarga (KK), jika dalam 1 KK menyimpan 2 ton gabah maka ada sekitar 1000 ton gabah petani. Bisa dibayangkan di Indramayu ada 315 Desa, ada berapa ton gabah yang disimpan dan belum terserap. Kepala Desa Kalensari mempertanyakan peran Bulog yang katanya bisa menampung gabah petani, harusnya Bulog bisa menyerap hasil gabah petani yang tidak jelas pasarnya ditengah wabah ini.

Harga gabah kering panen itu sekitar Rp3.000 sampai Rp3.800, kalau dijual ke BUMDES menerima dengan harga Rp4.300 dan ke tengkulak biasa menampung dibawah harga itu sekitar Rp4.100 bahkan ada yang Rp3.000. Gabah biasanya banyak dibeli oleh tengkulak, karena tengkulak di desa ini mempunyai alat-alat produksi seperti penggilingan padi, sehingga banyak petani yang menjual hasil gabahnya ke tengkulak. Padahal dijual dengan harga dibawah harga acuan pangan.

Maluku: Kebijakan PSBR Pemerintah Maluku Tidak Menjamin Kelancaran Rantai Ekonomi dan Distribusi Masyarakat

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Regional (PSBR) yang ditetapkan oleh Pemprov Maluku untuk membatasi aktivitas masyarakat antar pulau. Kebijakan Namun,  seperti  kebanyakan  daerah  lain,  kebijakan  PSBB  maupun  PSBR membuat para petani kesulitan memasarkan hasil pertaniannya ke pasar karena akses transportasi dan pembatasan di pasar-pasar umum. Salah satu organisasi masyarakat   sipil   yang   bernama   HUMANUM   mempertanyakan   kejelasan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Maluku terkait PSBR, karena kebijakan ini tidak dibarengi edukasi kepada masyarakat. Sehingga banyak masyarakat yang takut berlebihan menghadapi pandemi ini, bahkan takut memasarkan  hasil  pertanian  mereka.  Alhasil,  produk  pertanian  masyarakat menumpuk  tidak  tahu  akan  dijual  kemana[6].  Ungkap  organisasi  HUMANUM, bahwa  pemerintah  boleh  menghimbau  orang  untuk  tetap  dirumah,  tetapi pemerintah juga harus memastikan bagaimana agar rantai ekonomi masyarakat tetap berjalan.

Adapun harga jual hasil pertanian, seperti bawang, dan sayuran praktis menjadi sangat mahal tidak seperti biasanya. Persoalan distribusi juga dialami oleh nelayan, dari hasil tangkapannya bingung kemana akan didistribusikan. Apalagi nelayan yang berada di pulau-pulau kecil di Maluku, kesulitan untuk mengakses transportasi ditengah kebijakan PSBR. Organisasi HUMANUM memiliki kekhawatiran  tentang  bagaimana  pemerintah  seharusnya  memastikan  rantai distribusi masyarakat tidak terputus dan konsumen juga bisa mengakses kebutuhan pangannya ditengah pandemi ini.

Kebijakan PSBR membuat organisasi HUMANUM membatasi kegiatan advokasi dan pendampingan yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar. Melainkan diubah menjadi ke personal (1 atau 2 orang). HUMANUM juga memberikan edukasi ke masyarakat dengan tagline “Mari Bakabong” yang artinya “Mari Berkebun” untuk kebutuhan hidupnya masing-masing. Sehingga, mereka mengkampanyekan jangan pikir untuk menjual, pikir berkebun untuk kebutuhan hidup masing-masing. Kegiatan edukasi ini menurut HUMANUM untuk mengantisipasi kelangkaan kebutuhan pangan di saat pandemi.

Kalimantan Timur: Kebijakan PSBB Tidak Diterapkan di Wilayah Oligarki Tambang

Di Kalimantan Timur, tidak ada penetapan kebijakan PSBB yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi. Organisasi JATAM menyoroti tidak adanya kebijakan PSBB tersebut, padahal sudah 251 orang meninggal terinfeksi covid19. Ungkap mereka  penularan  covid19  sudah  merambah  ke  3  karyawan  perusahaan tambang yakni PT. Kaltim Prima Coal (KPC) yang baru saja kembali dari India dan  Jakarta.  Tidak  adanya  kebijakan  PSBB  tentu  saja  membuat  aktivitas tambang mereka tetap berjalan. Terbukti dengan setiap saat wara-wiri kapal tongkang yang mengangkut batubara dengan muatan sekitar 45.000 sampai 50.000 ton[7]. Sehingga, JATAM meyakini tidak akan ada penerapan kebijakan PSBB di wilayah oligarki tambang, karena untuk memastikan semua aktivitas tambang mereka tetap berjalan khususnya di wilayah Kutai Timur, Kutai Kertanegara dan Penajem Paser Utara, sebab disitulah wilayah ATM oligarki dan para taipan tambang.

Balikpapan menjadi salah satu kota yang paling banyak penyebaran covid19, berdasarkan  informasi  yang  didapatkan  JATAM  bahwa  Walikota  Balikpapan akan mengajukan penetapan PSBB ke Kementerian Kesehatan. Namun, mereka masih berhitung soal cukup tidaknya APBD digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar warganya sekitar 70.000 jiwa. Setelah dipertimbangkan, Walikota tidak yakin APBD akan mencukupi kebutuhan warganya. Yang dikhawatirkan adalah seruan untuk dirumah saja oleh pemerintah tapi kebutuhan pangan masyarakat dalam keadaan krisis.

Sumatera Barat: Kebijakan PSBB Yang Kontra Penegakan HAM

Penetapan status PSBB di Sumatera Barat sejak 22 April 2020. Kebijakan PSBB ini dibuat dengan menetapkan jam malam di beberapa Kab/Kota di Sumbar. LBH Padang mempertanyakan dasar hukum penetapan jam oleh Pemprov Sumbar. Beberapa kab/kota menerapkan jam malam kepada masyarakat yang melarang aktivitas dari jam 10 malam sampai jam 6 pagi. LBH Padang mengungkapkan bahwa memang dalam kebebasan social, politik ada kebebasan yang bisa dibatasi dalam keadaan  tertentu.  Namun,  harus  dengan  regulasi  yang  jelas. Karena bila regulasinya tidak jelas dasar hukumnya maka penerapan dan prosedurnya bisa melanggar HAM.

LBH Padang mendapat laporan pengaduan ada pengamen yang dipukuli karena ia  masih  berkeliaran  pada  22.30  malam.  Namun,  setelah  dilaporkan  ke Kepolisian tidak mendapat tanggapan serius dari laporan penganiayaan ini. LBH Padang juga menyoroti penyaluran bansos yang seharusnya disalurkan pemerintah sebelum adanya kebijakan PSBB. Sehingga, masyarakat sudah terpenuhi  kebutuhan  hidupnya  mulai  dari  pangan  hingga  uang.  Kemudian setelah penetapan PSBB selama 20 hari belum juga bansos itu diterima oleh masyarakat.

Sumatera Utara: Kebijakan PSBB Berjalan Setengah Hati

Organisasi masyarakat sipil di Sumatera Utara mengkritisi kebijakan PSBB yang diterapkan oleh Pemprov. Kontras Sumut mengungkapkan bahwa PSBB berjalan setengah hati, kenapa dikatakan setengah hati karena satu sisi masyarakat dibatasi mobilitasnya untuk tidak keluar rumah. Disisi lain, pemerintah tidak sanggup membiayai masyarakat yang harus keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ungkapnya masyarakat butuh kepastian dari Pemprov, bila dirumah saja siapa yang akan menanggung kebutuhan ekonominya dan sampai kapankah mereka harus dirumah saja, sehingga kebijakan ini tidak jelas. Pemerintah di Sumatera Utara tidak mengambil kebijakan yang konkrit apakah melakukan pembatasan dirumah saja, atau dibiarkan begitu saja. Sebab, Gubernur Sumut menganggap enteng persoalan ini dengan mengatakan Sumut belum terlalu zona merah, merahnya masih merah jambu. Sehingga, kebijakan PSBB masih dijalankan setengah hati.

*** Sekretariat:

Indonesia for Global Justice (IGJ)

Jalan Kalibata Tengah No. 1A, Kalibata, Jakarta Selatan. 12740

Website: www.igj.or.id | Email: igj@igj.or.id


[1] Armin Salasa, FIAN Indonesia – Sulawesi Selatan, diskusi melalui daring “Suara Dari Pelosok Negeri”   sesi  Sulawesi  yang  diselenggarakan  oleh  KPR  (Kesatuan  Perjuangan  Rakyat)  dan Indonesia for Global Justice (IGJ) pada Mei 2020.

[2] Tenri Sompa, KPR Sulawesi Selatan, diskusi melalui daring “Suara Dari Pelosok Negeri”   sesi Sulawesi  yang  diselenggarakan  oleh  KPR  (Kesatuan  Perjuangan  Rakyat)  dan  Indonesia  for Global Justice (IGJ) pada Mei 2020.

[3] Frank  Kahiking,  LBH  Manado,  diskusi  melalui  daring  “Suara  Dari  Pelosok  Negeri”     sesi Sulawesi  yang  diselenggarakan  oleh  KPR  (Kesatuan  Perjuangan  Rakyat)  dan  Indonesia  for Global Justice (IGJ) pada Mei 2020.

[4] I  Nyoman  Mardika,  Yayasan  Manikaya  Kauci,  diskusi  melalui  daring  “Suara  Dari  Pelosok Negeri”    sesi  Sulawesi  yang  diselenggarakan  oleh  KPR  (Kesatuan  Perjuangan  Rakyat)  dan Indonesia for Global Justice (IGJ) pada Mei 2020.

[5] Disampaikan  Dian Pratiwi – FIAN Indonesia dalam seri diskusi suara dari pelosok negeri sesi Jateng, Jatim dan Yogyakarta yang diadakan mulai 24 April – 20 Mei 2020.

[6] Disampaikan  Vivi  Marantika,  HUMANUM,  dalam  seri  diskusi  suara  dari  pelosok  negeri  sesi Kalimantan dan Maluku yang diadakan mulai 24 April – 20 Mei 2020.

[7] Disampaikan  Rupang Pradarma, Jatam Kaltim, dalam serial diskusi suara dari pelosok negeri sesi Kalimantan dan Maluku yang diadakan mulai 24 April – 20 Mei 2020.

Tags: Bisnis & HAMcovid19Ekonomi
Previous Post

Kondisi Pendidikan selama masa COVID-19 Hasil Diskusi Suara Pelosok Negeri

Next Post

Post-Covid19: Perubahan Global dan Perang Digital Pasca Covid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655