• id Indonesia
  • en English
Kamis, Februari 9, 2023
  • TENTANG KAMI
Indonesia for Global Justice
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
“A Global Justice Order through Social Movements”s
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
Home Isu Terkini

Omnibus Law Memperkuat Monopoli Korporasi, DPR dan Pemerintah Harusnya Belajar Dari Covid19

Juli 16, 2020
in Isu Terkini, news, Rilis Media, Uncategorized
Reading Time: 2 mins read
Aksi Tolak Omnibus Law, (16/07). Doc.IGJ

Aksi Tolak Omnibus Law, (16/07). Doc.IGJ

2.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter
Rilis Media IGJ
Indonesia for Global Justice (IGJ):

Jakarta, 16 Juli 2020. Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak DPR dan Pemerintah untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law karena agenda liberalisasi yang diatur didalamnya menimbulkan ketidak-adilan untuk rakyat serta bertentangan dengan Konstitusi.

“Omnibus law disusun hanya untuk memfasilitasi kepentingan investor dan membuka ruang monopoli lebih besar lagi untuk korporasi. Apalagi, omnibus law lebih merujuk pada isi perjanjian perdagangan bebas ketimbang amanat Konstitusi”, terang Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif IGJ.

Rachmi menjelaskan bahwa penghapusan pasal 20 UU Paten di dalam Pasal 110 Omnibus Law Cipta Kerja hanya akan kembali memperkuat ruang monopoli paten obat oleh perusahaan-perusahaan farmasi besar dan berdampak jangka panjang bagi pemenuhan jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia.

“Dihapusnya pasal 20 UU Paten menyebabkan obat yang dipatenkan tidak dapat diakses oleh pasien di Indonesia karena tidak ada kewajiban bagi pemilik paten obat, biasanya perusahaan farmasi asing, untuk menjual produknya di Indonesia. Termasuk menghilangkan kekuatan pemerintah untuk dapat melaksanakan penggunaan paten oleh Pemerintah untuk memproduksi obat versi generik yang dibutuhkan oleh publik khususnya disituasi darurat, seperti penggunaan lisensi wajib”, terang Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif IGJ.

Rachmi juga menambahkan bahwa solusi dari pasal 20 UU paten bukan dihapus begitu saja. Karena penghapusan pasal 20 UU Paten akan membuat pasal-pasal yang dibawahnya juga menjadi mandul, misalnya terkait dengan pasal 82 tentang lisensi wajib, dan pasal 109 tentang penghapusan paten seperti yang diatur dalam UU Paten No.13 Tahun 2016.

“Justru, ditengah pandemic covid-19 masyarakat Indonesia membutuhkan pasal 20 UU Paten ini untuk dapat membuka akses seluas-luasnya obat dan alat medis yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19. Jangan karena lobi pemerintah negara-negara besar seperti Jepang, AS, dan UniEropa,Swiss serta perusahaan farmasi besar seperti Roche, Novartis, GSK, dan sebagainya tidak suka dengan pasal itu, lantas pemerintah begitu saja menghapuskan pasal tersebut. Lalu bagaimana dengan kepentingan rakyat? Pengaturan tentang paten seharusnya seimbang antara kewajiban pemegang paten dan pemenuhan hak public. Pengaturan pasal 110 Omnibus law, memperlihatkan pemerintah berpihak pada kepentingan korporasi dengan memperkuat dan mempanjang monopoli obat”, tegas Rachmi.

Lebih lanjut Rachmi menjelaskan bahwa revisi terhadap UU Paten juga merupakan bagian dari janji yang diberikan Pemerintah dalam perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara-negara EFTA. Perjanjian I-EFTA CEPA telah ditandatangani pada November 2018 yang lalu.  “Swiss adalah negara asal dari perusahaan farmasi besar seperti Roche dan Novartis. Mereka telah berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk berkomitmen melindungi kepentingan korporasi daripada kepentingan rakyat terhadap hak atas kesehatan”, tegas Rachmi.

Hal lain yang juga menjadi perhatian khusus IGJ dari Omnibus Law adalah upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan sektor pertanian Indonesia dengan perjanjian WTO, yaitu undang-undang pangan, undang-undang hortikultura, undang-undang perlindungan dan pemberdayaan petani, dan undang-undang sistem budidaya pertanian berkelanjutan.

Empat undang-undang sektor pertanian itu direvisi akibat kekalahan Indonesia dalam sengketa di WTO terhadap Amerika Serikat dan New Zealand terkait dengan kebijakan impor pangan. Kekalahan itu memaksa pemerintah Indonesia untuk merevisi undang-undang yang terkait tersebut. Dan tentunya, deregulasi keempat undang-undang ini akan memberikan dampak besar terhadap kedaulatan pangan dan kedaulatan petani.

“Omnibus Law kembali menempatkan produksi pangan nasional ke tangan korporasi. Harusnya DPR dan Pemerintah belajar dari pengalaman Covid19. Krisis pangan ditengah pandemic telah menjadi bukti bagi kita semua bahwa monopoli produksi pangan ditangan korporasi telah gagal menjawab kebutuhan masyarakat. Bahkan, sebaliknya solidaritas produksi pangan oleh masyarakat yang muncul ditengah pandemic menunjukan keberhasilan pangan yang dikelola secara kolektif oleh masyarakat dapat menjawab krisis pangan yang terjadi”, tegas Rachmi***

 

Informasi lebih lanjut, hubungi:

Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif IGJ: 08174985180

 

PDF 📄
Tags: EkonomiInvestasiPerdagangan Bebas
Previous Post

Omnibus Law Bahayakan Investasi Berkelanjutan di  Indonesia

Next Post

Indonesia Dalam Pusaran Covid-19: Monopoli Pengetahuan Dan Akses pada Inovasi Kesehatan Serta Pemanfaatan Bersama yang Berkeadilan

Related Posts

Sustainble Trade dalam perspektif Amanat Konstitusi: Kajian terhadap Pasal 33 UUD 1945
Publikasi

Sustainble Trade dalam perspektif Amanat Konstitusi: Kajian terhadap Pasal 33 UUD 1945

Juli 22, 2021
UU Cipta Kerja Disusun Tanpa Kajian Memadai Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat
Artikel

UU Cipta Kerja Disusun Tanpa Kajian Memadai Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat

Juni 18, 2021
Load More
Next Post
Indonesia Dalam Pusaran Covid-19: Monopoli Pengetahuan Dan Akses pada Inovasi Kesehatan Serta Pemanfaatan Bersama yang Berkeadilan

Indonesia Dalam Pusaran Covid-19: Monopoli Pengetahuan Dan Akses pada Inovasi Kesehatan Serta Pemanfaatan Bersama yang Berkeadilan

Please login to join discussion

covid-19 widget

Popular Post

  • Penghapusan Status B3 FABA dan SBE dalam PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Tinjauan Sustainable Trade

    Penghapusan Status B3 FABA dan SBE dalam PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Tinjauan Sustainable Trade

    2607 shares
    Share 1043 Tweet 652
  • Ahli Tekankan Pentingnya Persetujuan DPR dalam Perjanjian Internasional

    2593 shares
    Share 1037 Tweet 648
  • Penenggelaman Kapal Asing

    2236 shares
    Share 894 Tweet 559
  • DIPLOMASI VAKSIN COVID-19 INDONESIA: “Tantangan Akses Publik Atas Vaksin dan Layanan Kesehatan Berkeadilan”

    1192 shares
    Share 477 Tweet 298
  • Cerita Dari Pelosok Negeri: Aksi Kolektif Gerakan Sosial Indonesia Merespon Covid19

    1106 shares
    Share 442 Tweet 277
  • PERDAGANGAN & INVESTASI
  • BISNIS & HAM
  • DIGITAL EKONOMI
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • ARTICLE MONITORING
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
  • id Indonesia
  • en English

Indonesia For Global Justice© 2020

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used.